Kompas dan Tempo (online) kayaknya makin menurunkan standar, dan
makin berubah menjadi koran kuning. Berita internet makin menyedihkan.
—Twitter, 8 April 2015
Jurnalisme bukan hakim (dan bukan obrolan di warung kopi), dan judul
berita ini salah. RT @tempodotco Memprihatinkan, Bea Masuk Indonesia
Terendah di Dunia http://bit.ly/1IAlqwJ
—Twitter, 27 Juli 2015
Ini judul berita yang benar. Netral, tanpa memaksakan opini.
RT @kompascom Penerimaan Negara Bertambah Rp 800 Miliar
dari Bea Masuk http://kom.ps/AFtAp7
—Twitter, 27 Juli 2015
Jadi gatel ingin ngomongin jurnalistik.
—Twitter, 27 Juli 2015
Pertanyaan yang dari dulu tak pernah selesai terjawab, “Apakah blog
termasuk produk jurnalistik?” Jawabannya tergantung si empunya blog.
—Twitter, 27 Juli 2015
Jika pemilik blog menjadikan blognya sebagai sarana menulis berita
(bukan opini, esai dan semacamnya), maka blog menjadi bagian jurnalistik.
—Twitter, 27 Juli 2015
Tetapi jika pemilik blog menjadikan blognya sebagai sarana menuangkan
opini, pemikiran pribadi, dan semacamnya, maka blog bukan jurnalistik.
—Twitter, 27 Juli 2015
Mana yang lebih baik? Karya jurnalistik atau non-jurnalistik? Tidak ada
yang lebih baik atau lebih buruk. Itu hanya soal pilihan. Tetapi...
—Twitter, 27 Juli 2015
Tetapi, jika suatu web/blog telah menyatakan diri sebagai bagian
jurnalistik, dia harus menjaga karyanya benar-benar objektif, tanpa opini.
—Twitter, 27 Juli 2015
Memaksakan opini atau pemikiran pribadi terhadap tulisan yang disebut
jurnalistik adalah pengkhianatan terhadap pembaca dan jurnalisme.
—Twitter, 27 Juli 2015
Dan itulah masalah terbesar dunia jurnalistik di Indonesia. Web-web
yang mendaku sebagai karya jurnalistik sering terpeleset opini sendiri.
—Twitter, 27 Juli 2015
Di timeline Twitter, setiap detik kita mendapati judul-judul berita
(yang katanya) jurnalistik, tapi isinya penuh opini pribadi penulisnya.
—Twitter, 27 Juli 2015
Judul-judul berita yang diawali “Memprihatinkan...”, “Astaga...”, “Mengerikan...”,
“Luar Biasa...”, “Wah...” dan semacamnya, semuanya SALAH!
—Twitter, 27 Juli 2015
Awalan-awalan judul berita semacam itu tidak netral, karena mewakili
ide/opini penulisnya. Padahal tugas jurnalis hanya menyampaikan fakta.
—Twitter, 27 Juli 2015
Tugas jurnalis hanya menyampaikan fakta. Soal memprihatinkan, luar biasa,
mengerikan, hebat, dan lain-lain, itu hak pembaca untuk menilai.
—Twitter, 27 Juli 2015
Karenanya, berita dengan judul subjektif (seperti contoh tadi) tidak
hanya salah, tapi juga merampok hak pembaca untuk menilai suatu fakta.
—Twitter, 27 Juli 2015
Dan, sekali lagi, itulah masalah terbesar dunia jurnalistik Indonesia.
Web-web jurnalistik justru lebih sering mengedepankan subjektivitas.
—Twitter, 27 Juli 2015
Nyaris semua judul berita mereka diawali ide/opini penulisnya.
Akibatnya, efek yang timbul tidak netral/objektif.
—Twitter, 27 Juli 2015
Membaca berita di web-web Indonesia, pembaca seperti dipaksa untuk
sesuai dengan opini penulisnya yang tertuang dalam judul. Akibatnya...
—Twitter, 27 Juli 2015
Akibatnya, pembaca berita di Indonesia seperti kumpulan orang idiot
yang tak bisa menentukan opini dan pemikirannya sendiri untuk menilai.
—Twitter, 27 Juli 2015
Dan itukah misi jurnalisme? Tentu saja tidak! Jurnalisme ada untuk
mencerdaskan pembaca, dan bukan mengubah pembaca menjadi kumpulan bebek.
—Twitter, 27 Juli 2015
Karena jurnalis Indonesia lebih senang menulis judul-judul subjektif
(bahkan bombastis), pembaca pun mudah terprovokasi. Itu mengerikan.
—Twitter, 27 Juli 2015
Hasilnya, muncul orang-orang yang merasa telah tahu isi suatu berita
hanya dengan membaca judulnya. Lalu bereaksi subjektif dan sok tahu.
—Twitter, 27 Juli 2015
Ending-nya, orang-orang ribut berpolemik dan meributkan banyak hal,
tanpa tahu pasti (dan utuh) soal apa yang sebenarnya mereka ributkan.
—Twitter, 27 Juli 2015
Tentu saja rangkaian tweet-ku soal jurnalisme ini subjektif. Tapi aku
tidak pernah mengatakan rangkaian tweet-ku sebagai karya jurnalistik.
—Twitter, 27 Juli 2015
*) Ditranskrip dari timeline @noffret.