Aku menulis untuk alasan yang sama dengan mengapa
aku bernapas; jika aku tidak melakukannya, aku akan mati.
—Isaac Asimov
aku bernapas; jika aku tidak melakukannya, aku akan mati.
—Isaac Asimov
Pertanyaan klasik di dunia kepenulisan, “Bisakah menulis dijadikan profesi? Bisakah orang hidup dari menulis?”
Pertanyaan itu, bagi saya, tidak bisa dijawab dengan mudah, karena harus memahami terlebih dulu dunia penerbitan secara luas dan pasar buku—khususnya di Indonesia—dengan segala sisik meliknya. Memang ada beberapa penulis (Indonesia) yang mendapatkan royalti sampai miliaran dari penjualan buku-bukunya. Tetapi, blak-blakan saja, penulis semacam itu sangat kasuistis, dalam arti kita tidak bisa serta merta meniru mereka.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Mari gunakan contoh. Penulis A, misalnya, menulis buku dengan topik X, dan bestseller, hingga menghasilkan royalti ratusan juta. Berkaca pada hal itu, kita pun menulis buku seperti yang ditulis Penulis A, dengan topik yang sama-sama X, dan kita mengusahakan isi serta tampilan buku itu mirip Buku X karya Penulis A, dengan kualitas yang sama, dengan harga jual yang sama. Kita bahkan mengadakan promosi seperti yang dilakukan Penulis A. Apakah buku kita juga akan bestseller seperti buku milik Penulis A? Belum tentu!
Ada banyak faktor yang terjadi hingga Buku X karya Penulis A bestseller dan menghasilkan royalti besar, termasuk faktor keberuntungan. Yang agak merisaukan, dalam konteks pasar buku di Indonesia, faktor keberuntungan tampaknya menjadi salah satu faktor penentu. Karena itu pula, sebagian penulis dan praktisi penerbitan di Indonesia pernah menyatakan bahwa pasar buku di Indonesia adalah sebuah anomali.
Kesimpulan itu mungkin terdengar agak tergesa-gesa, tetapi—dengan berat hati—saya menyetujui. Saya menyetujui hal itu, karena mendasarkan pengalaman saya pribadi dalam dunia tulis menulis dan hubungan dengan banyak penerbit, serta menyaksikan langsung seperti apa pasar buku di Indonesia.
Saya menulis buku pertama secara profesional pada tahun 2000, dan itu artinya saya telah menjalani profesi menulis selama 15 tahun. Selama bertahun-tahun, saya tidak hanya menghasilkan buku-buku yang telah diterbitkan, tapi juga telah berhubungan dengan puluhan penerbit di Indonesia, dari penerbit kecil sampai penerbit besar. Pengalaman bekerja sama dengan puluhan penerbit itulah yang kemudian membuka mata saya mengenai bagaimana “misteriusnya” pasar buku di Indonesia.
Ada beberapa buku yang saya anggap sangat bagus, dan penerbit juga telah memprediksi buku itu akan laris, tapi nyatanya penjualannya biasa-biasa saja. Sebaliknya, ada buku-buku saya yang bisa dibilang kurang berpotensi, tapi ternyata menghasilkan penjualan besar, yang sama sekali tak terduga. Berkaitan dengan hal itu, ada kisah menarik yang bisa saya ceritakan.
Pada pertengahan 2008, saya dihubungi sebuah penerbit yang meminta saya menulis naskah untuk mereka. Kita sebut saja Penerbit Z. Mereka menentukan topik naskah yang diinginkan, dan saya pun mampu menulisnya. Tetapi, terus terang, waktu itu saya tidak berminat.
Tidak adanya minat saya dilatari dua hal. Pertama, topik naskah yang mereka minta sangat umum, dan ada banyak buku di pasar yang juga membahas hal tersebut. Waktu itu, saya pikir, menulis buku dengan topik tersebut sama saja menggarami laut, dan hanya akan buang-buang waktu.
Kedua, saya tidak terlalu mengenal Penerbit Z, karena sebelumnya kami memang belum pernah bekerja sama. Lebih dari itu, Penerbit Z juga tipe penerbit yang kalem—dalam arti bukan penerbit tenar yang namanya dikenal banyak orang. Penerbit Z tidak aktif di sosial media, bahkan situsnya pun tampaknya jarang di-update.
Dua pertimbangan itu membuat saya ragu-ragu untuk memenuhi permintaan Penerbit Z. Namun, karena tidak ingin mengecewakan Penerbit Z, saya menawarkan teman saya untuk menggarap naskah tersebut. Singkat cerita, Penerbit Z setuju, dan teman saya menggarap naskah yang mereka inginkan. Waktu itu, jujur saja, saya maupun teman saya tidak terlalu optimis dengan naskah buku tersebut, mengingat dua pertimbangan yang telah saya sebut di atas. Tapi rupanya kami salah sangka.
Enam bulan setelah buku itu terbit, penerbit Z mengirimkan laporan penjualan serta royalti untuk teman saya. Jumlahnya di luar perkiraan. Royalti yang ia terima waktu itu relatif besar—jauh lebih besar dari yang kami bayangkan. Tetapi kejutan yang terjadi tidak hanya itu. Selain jumlah royalti yang besar karena penjualan yang baik, Penerbit Z juga memberitahukan rencana cetak ulang untuk semester berikutnya. Dan, ini yang paling mengejutkan, cetak ulang itu kemudian terjadi hampir setiap semester!
Waktu itu, saya dan teman saya benar-benar “shock”. Bagaimana buku yang bisa dibilang sangat umum itu mampu bersaing di pasar, dan menghasilkan penjualan besar? Penerbit Z maupun teman saya tidak melakukan promosi apa pun. Selama waktu-waktu kemudian juga tidak ada upaya promosi apa pun, tapi buku itu terus terjual dan terus terjual. Total royalti yang diterima teman saya dari buku itu mencapai Rp. 110 juta—angka yang jauh lebih besar dari perkiraan kami.
Pengalaman itu—juga beberapa pengalaman lain serupa—seperti memberitahu saya, bahwa pasar buku di Indonesia mungkin dapat diprediksi, tapi kadang tak terduga. Kenyataan itu pula yang kemudian melahirkan dua macam penerbit yang masing-masing memiliki perspektif sendiri, dengan cara penerbitan buku yang jauh berbeda.
Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, saya mengenal dua macam penerbit, khususnya dalam produksi dan penerbitan buku. Penerbit pertama saya sebut penerbit selektif. Sementara penerbit kedua saya sebut penerbit produktif.
Sebagaimana namanya, penerbit selektif sangat hati-hati dalam menerbitkan buku. Untuk setiap satu buku yang diterbitkan, mereka memiliki pemikiran panjang, perencanaan detail, dan berbagai upaya agar buku tersebut laris terjual, yang itu artinya akan melibatkan urusan promosi dan segala macam, yang umumnya juga melibatkan si penulis.
Selain pertimbangan yang matang dalam urusan menerbitkan buku, penerbit jenis ini juga sangat “irit”. Maksudnya, jika kita menerbitkan buku di penerbit selektif, biasanya kita tidak bisa menerbitkan beberapa buku sekaligus. Kita hanya bisa menerbitkan satu buku, lalu berusaha mempromosikannya dengan gencar sampai terjual habis, baru kemudian bisa menerbitkan buku lain.
Penerbit selektif memberlakukan “aturan” semacam itu, karena menyadari bahwa bagaimana pun juga pasar buku kadang tak terduga, karenanya mereka sangat hati-hati. Mereka tidak ingin membuang uang percuma untuk menerbitkan banyak buku yang ternyata tidak laku. Karenanya pula, penulis yang bekerja sama dengan penerbit selektif biasanya punya semacam kewajiban untuk aktif mempromosikan bukunya, jika memang ingin kembali menerbitkan buku di penerbit tersebut.
Kemudian, penerbit jenis kedua, saya sebut penerbit produktif. Jika penerbit selektif sangat “irit” dalam menerbitkan buku—khususnya untuk karya setiap penulis—penerbit produktif melakukan hal sebaliknya. Mereka menerbitkan buku dalam jumlah sangat banyak, hingga seorang penulis bisa menerbitkan beberapa buku sekaligus dalam satu waktu. Penerbit produktif hanya memastikan naskah memenuhi standar yang mereka tetapkan, dan mereka pun akan menerbitkan, tak peduli berapa pun jumlahnya.
Penerbit produktif sengaja menerbitkan buku dalam jumlah banyak, juga dilatari pertimbangan bahwa pasar buku kadang tak terduga. Karena itu, mereka sengaja menerbitkan buku beragam, agar calon pembeli memiliki lebih banyak pilihan. Karena itu pula, jumlah buku yang diterbitkan penerbit produktif jauh lebih banyak dibandingkan buku yang diterbitkan penerbit selektif.
Jadi, secara garis besar, seperti inilah cara kerja dalam berhubungan dengan dua jenis penerbit di atas:
Jika kita bekerja sama dengan penerbit selektif, yang perlu kita lakukan hanya menulis satu buku, lalu berusaha mempromosikannya sebaik mungkin, dengan harapan bisa terjual banyak. Untuk hal itu, biasanya, kita harus sangat aktif bahkan interaktif. Tidak menutup kemungkinan, waktu yang kita gunakan untuk urusan promosi jauh lebih banyak dibandingkan waktu menulis naskah. Setelah buku benar-benar laris terjual, kita baru bisa mulai fokus untuk menulis buku lain.
Sebaliknya, jika kita bekerja sama dengan penerbit produktif, yang paling perlu kita lakukan adalah menulis naskah. Yang dibutuhkan penerbit produktif adalah pasokan naskah—mereka perlu menerbitkan buku sebanyak-banyaknya, untuk mendominasi pasar. Karena itu pula, penerbit produktif tidak menuntut penulis untuk berpromosi—mereka membiarkan penulis khusyuk menulis, agar bisa terus memasok naskah.
Dari dua jenis penerbit tersebut, manakah yang lebih baik? Jawabannya tergantung pada masing-masing penulis. Jika kita tergolong penulis yang tidak terlalu produktif, atau menjadikan menulis sebagai profesi paruh-waktu, penerbit selektif bisa jadi pilihan. Apalagi jika kita memang suka bersosialisasi, hingga sangat menikmati acara promosi buku—dari wawancara, bedah buku, temu penulis, gathering, dan lain-lain. Karenanya, bekerja sama dengan penerbit selektif juga memungkinkan penulis untuk cepat terkenal.
Sebaliknya, jika kita menjadikan menulis sebagai profesi purna-waktu (full time), maka penerbit produktif bisa menjadi pilihan yang baik, karena kita bisa terus menulis tanpa henti, dan mereka akan terus menerbitkannya. Apalagi jika kita tergolong “penulis kuno” yang lebih senang menyendiri daripada bersosialisasi. Dalam hal ini, saya pribadi lebih nyaman bekerja sama dengan penerbit produktif, karena hanya diwajibkan menulis naskah tanpa dibebani kewajiban berpromosi.
Selama beberapa tahun ini, saya terikat kontrak tidak resmi dengan dua penerbit produktif. Saya sebut “tidak resmi”, karena kami memang tidak pernah mengadakan kontrak untuk saling mengikat secara resmi. Namun, penerbit-penerbit itu terus meminta saya memasok naskah untuk mereka, dan saya pun terus menulis naskah untuk mereka.
Permintaan mereka bahkan melebihi kemampuan saya, hingga akhirnya saya membentuk tim berisi para penulis profesional, agar bisa memenuhi permintaan mereka. Karena digarap tim, nama yang tertulis di buku pun bukan nama saya, tapi nama tim. Sementara buku-buku yang menggunakan nama saya memang karya saya pribadi—tidak melibatkan tim.
Saat ini, tim penulis paling produktif di Indonesia adalah Jubilee Enterprise. Jumlah buku karya mereka yang telah beredar di pasar mungkin telah mencapai 1.000 (seribu) judul. Jika kita bertanya pada mereka, apakah orang bisa hidup dari menulis, tentu mereka akan menjawab “Ya.” Siapa pun yang punya 1.000 judul buku yang beredar di pasar, bisa dipastikan meraih royalti miliaran.
Nah, berdasarkan uraian mengenai dua macam penerbit di atas, kita bisa mulai menakar pertanyaan yang mengawali catatan ini, “Bisakah menulis dijadikan profesi? Bisakah orang hidup dari menulis?”
Jawabannya, sekali lagi, tergantung pada diri kita sendiri. Selain kreativitas dan produktivitas, kesuksesan dalam dunia kepenulisan juga tergantung pada kepribadian kita. Orang introver yang sulit bersosialisasi—seperti saya—mungkin akan kesulitan jika hanya berhubungan dengan penerbit selektif. Sebaliknya, orang ekstrover yang senang bertemu banyak orang, bisa stres berat jika harus bekerja sama dengan penerbit produktif yang memberlakukan tuntutan produktivitas tinggi.
Karenanya pula, pertanyaan “bisakah menulis dijadikan profesi?” sebenarnya tidak semudah kedengarannya. Itu sangat berkaitan dengan pepatah manajemen klasik, “the right man on the right place”. Artinya, kemungkinan aktivitas menulis dijadikan profesi tidak hanya berhubungan dengan kemampuan menulis dan semacamnya, tapi juga berkaitan dengan tempat yang tepat sesuai kepribadian si penulis.
Setelah penulis mendapatkan tempat (penerbit) yang tepat, baru kita masuk pada pertanyaan selanjutnya, “Bisakah orang hidup dari menulis?” Untuk menjawab pertanyaan itu, sekali lagi, tergantung diri kita sendiri, dan bagaimana improvisasi kita terhadap kerjasama dengan penerbit yang kita pilih. Jika kita bekerja sama dengan penerbit selektif, kita harus kreatif berpromosi. Jika kita bekerja sama dengan penerbit produktif, kita harus mampu produktif menulis dan memasok naskah.
Jadi, sebelum meributkan pertanyaan apakah menulis bisa dijadikan profesi dan apakah orang bisa hidup dari menulis, yang perlu kita lakukan terlebih dulu adalah memahami diri sendiri, lalu memahami penerbit yang kita pilih.
Untuk memahami diri sendiri, dibutuhkan kejujuran. Sedangkan untuk memahami penerbit yang kita pilih, dibutuhkan pengalaman. Yang saat ini masih pemula, kelak akan tahu perlahan-lahan dan mulai mengenali dua macam penerbit yang telah saya uraikan. Tak perlu buru-buru, karena semuanya membutuhkan perjalanan dan proses belajar.