Rabu, 06 Januari 2016

Undangan Penting

Setelah dipikir-pikir,
tweet ini sama sekali tidak penting.
@noffret


Seorang teman mengadakan suatu acara di suatu tempat, dan dia menyerahkan selembar undangan untuk saya.

Saya berjanji untuk datang, kalau tidak ada urusan mendesak.

....
....

Pada hari H, saya datang ke tempat acara. Mengikuti intruksi yang ada di undangan, saya menuju suatu pintu yang tampak dijaga beberapa petugas berwajah kaku.

Di depan pintu, tampak beberapa orang akan masuk, dan mereka menyerahkan undangan yang dibawa kepada petugas yang menjaga. Kemudian mengisi buku tamu di meja. Setelah itu, petugas menyerahkan kembali undangan, dan mereka tampak masuk. Setelah memperhatikan hal itu, saya pun menuju ke sana.

Saat sampai di sana, salah satu penjaga menahan saya, dan berkata, “Maaf, pintu ini hanya untuk orang-orang penting. Boleh saya lihat undangan Anda?”

Saya mengeluarkan undangan yang saya terima, dan menyerahkan kepadanya.

Si petugas melihat undangan, dan mendadak tersenyum. Sambil mengembalikan undangan, dia meminta saya masuk dengan nada ramah. “Silakan.”

Tapi saya ragu-ragu. Jadi, dengan ragu pula, saya berkata, “Kalau tidak salah dengar, Anda tadi menyebut pintu ini untuk orang-orang penting?”

“Benar,” dia menjawab.

“Kalau begitu, mungkin saya salah masuk. Karena saya bukan orang penting.”

Petugas itu tampak bingung. “Tapi undangan Anda... uhm, undangan Anda menyebutkan Anda termasuk penting.”

“Kalau begitu, undangan ini mungkin keliru,” saya menyahut sambil memegang undangan di tangan. “Karena saya bukan orang penting.”

Para petugas di sana saling berpandangan, tampak bingung.

Akhirnya, saya berkata pada mereka, “Maaf, kalau boleh tahu, di mana pintu untuk orang tidak penting?”

Dengan bingung, seorang petugas menunjukkan, “Di sebelah sana.”

Saya mengucap terima kasih, lalu pergi menuju pintu yang ditunjuk.

Di pintu khusus untuk orang tidak penting, saya pun melangkah masuk. Tapi seorang petugas di sana menghentikan langkah saya, dan berkata, “Boleh saya lihat undangan Anda?”

Dengan patuh, saya menyerahkan undangan yang saya bawa.

Petugas di sana melihat undangan saya, lalu dengan ramah menyatakan, “Maaf, Anda salah masuk. Anda termasuk undangan penting, dan seharusnya Anda masuk lewat pintu sebelah sana.” Dia menunjuk ke arah pintu tempat saya akan masuk tadi.

“Uhmm...” saya jadi bingung. “Sebenarnya, tadi saya sudah berencana masuk pintu sebelah sana. Tapi saya pikir telah keliru.”

“Tidak, tidak,” petugas itu menyahut. “Anda sudah benar masuk lewat pintu sebelah sana, karena undangan ini menunjukkan Anda termasuk undangan penting.”

Dia menyerahkan undangan yang tadi saya berikan, tapi saya belum beranjak pergi. Setelah terdiam sesaat, saya bertanya, “Jadi, pintu sebelah sini untuk undangan yang tidak penting?”

Dia menjawab dengan ramah, “Pintu sebelah sini untuk undangan biasa.”

“Maksudnya, untuk orang biasa?”

“Benar.”

“Kalau begitu, mungkin saya lebih tepat masuk pintu sebelah sini, karena saya juga orang biasa.”

“Tapi undangan Anda menyebutkan Anda termasuk penting.”

“Undangan ini mungkin keliru, karena saya sama sekali tidak penting.”

Petugas itu tampak bingung.

Akhirnya saya berkata, “Begini saja. Apakah saya diizinkan masuk lewat pintu sini?”

Masih dengan ramah, petugas itu menjelaskan, “Saya tentu akan mempersilakan Anda masuk pintu mana pun. Tapi saya ditugaskan di sini untuk memastikan orang masuk melalui pintu yang tepat. Karena itulah ada petugas di masing-masing pintu, untuk memastikan orang masuk lewat pintu yang tepat. Berdasarkan undangan yang Anda bawa, Anda termasuk undangan penting, dan saya menyarankan Anda masuk pintu yang tepat—di sebelah sana—yang khusus ditujukan untuk undangan penting seperti Anda.”

Benar-benar petugas yang baik, pikir saya. Karenanya, dengan nada bersahabat, saya pun menyahut, “Maafkan saya. Tapi undangan yang saya terima mungkin keliru. Karena kenyataannya saya sama sekali tidak penting.”

“Sebenarnya,” dia menyahut dengan serbasalah, “saya tidak tahu orang-orang yang datang ke sini. Saya hanya ditugaskan untuk mengidentifikasi undangan yang mereka bawa. Karenanya, sejujurnya, saya tidak tahu orang per orang yang tadi telah lewat sini, karena saya hanya memastikan mereka membawa undangan, dan masuk lewat pintu yang tepat.”

“Jadi, Anda tidak tahu siapa orang-orang yang tadi masuk lewat pintu ini?”

“Tidak,” dia menjawab dengan serbasalah.

“Anda juga tidak tahu siapa saya?”

Dia makin tampak serbasalah. “Tidak.”

Saya tersenyum. “Nah, itu menunjukkan kalau saya memang tidak penting, kan? Saya tidak beda dengan orang-orang lain yang tadi masuk lewat pintu ini—sama-sama tidak Anda kenal.”

“Tapi undangan Anda...”

“Seperti yang saya bilang tadi, undangan ini mungkin keliru.”

Mungkin karena bosan menghadapi tingkah saya, petugas itu akhirnya berkata, “Saya benar-benar minta maaf, tapi saya tidak bisa mengizinkan Anda masuk lewat pintu ini. Berdasarkan undangan yang Anda bawa, Anda harus masuk lewat pintu di sebelah sana.”

Akhirnya saya pulang.

....
....

Sesampai di rumah, saya letakkan undangan tadi di atas meja. Lalu saya bikin teh hangat, dan menyulut rokok. Sambil mengisap rokok, saya memandangi undangan di atas meja dengan takjub. Jika diperhatikan, lembaran kertas itu memang tampak sangat penting. Setidaknya, lebih penting dari saya.

 
;