Di Twitter, sudah beberapa kali saya mendapati tweet berbunyi “who cares about what man like”—atau variannya—yang hampir selalu di-retweet ribuan akun. Tweet-tweet semacam itu biasanya (bahkan selalu) ditulis wanita, dalam merespons sesuatu yang terkait pria dan wanita.
Misalnya, ada berita berjudul “7 Hal yang Disukai Pria dari Wanita”. Lalu ada wanita meng-quote tweet berita itu, dengan menambahkan tweet “who cares about what man like”. Seperti yang saya sebut tadi, tweet berbunyi “who cares” itu selalu di-retweet dan difavoritkan ribuan akun.
Kadang pula, ada orang bertanya lewat tweet, “Benarkah pria menyukai wanita yang bla-bla-bla?” Lalu ada wanita lain merespons atau meng-quote tweet itu, dengan menambahkan tweet “who cares about what man like”. Lagi-lagi, tweet “who cares” itu di-retweet ribuan akun, hingga muncul di TL saya.
Lalu masalahnya di mana? Sebenarnya sama sekali tidak masalah, asal tweet ala-ala “who cares” itu boleh digunakan siapa pun, dan tidak dinilai dengan standar yang berbeda, terlepas penulisnya wanita atau pria. Artinya, gunakan standar yang sama ketika pria yang menulisnya.
Kalau wanita boleh menulis “who cares about what man like” tanpa merasa bersalah, tolong tidak usah ngamuk—dengan berbagai alasan apa pun—kalau sewaktu-waktu ada pria menulis “who cares about what woman like” atau semacamnya. Gunakan standar yang sama!
Yang membuat saya gatal menulis catatan ini, karena ada sebagian wanita yang menggunakan standar ganda, khususnya terkait perilaku pria dan wanita. Mereka (sebagian wanita itu) merasa bebas ngoceh apa pun tentang pria, tapi pria tidak boleh melakukan hal yang sama.
Seperti pada kasus “who cares” tadi. Ketika wanita menulis semacam itu, dia—dan sebagian wanita lain—menganggapnya hebat. Terbukti tweet semacam itu hampir selalu di-retweet ribuan akun. Tapi ketika pria yang menulis hal serupa, dianggap merendahkan wanita.
Dalam perspektif saya, wanita-wanita semacam itu adalah “penumpang gelap feminisme”, yang menganggap isu feminisme dapat digunakan seenaknya untuk meninggikan diri sekaligus merendahkan yang lain. Ini pula yang menjadikan sebagian orang lain muak pada istilah feminisme.
Fenomena ini tak jauh beda dengan sebagian Yahudi yang merasa bisa sewenang-wenang pada pihak lain, dengan berdalih, “Kami dulu telah menjadi korban!” Kenyataan itu pula yang menjadikan banyak orang muak pada Yahudi, meski tidak semua Yahudi pasti begitu.
Feminisme tidak berarti meninggikan wanita untuk kemudian bebas merendahkan pria—dalam apa pun bentuknya. Feminisme adalah upaya menempatkan wanita setara dengan pria. Tapi perilaku “para penumpang gelap” menjadikan feminisme tampak salah dan bikin orang muak.
Kita berharap dihormati orang lain, tapi kita tidak menunjukkan perilaku hormat pada orang lain. Bahkan iblis di neraka pun akan menertawakan. Oh, tolong jangan mengatakan bahwa tweet ala-ala “who cares” itu hanya bercanda—karena itu sama sekali tidak lucu, dan kita pun tahu!
Saya paham, catatan ini akan memancing orang berpikir, “Kenapa kamu menganggap tweet ‘who cares’ itu secara serius? Dia hanya bercanda!”
Oh, well, kadang-kadang pria juga bercanda tentang wanita, dan apa yang biasanya terjadi? Benar, standar ganda!
Jadi wanita merasa bebas menggunakan pria sebagai objek bercanda, sementara pria tidak boleh melakukan hal yang sama, apa pun alasan atau bagaimana pun caranya. Apa namanya kalau bukan standar ganda?
Feminisme, eh? Perilaku semacam itulah yang menjadikan orang muak.
Sekali lagi, tweet ala-ala “who cares” sama sekali tidak masalah, jika—dan hanya jika—boleh digunakan siapa pun tanpa dinilai dengan standar ganda. Sayangnya tidak. Sebagian wanita merasa berhak menyepelekan pria, sementara pria tidak boleh melakukan hal serupa.
Dan kalau pun boleh (kalau pun kita boleh saling menyepelekan dan saling merendahkan, dalam apa pun bentuknya), lalu apa guna ribut-ribut feminisme yang terus diupayakan? Balik saja ke zaman prasejarah, atau masa-masa ketika manusia masih biadab tanpa hormat.
“Respect is everything. Without respect, we’re just people. Common sitty people.” Ironisnya, kalimat penuh hormat itu diucapkan Jean Villain, bajingan yang membunuh manusia lain tanpa merasa bersalah.
Masalah kita, tampaknya, kebodohan dalam respek.