Jumat, 01 Januari 2016

Humor dan Kearifan

Memiliki selera humor adalah berkat yang layak disyukuri.
Terpujilah orang-orang yang bisa membuat orang lain
tersenyum dan tertawa.
@noffret


Orang Amerika kadang keterlaluan saat membuat humor, termasuk humor menyangkut pemerintah. Salah satu humor yang pernah membuat saya ngakak tanpa bisa ditahan adalah kisah kemacetan yang terjadi di Washington, DC., pada era presiden George W. Bush.

Berdasarkan humor tersebut, suatu hari terjadi kemacetan amat parah di jalanan Washington. Lalu lintas macet total, dan mobil-mobil tak bisa bergerak. Di antara kemacetan, tampak beberapa relawan yang sibuk di antara mobil-mobil, membantu mengurai kemacetan. Ada pula beberapa yang mengetuk-ngetuk jendela mobil, lalu bercakap dengan si pengendara.

Di salah satu mobil, seorang pengendara menurunkan kaca jendela, dan bertanya pada seorang relawan yang kebetulan sedang berdiri di samping mobilnya.

“Ada apa, sampai macet begini?” sapa si pengendara.

Si relawan menjawab, “Presiden Bush disandera teroris!”

“Aduh, pasti akan lama macetnya.”

“Terorisnya minta tebusan satu miliar dollar,” ujar si relawan. “Kalau permintaannya tidak dipenuhi, Presiden akan disiram bensin terus dibakar.”

“Mengerikan sekali!” ujar si pengendara. “Jadi, apa tugas Anda di sini?”

“Saya bertugas mengumpulkan sumbangan dari tiap mobil.”

“Begitu. Berapa saya harus menyumbang?”

“Terserah Anda. Tadi, ada yang menyumbang lima liter, tujuh liter, ada juga yang menyumbang sepuluh liter bensin...”

Seperti yang dibilang tadi, saya ngakak tanpa bisa ditahan saat pertama kali mendengar humor tersebut. Dan humor-humor semacam itu biasa muncul dalam kehidupan orang Amerika. George W. Bush mungkin salah satu presiden Amerika yang paling banyak dikarikaturkan, sekaligus paling sering menjadi objek humor. Karenanya, saya pun cukup yakin dia tahu setidaknya satu humor atau karikatur mengenai dirinya. Dan bersyukurlah orang Amerika, karena mereka tidak diperkarakan gara-gara kenakalan semacam itu.

Entah karena menjunjung tinggi demokrasi dan liberalisasi, atau karena menyadari mereka memang brengsek, pemerintah Amerika—sejauh ini—belum pernah terdengar memperkarakan warganya karena hal-hal semacam humor atau sindiran-sindiran terhadap pemerintah. Bisa jadi pula mereka memahami bahwa humor semacam itu adalah protes atau kritik yang jauh lebih bisa diterima, daripada tindakan-tindakan protes yang anarkis.

Humor sering kali memang menjadi semacam pisau bedah sangat tajam, yang mampu mengorek berbagai macam borok. Saat tubuh mengalami masalah dan perlu operasi, dibutuhkan pisau bedah yang tajam untuk membedah kulit dan mengeluarkan masalah yang mengganggu. Pasien yang tubuhnya dibedah dan dikorek-korek tidak keberatan, karena menyadari pisau tajam itu tidak dimaksudkan untuk membunuh, melainkan untuk menyelamatkan. Humor sering berfungsi semacam itu. 

Karenanya, pemerintah Amerika pun mungkin menyadari, bahwa munculnya humor-humor menyangkut mereka—sesinis dan sesarkas apa pun—lebih dimaksudkan sebagai teguran yang bertujuan positif, meski mungkin memerahkan kuping. Karenanya, alih-alih menangkap dan memperkarakan orang-orang pembuat humor nakal, mereka lebih suka membiarkan. Bisa jadi, diam-diam, mereka juga menikmati dan cekikikan sendiri.

Dalam banyak hal, humor juga sering introspektif. Tidak hanya membuat kita mampu tersenyum atau tertawa, tapi juga menyalakan impuls kesadaran untuk melakukan introspeksi. Humor-humor Nasrudin Hoja, misalnya, atau humor-humor Abu Nawas, banyak yang reflektif dan introspektif. Di Indonesia, humor-humor Gus Dur juga banyak yang introspektif—jenis humor yang tidak hanya membuat kita tergelak, tapi sekaligus mengangguk-angguk.

Humor Nasrudin Hoja atau Abu Nawas mungkin bisa dibilang humor-humor paling terkenal di dunia. Nyaris di negara mana pun, dua nama itu dikenal sebagai sosok humoris. Hal itu, kemungkinan, karena humor-humor mereka dapat diterjemahkan dan dipahami di semua tempat, dan dapat dinikmati tanpa batas waktu—jenis humor universal yang mampu membuat gelak tawa di mana pun saat dibaca atau diperdengarkan.

Lebih dari itu, humor-humor Nasrudin Hoja atau Abu Nawas juga tidak bersifat menyerang. Humor mereka lebih banyak reflektif dan introspektif. Ada banyak sindiran yang terdapat dalam humor-humor mereka, tapi pembaca bisa asyik menikmati, karena objek yang menjadi sasaran sindiran adalah Abu Nawas atau Nasrudin Hoja sendiri. Itu seperti pertunjukan pantomim dengan adegan slapstik—tersandung, terjatuh—tapi penonton tertawa, karena yang tersandung dan terjatuh adalah si pemeran pantomim.

Menggunakan humor untuk mencapai suatu tujuan—atau menyampaikan pesan—tak jauh beda dengan menggunakan pisau bedah untuk mengorek borok. Nasrudin Hoja tahu cara mengorek borok-borok ego dan kedunguan manusia, dan dia menggunakan pisau yang amat tajam; humor yang introspektif. Abu Nawas mengorek borok-borok yang sama, dengan pisau tajam yang sama; humor yang reflektif.

Humor-humor semacam itu sering kali menjadi humor-humor evergreen yang dinikmati manusia sepanjang masa. Karena, senaif apa pun, manusia juga memiliki fitrah kehendak untuk memperbaiki diri. Dan humor, dalam hal ini, adalah cara memperbaiki diri yang dapat digunakan tanpa menyakiti. Berbeda dengan khutbah yang sering dogmatis, berbeda dengan ceramah yang mungkin bikin ngantuk, humor reflektif dan introspektif jauh lebih menarik.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun menyukai humor, meski humor kosong atau humor yang murni dimaksudkan sebagai humor semata. Kita senang pada hal-hal yang membuat tertawa, bahkan kita juga senang saat mampu membuat orang lain tertawa. Dalam hal itu, humor sering berfungsi sebagai semacam pelicin hubungan antarmanusia. Dua orang yang semula kaku dan menjaga jarak bisa lebur saat bisa tertawa bersama.

Tetapi, sebagaimana hal lain, penggunaan humor pun tetap membutuhkan kearifan. Kita tidak meletakkan linggis di atas bantal, tidak menyimpan cangkul di dalam kulkas, sebagaimana kita harus meletakkan humor sesuai proporsinya. Karena humor pun bisa menjadi masalah, ketika diletakkan di tempat yang salah, atau dilakukan dengan cara tidak tepat.

Di Thailand, misalnya, pernah ada orang yang terancam penjara gara-gara humor. Padahal humornya tidak menyinggung siapa pun. Ceritanya, pada 1 November 2015, seorang lelaki berusia 23 tahun bernama Pichit Boondaeng menumpang pesawat Thai Lion di bandara Don Muang menuju Hatyai. Saat kru pesawat membantu memasukkan tas ke dalam kabin, Pichit Boondaeng bergurau dengan mengatakan tas yang dibawanya berisi bom.

Pichit Boondaeng memaksudkan ucapannya sebagai humor, dengan tujuan membuat kru pesawat tersenyum. Dia bahkan tertawa saat mengatakan gurauan itu. Tetapi, alih-alih mendapat senyuman, Pichit Boondaeng justru masuk penjara. Gara-gara “humor” yang dilontarkannya, kru pesawat melaporkan lelucon yang tidak lucu itu kepada kapten. Kapten pesawat kemudian memutuskan membatalkan penerbangan, dan meminta semua penumpang turun.

Setelah itu, tim penjinak bom dipanggil, untuk memeriksa tas Pichit Boondaeng. Tidak ada bom yang ditemukan, karena Pichit Boondaeng memang cuma bermaksud menyatakan humor. Meski begitu, Pichit Boondaeng harus menghadapi penyelidikan, dan dia didakwa membuat laporan palsu, serta menghadapi hukuman penjara lima tahun plus denda 200.000 baht (sekitar 77 juta rupiah). Perusahaan penerbangan juga berencana menggugat Pichit Boondaeng, akibat kerugian yang dialami setelah penerbangan tersebut tertunda.

Ironis? Berlebihan? Mengerikan? Mungkin ya, tetapi kasus itu menunjukkan kepada kita bahwa humor adalah pisau yang amat tajam. Ketika digunakan sembarangan, dampaknya bisa berbahaya. Padahal, dalam konteks Pichit Boondaeng, humor yang ia lontarkan bisa dibilang tidak menyinggung siapa pun. Kesalahannya adalah melontarkan humor di tempat yang salah. Jika kekeliruan meletakkan humor saja bisa mengundang masalah, apalagi melontarkan humor yang jelas-jelas bermasalah?

Seperti kasus Charlie Hebdo, tempo hari. Mereka mungkin berniat menjadikan humornya sebagai humor—atau bahkan otokritik—tetapi mengkarikaturkan seseorang yang disakralkan sama artinya mengundang masalah. Mereka tentu menyadari hal itu, tapi tetap melakukan. Mereka memiliki kecerdasan juga keberanian, tapi mungkin kurang kearifan. Dan pisau tajam yang mereka gunakan kemudian menyayat kulit hingga terluka... dan berdarah.

 
;