Kamis, 07 November 2019

Tak Terlihat, tapi Mengubah Kehidupan

Punya perut rata itu butuh latihan.
Termasuk latihan menahan (ke)lapar(an).
@noffret


Bayangkan kita punya berat badan 50 kg, yang membuat kita merasa ideal—tidak kurus, juga tidak gemuk. Suatu hari, saat bangun tidur, tiba-tiba kita mendapati tubuh kita sangat gemuk. Kita pun langsung menuju ke timbangan, dan mendapati berat badan telah naik menjadi 100 kg. Apa kira-kira yang akan menjadi reaksi kita?

Mungkin bingung. Atau terkejut. Atau bahkan panik.

Karena penambahan berat badan itu terjadi tiba-tiba—dari 50 kg menjadi 100 kg dalam semalam—alarm dalam diri kita pun berdering sangat keras, dan kita panik, ketakutan, bertanya-tanya, “Bagaimana ini bisa terjadi?”

Manusia tidak terbiasa dengan sesuatu yang tiba-tiba, dan, kenyataannya, kehidupan memang tidak berjalan secara tiba-tiba.

Bagaimana cara berat badan kita naik? Tidak tiba-tiba, tapi perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit. Sebegitu perlahan dan sedikit penambahan berat badan yang terjadi, kita tidak merasakannya, dan terlena. Setelah waktu berjalan lama, dan kita terbiasa dengan perubahan yang terjadi pada tubuh kita, suatu hari kita menimbang berat badan dan mendapati telah ada tambahan berat sekian puluh kilo.

Kita tidak panik, dan tidak bertanya-tanya bagaimana penambahan berat badan itu terjadi. Karena prosesnya perlahan. Sehari demi sehari. Lalu hari berubah menjadi minggu, lalu bulan, dan tumpukan lemak tumbuh sedikit demi sedikit. Kita tidak sadar ketika semua itu—pengumpulan lemak di tubuh—terjadi, karena prosesnya memang tidak tiba-tiba. Dan ketika mulai sadar, penambahan berat badan sekian puluh kilo sudah terjadi.

Sama seperti penambahan berat badan yang berlangsung perlahan-lahan dan membutuhkan waktu lama, upaya kita untuk menurunkan berat badan juga tidak bisa instan. Kita butuh waktu yang juga lama untuk bisa mengembalikan berat badan seperti semula—bahkan kadang lebih lama dan lebih sulit. Menumpuk lemak di tubuh itu mudah, tapi menghilangkannya butuh kerja keras dan kesabaran.

Sering kali, kehidupan kita, dan hal-hal yang kita lakukan sehari-hari, juga seperti itu. Semuanya berlangsung perlahan-lahan, biasanya juga sedikit demi sedikit, sampai suatu hari kita mendapati jumlahnya sangat banyak.

Kalau punya akun di Twitter, coba sesekali perhatikan akun yang kita miliki. Di masing-masing akun Twitter, ada jumlah tweet yang telah ditulis orang per orang. Jika sudah aktif di Twitter selama beberapa tahun, jumlah tweet biasanya sudah mencapai angka di atas 10.000. Artinya, kita sudah ngoceh di Twitter—dalam apa pun bentuknya—sebanyak sepuluh ribu kali lebih!

Sepuluh ribu jelas angka yang banyak, khususnya untuk ocehan. Kita pasti kelelahan setengah mati kalau nekat ngoceh sepuluh ribu kali dalam satu waktu. Tapi sepuluh ribu ocehan itu kita lakukan perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, hari demi hari, hingga tidak terasa. Tahu-tahu, kita sudah ngoceh seribu kali. Tahu-tahu, kita sudah ngoceh sepuluh ribu kali. Dan kelak, tahu-tahu, kita sudah ngoceh seratus ribu kali.

Begitulah kehidupan kita berjalan. Tak terasa. Tahu-tahu sudah banyak. Tahu-tahu sudah besar. Kita yang kemarin masih remaja, tahu-tahu sekarang sudah dewasa. Dan kelak, tahu-tahu sudah tua. Kita mengatakan hidup berjalan sangat cepat. Padahal, yang terjadi, hidup justru berjalan lambat. Sebegitu lambat, hingga kita tidak merasakannya.

Teman saya, Safik, punya pabrik yang mempekerjakan banyak orang. Suatu hari, Safik merenovasi pabriknya. Bangunan pabrik yang lama diruntuhkan, lalu dibangun kembali hingga benar-benar baru. Hasilnya, ada tumpukan bekas bangunan yang menggunung, dari dinding-dinding pabrik yang dirobohkan. Setidaknya dibutuhkan lima truk untuk mengangkut bekas bangunan yang tak terpakai itu.

Safik menawari para pekerjanya, siapa tahu mereka membutuhkan bekas bangunan tersebut, dan dia mempersilakan siapa pun untuk mengambilnya. Beberapa pekerja tertarik dengan tawaran itu, dan mereka pun menyatakan akan membawa bekas bangunan yang kini menggunung tersebut. Reruntuhan bangunan itu bisa mereka pakai untuk meninggikan lantai rumah atau halaman rumah.

Lalu bagaimana para pekerja akan mengangkut bekas bangunan yang jumlahnya sangat banyak itu? Pakai truk? Tidak! Pakai pikap? Gerobak? Juga tidak! Mereka membawanya sekilo demi sekilo, setiap hari!

Ada lima pekerja yang menyatakan akan mengambil reruntuhan bekas bangunan itu, dan mereka semua biasa berangkat kerja naik sepeda. Setiap hari, mereka membawa karung kecil atau tas plastik tebal ke tempat kerja. Usai kerja, mereka memasukkan reruntuhan bangunan yang menggunung di sana ke dalam karung atau tas plastik yang mereka bawa, lalu buntalan itu diikat di boncengan sepeda mereka. Jumlahnya tidak banyak, hanya sekilo atau dua kilo, dalam satu kali angkut.

Tapi mereka melakukannya setiap hari, sekilo demi sekilo, hari demi hari, dan, suatu hari, reruntuhan bangunan yang semula menggunung di depan pabrik lenyap tanpa bekas! Lima orang, dengan sepeda mereka, masing-masing telah mengangkut reruntuhan bangunan yang semula banyaknya mencapai lima truk. Artinya, masing-masing dari mereka, dengan sepeda, telah mengangkut satu truk!

Keajaiban dikerjakan melalui proses. Sedikit demi sedikit. Kadang perlahan. Tapi yang sedikit dan perlahan itu, bagaimana pun, mengubah sesuatu.

Piramida Giza dibangun bertahun-tahun, oleh ribuan orang, begitu pula Taj Mahal, Makam Terakota, Burj Khalifa, Taman Gantung Babilonia, Perpustakaan Alexandria, sampai jumlah ocehan kita di linimasa. Semuanya melewati proses, perlahan, setahap demi setahap, dari waktu ke waktu. Hingga membentuk sesuatu.

“Roma tidak dibangun dalam semalam,” kata pepatah. Begitu pula kehidupan kita, atau hal-hal besar yang kita kerjakan.

Pernah, suatu waktu ketika selo, saya iseng menghitung berapa total uang yang telah saya belanjakan untuk mengumpulkan ribuan buku yang saat ini saya miliki. Namanya orang iseng, saya telaten mengambil satu per satu buku dari rak, menuliskan judulnya di komputer, lengkap dengan harganya ketika saya beli. Jika saya tidak ingat harga pastinya, saya akan menggunakan perkiraan.

Butuh waktu berbulan-bulan untuk melakukan kerjaan iseng itu, karena saya memang melakukannya kalau pas selo. Ketika akhirnya semua buku telah terinventarisasi, saya mulai menghitung total harganya. Boleh percaya boleh tidak, total uang yang telah saya keluarkan untuk membeli ribuan buku itu bisa digunakan untuk membeli Honda Jazz seri terbaru, bahkan lebih! Nilainya sekitar Rp300 jutaan.

Ketika mendapati angka itu, saya benar-benar terkejut. Jika saya harus mengeluarkan uang Rp300 juta sekaligus untuk membeli buku dalam satu waktu, kemungkinan besar saya akan kesulitan.

Tapi nyatanya, sekarang, saya memiliki buku yang total nilainya sebesar itu. Bagaimana bisa terjadi? Karena saya melakukannya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu, sampai bertahun-tahun. Tidak terasa, sejuta demi sejuta, setumpuk demi setumpuk, sampai akhirnya terbangun perpustakaan.

Begitulah hidup berjalan, dan begitulah kehidupan kita dibangun. Hari demi hari, waktu demi waktu, sedikit demi sedikit, perlahan-lahan, sampai kita tidak merasakannya. Dan kenyataan semacam itu tidak hanya untuk hal-hal yang mungkin akan membuat kita senang, tapi juga untuk hal-hal yang mungkin membuat kita menyesal.

Seperti berat badan, misalnya. Kita tidak mengumpulkan lemak sekian puluh kilo dalam sehari, hingga perut kita membuncit tiba-tiba. Yang kita lakukan hanyalah makan tiga kali sehari, di sela-sela mengunyah kentang, melahap burger, menikmati keripik, menyesap es krim dan aneka makanan lain, sambil ketawa-ketiwi karena hidup begitu mudah sejak ada layanan pesan antar online.

Malam hari, sambil leyeh-leyeh, kita iseng buka ponsel, melihat-lihat deretan menu yang tampak menggiurkan, lalu pesan makanan, dan kita menikmatinya sambil menonton teve. Tidak terasa. Kalau pun terasa, kita senang-senang saja, wong rasanya enak. Persetan, siapa pun setuju kalau ngemil sambil nonton teve itu enak. Apalagi diakhiri dengan ndusel.

Sayangnya, kenikmatan itu bisa berbuah penyesalan. Karena, seiring kenikmatan yang kita kunyah, lemak mengumpul perlahan-lahan, dan berat badan bertambah ons demi ons. Di perut, di paha, di lengan, di leher, lalu kita sok kaget, “Kok sekarang berat badanku naik lima puluh kilo? Tidak masuk akal!”

Saat itu terjadi, kita mungkin menyesali yang telah kita lakukan, dan mengutuk kentang, burger, es krim, atau apa pun yang kita santap hari demi hari. Dan jika ingin menghilangkan tumpukan lemak dari tubuh agar ideal seperti semula, kita pun butuh upaya dan kerja keras, yang bisa jadi lebih lama dari saat kita menimbunnya.

Kita perlu mengingat semua ini, saat ingin mengerjakan sesuatu, atau sedang menuju sesuatu. Karena bangunan sebesar apa pun membutuhkan fondasi pertama, perjalanan sejauh apa pun dimulai langkah awal, dan kehidupan berjalan perlahan-lahan.

 
;