Tempat kita memijakkan kaki sekarang bukan hanya
batas depan dan belakang, kenangan dan harapan,
tapi juga yang terhapus dan akan menjelang.
—@noffret
batas depan dan belakang, kenangan dan harapan,
tapi juga yang terhapus dan akan menjelang.
—@noffret
Semua berawal dari keset kamar mandi. Usai mandi sore, saya lihat keset di depan kamar mandi sudah perlu diganti. Jadi, malam harinya, dengan celana jins dan hoodie, saya melenggang sendirian ke swalayan untuk mencari keset. Terdengar sangat tidak keren, eh? Seorang bocah pergi ke swalayan untuk membeli keset!
Tetapi keset kamar mandi adalah sesuatu yang perlu dipikirkan secara mendalam dan akademis, setidaknya menurut saya. Berbeda dengan keset lain, keset kamar mandi harus memenuhi beberapa hal agar ideal sebagai keset kamar mandi. Pertama, bentuknya harus kaku, sehingga tidak mudah kusut atau tertekuk. Kedua, permukaannya harus lembut, tapi mampu menyerap air dengan baik. Ketiga, ini opsional, sesuai selera pemilih.
Di swalayan, di rak keset yang agak sepi, saya pun sibuk memilih-milih keset. Ada banyak tumpukan keset di sana, dan saya mengambil satu per satu, lalu meletakkannya di lantai, dan menyentuhnya dengan mesra. Ketika sedang melakukan kegiatan aneh itulah, seseorang—atau dua orang—melangkah ke arah saya, dan... tiba-tiba berhenti.
Mungkin sebenarnya dia tidak bermaksud menuju ke arah saya—hanya sekadar mau lewat. Tapi entah kenapa dia lalu berhenti dan menatap saya. Seorang wanita dengan seorang anak, plus troli yang agak penuh. Saya sempat mengangkat muka, dan merasa tidak mengenalnya. Tapi dia menyapa nama saya.
“Hoeda...?”
Waktu itu posisi saya sedang berjongkok di depan keset-keset, sementara wanita itu berdiri bersama anak lelakinya dan troli belanja. Saya terkejut, dan menengadah, memastikan saya mengenal wajahnya. Tapi terus terang saya tidak tahu siapa wanita itu. Jadi, dengan muka bingung, saya menjawab, “Ya...”
Dia tampak menahan senyum. “Kamu pasti udah nggak kenal aku, ya kan?”
Seperti orang idiot, saya menyahut, “Uhm, maaf, apa sebenarnya kita saling kenal?”
Sekarang dia tertawa. “Ya ampun! Aku Alya! Ingat? Alya, teman SMA!”
Kemampuan saya dalam mengingat wajah orang mungkin agak parah. Tapi kemampuan dalam mengingat kenangan, saya bisa diandalkan. Jadi, hanya dalam beberapa detik, saya segera ingat siapa Alya. Ya, dia teman SMA saya, tapi... well, tapi dulu dia masih remaja.
Masih sambil tertawa, Alya berujar, “Sekarang kamu ingat, ya kan? Dulu kamu sering dolan ke rumahku!”
Saya tersenyum. “Ya, tentu aku masih ingat. Gimana aku bisa lupa?”
Lalu kenangan dari masa lalu itu pun terbayang seketika.
....
....
Bu Endang, guru biologi, sedang mengajar di depan kelas, dan murid-murid khusyuk menyimak. Saya salah satu murid di sana, dan waktu itu masih kelas 3 SMA. Pelajaran biologi Bu Endang disela kedatangan Kak Fatin yang muncul di depan kelas dan mengetuk pintu. Kak Fatin adalah pegawai di sekolah, biasa melayani urusan perpustakaan, dan sering dimintai tolong guru-guru untuk berbagai keperluan.
Bu Endang pun menghentikan pelajaran, dan menemui Kak Fatin di depan pintu kelas. Mereka bercakap sejenak, dan setelah itu Bu Endang menuju ke tempat duduk saya. Dengan lirih, Bu Endang berkata, “Mas Hoeda, dipanggil ke kantor BP.”
“Ada urusan apa, Bu?” saya bertanya heran, karena sebulan terakhir—kalau tak salah ingat—saya tidak membuat masalah atau keributan apa pun di sekolah.
“Saya tidak tahu,” jawab Bu Endang.
Saya pun bangkit dari tempat duduk, dan mengikuti Kak Fatin ke kantor BP. Sebenarnya, itu bukan pertama kali saya “dijemput paksa” dari kelas untuk pergi ke kantor BP. Tapi hari itu saya agak bingung, karena tidak merasa melakukan kenakalan atau kesalahan apa pun.
Di kantor BP, ada tiga orang yang telah menunggu—Guru BP, dan dua murid perempuan yang duduk di kursi masing-masing. Saya tahu keduanya, yaitu Alya dan Dira. (Dua nama itu tentu saja bukan nama sebenarnya).
Setelah saya masuk kantor BP, Kak Fatin pergi, dan Guru BP mempersilakan saya duduk. Lalu Guru BP bertanya pada saya, “Kenal mereka?” sambil menunjuk Alya dan Dira. Saya baru menyadari kedua muka perempuan itu tampak sembab.
“Ya,” saya menjawab. “Saya kenal mereka.”
Guru BP mengangguk. “Jadi, benar kalau kamu sering dolan ke rumah Alya?”
Saya mulai bingung. “Ya. Tapi, saya pikir, itu...”
Kalimat saya dipotong Guru BP yang lalu menjelaskan duduk persoalan. Ternyata, saya diundang ke kantor BP siang itu untuk menjadi “saksi” atas masalah yang terjadi pada Alya dan Dira. Dua jam sebelumnya, saat istirahat sekolah, dua murid perempuan itu berantem di kelas. Saya tidak tahu kejadian itu, karena sedang khusyuk membaca buku di perpustakaan. Tapi anak-anak kelas mereka pada geger, hingga kasus itu diketahui para guru, dan sekarang ditangani BP.
Alya dan Dira adalah teman sekelas—tapi mereka tidak satu kelas dengan saya, meski sama-sama kelas 3. Mereka di kelas C, sementara saya di kelas B. Sudah sejak lama, teman-teman membisiki kalau Dira naksir saya. Tapi saya tidak terpengaruh, karena memang tidak punya perasaan apa pun kepadanya.
Sering, saya mendapati Dira memandangi saya, dan saya pura-pura tak tahu. Saat akan ke kantin, misalnya, saya harus melewati depan kelas Dira. Biasanya, saat itu, Dira dan beberapa temannya duduk-duduk di depan kelas. Lalu, ketika saya melangkah di depan mereka, Dira menatap saya seperti melihat alien. Biasanya pula, saya jadi salah tingkah, meski berusaha cuek dan bersikap pura-pura tak tahu. Setelah saya berlalu, cewek-cewek centil itu terdengar cekikikan.
Selama waktu-waktu itu, saya membiarkan saja—toh Dira atau teman-temannya juga tidak melakukan apa pun yang mengganggu. Jatuh cinta adalah hak setiap orang. Kalau Dira naksir saya, itu juga hak dia. Selama dia tidak mengusik atau mengganggu, semuanya sah-sah saja. Jadi, saya tahu Dira sudah lama naksir saya. Tetapi, seperti yang dinyatakan tadi, saya tidak punya perasaan apa pun kepadanya.
Sementara itu, saya baru mengenal Alya dalam satu insiden tak terduga. Suatu sore, saya diajak seorang tetangga untuk mencari tempat pembuatan undangan pernikahan. Kami pergi ke suatu tempat yang terkenal sebagai penyedia jasa tersebut. Di sana, kami sempat mutar-mutar, dan tanpa sengaja bertemu Alya.
Alya sedang duduk-duduk dengan tetangganya di depan sebuah rumah. Saat melihatnya, saya pun tahu dia teman sekolah di SMA—karena mengenal wajahnya—dan dia pun tahu siapa saya. Jadi, saya menemuinya, dan bertanya di mana tempat pembuat undangan pernikahan. Dengan baik hati, Alya mengantarkan ke tempat yang saya maksud. Itulah kali pertama saya mengenal Alya.
“Jadi, rumahmu di sini?” tanya saya pada Alya, setelah urusan selesai.
“Ya.” Lalu dia menawari, “Mampir, yuk. Mumpung udah di sini.”
Kami bercakap-cakap di rumahnya. Alya adalah gadis ceria yang bisa ramah pada siapa pun. Meski di sekolah bisa dibilang kami tidak pernah bercakap sekali pun, sore itu dia bisa mengobrol dengan asyik, seolah kami biasa melakukannya. Jadi, saya pun mudah hanyut, dan ikut mengobrol dengan asyik.
Menjelang maghrib, saya pamit pulang. Tapi saya bilang kepadanya, “Minggu depan, mungkin aku akan datang ke tempat tadi, untuk ngambil undangan yang udah jadi. Aku masih boleh mampir?”
Dia tersenyum, mengangguk.
Dan begitulah awalnya.
Sejak itu, saya beberapa kali dolan ke rumah Alya, meski tidak lagi punya urusan dengan tempat pembuatan undangan. Meski bisa dibilang telah cukup akrab, namun kami jarang bersama di sekolah. Saat jam istirahat, saya lebih sering masuk perpustakaan, sementara Alya dan teman-temannya suka ngerumpi di kantin. Teman-teman saya bahkan tidak tahu kalau saya sering dolan ke rumah Alya. Mungkin, begitu pula teman-teman Alya.
Sampai kemudian, terjadilah peristiwa itu. Alya dan Dira berantem di dalam kelas... dan saya diundang ke kantor BP.
Jadi, siang itu Alya bercerita pada teman-temannya, kalau saya sering dolan ke rumahnya. Cerita itu sampai ke telinga Dira, yang langsung menuduh Alya berbohong. Alya marah disebut pembohong, dan dua cewek itu pun saling ledek, saling caci, dan... singkat cerita, mereka sampai jambak-jambakan dan lain-lain, dan lain-lain. Seisi kelas geger, dan dua cewek itu diajukan ke kantor BP.
Kepada Guru BP, saya berkata, “Saya memang sering dolan ke rumah Alya.” Lalu saya menceritakan semua kisah di atas apa adanya.
Sebenarnya, Alya dan saya hanya berteman—kami tidak saling naksir apalagi pacaran, sebagaimana umumnya anak SMA. Tampaknya, selama waktu-waktu itu, kami hanya saling merasa cocok. Saya jarang punya teman cewek, sementara Alya mungkin tidak punya teman cowok. Lalu kami bertemu, berteman, dan saling merasa nyaman. Hanya itu.
Saat di rumah Alya, kadang kami membeli rujak, pecel, atau makanan lain di dekat rumah Alya, lalu kami menikmatinya bersama. Tidak pernah tercetus pikiran untuk pacaran atau semacamnya—kami sudah bahagia sebagai teman. Bahkan, akhirnya, saat lulus SMA, Alya segera menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan keluarganya.
Saat menghadiri acara perkawinannya, saya juga tidak punya perasaan apa-apa, selain hanya kehilangan seorang teman. Karena, tidak lama setelah menikah, Alya diboyong ke tempat suaminya. Sejak itu pula, saya tidak pernah lagi melihat Alya... hingga suatu malam di swalayan.
....
....
“Jadi, kamu lagi ngapain di sini?” tanya Alya, sambil menatap keset-keset terhampar di lantai swalayan. Sementara anak lelakinya menjauh, menuju rak makanan ringan.
“Uhm... aku kerja di sini,” jawab saya asal-asalan. “Ini lagi beres-beresin keset.”
Alya tertawa. “Kamu memang pembohong yang payah. Pekerja di swalayan ini pakai seragam celana jins dan hoodie, ya?”
Saya pun tak tahan untuk ikut tertawa. “Sebenarnya, aku lagi nyari keset buat kamar mandi. Ini lagi nyari yang cocok.”
“Udah menikah? Pasti belum!”
“Ya, aku belum menikah.” Kemudian, sambil nyengir, saya berujar, “Itu salahmu, kan? Kamu ninggalin aku saat kita lulus SMA. Udah berapa abad itu?”
Tawa Alya berderai. Kemudian dia menatap saya sambil geleng-geleng seperti seorang ibu bijaksana. “Kamu sama sekali nggak berubah, ya?”
“Aku nggak tahu harus senang atau sedih mendengarnya.”
“Maksudku, kamu seperti nggak berubah sedikit pun. Nggak tambah tua, masih kelihatan belia kayak dulu...” Lalu tawanya kembali berderai.
“Bukannya aku emang masih belia, Al?”
“Masih belia!” sahut Alya sambil tertawa. “Coba lihat aku! Aku udah jadi emak-emak gini. Eh, anakku udah tiga, lho. Yang tadi itu, anak pertama, udah hampir lulus SD. Kamu juga tadi sama sekali nggak kenal aku, karena aku pasti udah berubah banyak. Tapi kamu... coba lihat. Kamu masih kelihatan belia, seperti dulu. Tadi, waktu melihatmu, aku langsung tahu ini kamu, karena masih persis seperti yang aku kenal dulu. Ya ampun, kamu bahkan masih cakep pakai hoodie!”
Lalu kami pun mengobrolkan teman-teman kami dulu, yang rata-rata sudah menikah dan punya anak. Dari Alya, saya juga tahu Dira telah menikah, juga telah punya anak. Sambil nyengir, Alya berujar, “Kayaknya, yang bertahan melajang cuma kamu. Teman-teman kita udah punya keluarga, anak-anak, dan mereka semua udah berubah. Cuma kamu yang nggak berubah.”
Saat Alya pamit untuk melanjutkan belanjanya, saya berdiri memegangi sebuah keset dan menatap kepergiannya. Dia mendorong troli menuju anak lelakinya yang sedang berdiri di depan rak makanan. Lalu melangkah bersama si anak, perlahan menjauh dari tempat saya berdiri.
Saya menengok keset di tangan, dan terngiang ucapan Alya, “Cuma kamu yang nggak berubah.”
Dan angan saya melayang ke panjang tahun yang telah lewat. Mungkin saya memang tidak pernah berubah. Atau mungkin, suatu saat, saya akan berubah... dengan alasan yang tepat.
Saat ini, saya masih senang menjadi bocah.