Segelas kopi, sebatang rokok, dan setumpuk kebingungan hari ini.
Juga sedikit kegalauan di sudut hati.
—@noffret
Juga sedikit kegalauan di sudut hati.
—@noffret
Cukai rokok akan naik tahun depan, dan sebagian orang yakin bahwa kenaikan cukai akan menurunkan jumlah perokok, karena harga rokok akan terdampak hingga ikut mahal. Dalam pikiran mereka, mungkin, harga rokok yang mahal akan membuat orang pikir-pikir untuk membeli rokok. Pola pikir semacam itu memang terdengar ilmiah, meski sebenarnya mengandung masalah.
Terkait ekonomi, setidaknya ada tiga golongan konsumen rokok. Yaitu dari golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah. Harga rokok yang naik—gara-gara cukai naik—bisa dibilang tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Harga rokok yang mahal mungkin memang akan membuat segelintir orang untuk berhenti atau mengurangi rokok, tapi jumlahnya tidak akan banyak. Mengapa?
Bagi kalangan kaya, kenaikan harga rokok tidak akan memusingkan mereka, wong mereka bisa tetap membelinya dengan mudah. Orang yang bisa menghabiskan bergelas-gelas kopi mahal setiap hari tidak akan pusing dengan kenaikan harga rokok, dan mereka akan tetap udud!
Yang mungkin akan banyak pikir untuk membeli rokok—karena harganya makin mahal—adalah kalangan menengah. Namanya “menengah”, mereka tidak kaya tapi juga tidak miskin. Mereka biasanya sudah mapan bekerja, tapi juga punya kebutuhan yang luar biasa besar. Dari kebutuhan punya rumah, nyicil kendaraan, sampai kebutuhan eksis di kalangan sosial.
Bisa jadi, karena banyaknya kebutuhan tersebut, mereka akan menghilangkan atau mengurangi kebiasaan merokok, agar duit tak cepat habis. Pemerintah, dan aktivis antirokok, bisa puk-puk golongan ini.
Bagaimana dengan kalangan miskin? Kenaikan harga rokok mungkin memang akan membuat mereka pusing, karena duit sering pas-pasan. Tapi ingat, mereka kalangan paling ulet di antara semua strata ekonomi. Kalau kau terbiasa hidup dalam kekurangan dan kemiskinan, otakmu akan terus dipaksa untuk kreatif, dan hal itulah yang menjadikan banyak dari mereka terus bertahan.
Dalam menghadapi kenaikan harga rokok, gara-gara cukai yang naik, mereka pasti akan mencari cara agar bisa menyiasati. Ingat hukum ekonomi; jika ada permintaan, akan ada penawaran. Harga rokok legal (bercukai) mahal, maka rokok ilegal (tanpa cukai) akan bertebaran, meski lewat “bawah tanah”. Karena harga rokok naik, akan banyak orang kesulitan membeli rokok. Produsen rokok ilegal akan melihat itu sebagai kesempatan. Bahkan Adam Smith pun paham soal ini.
Pemerintah bisa menaikkan cukai, dan harga rokok akan semakin mahal. Tapi selalu ada upaya untuk “melawan”. Dalam kacamata orang-orang miskin, rokok ilegal adalah salah satu bentuk perlawanan. Mereka butuh merokok, dan persetan dengan cukai!
Bagaimana jika rokok ilegal benar-benar tidak ada?
Bisa jadi, pemerintah akan melakukan antisipasi dengan merazia rokok-rokok ilegal, untuk meminimalkan atau bahkan menghilangkan peredarannya. Bahkan kalau pun itu terjadi, selalu ada cara lain untuk merokok. Misalnya dengan membeli tembakau utuh, dan melinting rokok sendiri. Ingat, yang dibutuhkan orang-orang miskin hanya merokok, udud, atau apa pun sebutanmu. Dalam bahasa blak-blakan, mereka tidak peduli merek, prestise, apalagi cukai!
Sampai di sini, biasanya akan muncul suara-suara sinis, misalnya, “Sudah tahu miskin, masih juga merokok!” Ada pula yang akan mengatakan, dengan nada bijak, “Daripada uangnya dibelikan rokok, mending dipakai untuk kebutuhan yang lebih penting,” dan seterusnya, dan seterusnya.
Selama ini, tidak ada yang pernah menjawab ocehan semacam itu secara blak-blakan, atau secara frontal. Jadi, sekarang saya akan menjawabnya.
Mari kita mulai dengan pertanyaan bermasalah ini, “Kenapa banyak orang miskin yang merokok?”
Kalau kau orang miskin atau pernah miskin, pertanyaan semacam itu sebenarnya tidak patut diajukan, karena sangat kurang ajar! Orang-orang miskin menghadapi kehidupan yang amat berat, jauh lebih berat dari tumpukan teorimu. Mereka tidak hanya dibebani aneka masalah hidup yang tak pernah selesai, tapi juga dibebani kenyataan bahwa mereka kesepian—sebentuk perasaan tak berdaya menghadapi kenyataan.
Saya tahu yang saya katakan, karena saya pernah miskin, dan pernah menjalaninya bertahun-tahun.
Kalau kau kaya, kau akan mudah menemukan teman, bahkan mereka yang tampak asing di matamu akan bersikap seolah akrab denganmu. Tapi kalau kau miskin, kau akan merasa sendirian, kesepian... sulit menemukan orang untuk diajak berbagi. Karena memang tidak ada yang tertarik dengan penderitaanmu. Setiap orang punya masalahnya sendiri, dan mereka tidak peduli dengan masalahmu, kemiskinanmu, lara dan nestapamu.
Orang-orang miskin menghadapi aneka kekurangan, bukan sewaktu-waktu, tapi setiap waktu. Mereka menghadapi kesusahan bukan hanya ketika tak bekerja, tapi juga ketika giat bekerja. Karena hasil kerja mereka tidak mampu menutup semua kebutuhan yang kian hari kian mencekik.
Di tengah kondisi semacam itu, mereka membutuhkan sandaran, penopang, kehadiran orang lain yang menguatkan. Tetapi kita hidup di dunia yang mestinya sudah dimusnahkan oleh Thanos. Orang-orang di sekeliling kita punya masalah sendiri-sendiri, dan mereka tak peduli dengan masalah orang lain. Orang-orang di sekeliling kita sudah terlalu sibuk dengan kehidupan sendiri-sendiri, hingga tak punya waktu mengurusi kehidupan orang lain.
Karena itulah, ada banyak orang miskin yang merasa sendirian, dan diam-diam kesepian... meski mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya kesepian. Dalam kondisi semacam itu, rokok sering kali menjadi teman yang baik. Teman yang tidak banyak bacot, tapi hanya menemani.
Bagi banyak orang miskin, aktivitas merokok bukan untuk “gagah-gagahan” atau semacamnya, tapi sebentuk upaya menguatkan diri, dan menganggap rokok sebagai teman sejati. Ketika mereka menyulut rokok, dan menikmati asapnya, mereka bisa menenangkan pikiran sejenak dari penatnya hidup, kadang sambil berusaha mencari jalan untuk berbagai masalah yang dihadapi.
Karenanya, pertanyaan “mengapa orang miskin merokok” adalah pertanyaan kurang ajar. Wong mereka merokok justru karena miskin! Karena kesepian! Karena menghadapi aneka masalah dan kekurangan! Karena hidup di dunia yang kejam!
Kalau kebetulan melihat orang miskin—atau orang yang banyak beban pikiran—sedang merokok, perhatikanlah. Mereka tampak sangat “khusyuk” saat merokok, begitu... well, tuma’ninah. Dalam arti tidak kebal-kebul asal-asalan. Karena mereka menganggap rokok sebagai teman sejati dalam kesusahan dan kesepian.
“Tapi merokok bisa mengganggu kesehatan dan bla-bla-bla.” Tolong katakan itu pada orang-orang kaya! Mereka lebih peduli kesehatan, karena mereka memiliki uang, sekaligus punya pikiran jauh ke depan!
Bagi orang-orang miskin, boro-boro mikir kesehatan, mikir bagaimana hidup besok saja kadang sudah berlebihan.
Jadi, jika cukai dinaikkan, dan harga rokok terdampak naik, korban pertama dari hal itu adalah orang-orang miskin. Pemerintah dan aktivis antirokok berharap orang-orang miskin tidak lagi merokok, tapi itu pikiran yang berbelok kejauhan. Wong yang menyebabkan orang miskin merokok justru karena kemiskinannya! Lha piye, pola pikirmu?
Jika ada survei atau penelitian ilmiah mengenai persentase orang merokok di Indonesia, saya berani bertaruh: Jumlah perokok terbesar berasal dari kalangan menengah ke bawah!
Kalau harga rokok naik, mereka akan mencari rokok ilegal yang lebih murah. Kalau rokok ilegal dihilangkan, mereka akan melinting—bikin rokok sendiri. Yang penting bisa merokok. Dan jika aktivitas melinting masih dipersulit, itu artinya pemerintah sedang mengundang bahaya. Ingatlah film Joker sebelum bikin keputusan yang berpotensi menyusahkan banyak orang!
Dalam perspektif saya, upaya terbaik untuk menurunkan jumlah perokok adalah—pertama-tama—dengan menurunkan angka kemiskinan! Ketika orang hidup sejahtera, mereka akan lebih mampu berpikir jauh ke depan. Bukan hanya berpikir bagaimana besok, tapi juga berpikir bagaimana masa depan. Dalam hal itu, bisa jadi mereka bisa berpikir lebih baik dan lebih bijak, salah satunya dengan meninggalkan aktivitas merokok.
Memaksa orang berhenti merokok, dengan cara menaikkan cukai dan harga rokok, adalah upaya mengatasi masalah tanpa mau melihat akar masalah—atau sengaja menutup mata dari masalah sebenarnya. Tentu bukan langkah yang bijak, khususnya karena akan berdampak pada jutaan orang yang hidupnya sudah susah. Meski berdalih itu upaya yang dimaksudkan baik, tapi bisa jadi justru akan menimbulkan lebih banyak masalah.