“Kau punya teman bernama Damon?” tanya temanku.
“Tidak,” aku menjawab.
“Sayang sekali.”
“Kenapa?”
“Yeah, kupikir kau punya teman bernama Damon.”
Aku jadi tertarik. “Apakah itu penting?”
“Sangat penting,” dia menjawab serius. “Setiap orang seharusnya punya teman bernama Damon.”
“Uh... begitu, ya? Jadi, kau punya teman bernama Damon?”
“Tidak.”
“Katamu tadi setiap orang seharusnya punya teman bernama Damon?”
“Iya, aku berpikir begitu, karena orang-orang mengondisikanku untuk berpikir begitu. Jadi, aku percaya setiap orang seharusnya punya teman bernama Damon.”
“Tapi kau tidak punya teman bernama Damon.”
“Ya, aku tidak punya teman bernama Damon,” dia mengangguk. “Makanya, aku tanya kepadamu, apakah kau punya teman bernama Damon. Maksudku, kalau kau punya teman bernama Damon, aku ingin dikenalkan dengannya, agar aku juga punya teman bernama Damon.”
“Sayang sekali aku tidak punya teman bernama Damon...”
“Ya, sayang sekali,” dia kembali mengangguk. “Karena seharusnya setiap orang punya teman bernama Damon.”