Kamis, 14 Januari 2016

Kembang Gunung Lawu

Seseorang berkata, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.”
Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.
@noffret


Epos Saur Sepuh karya Niki Kosasih bukan hanya kisah kolosal dengan plot raksasa, tapi juga melibatkan ratusan tokoh dengan karakter unik dan mengesankan. Bagi saya, Saur Sepuh tak kalah hebat dengan saga Harry Potter atau epos Mahabarata—sama-sama mengagumkan, dengan jalinan cerita penuh filosofi, dan tak lekang oleh zaman. Niki Kosasih benar-benar hebat dalam membangun kisah, menciptakan tokoh-tokoh, serta merangkai alur dan plot yang rumit namun mempesona.

Salah satu karakter mengesankan dalam kisah Saur Sepuh adalah Lasmini. Dia tokoh kontroversial—dikenal sebagai pendekar hebat, sekaligus perempuan jalang. Banyak orang tidak menyukai Lasmini karena tingkahnya yang menyebalkan. Dia tipe wanita yang dijauhi lelaki, sekaligus dibenci sesama wanita. Tetapi, pada sosok Lasmini pulalah, Niki Kosasih menunjukkkan kehebatannya sebagai kreator cerita.

Lasmini berasal dari Kadipaten Pamotan—suatu tempat di Kerajaan Majapahit. Ia menjadi kekasih Tumenggung Bayan, seorang pejabat Majapahit. Hubungan Lasmini dengan Tumenggung Bayan berjalan dengan baik. Tapi kisah cinta mereka kemudian berakhir, ketika sang Tumenggung tewas di tangan Brama Kumbara.

Sebelumnya, Brama Kumbara—Raja Madangkara—mengirim utusan bernama Tumenggung Adiguna ke Kadipaten Pamotan untuk suatu misi. Tumenggung Bayan membunuh utusan tersebut, hingga Brama murka dan memburunya. Mereka bertarung, dan Tumenggung Bayan tewas dalam pertarungan.

Atas tewasnya Tumenggung Bayan, Lasmini pun mendendam. Dia memburu Brama sampai ke Madangkara dengan satu tujuan pasti—membalas kematian kekasihnya. Tetapi, saat bertemu Brama Kumbara, Lasmini justru jatuh hati, dan lupa pada niatnya membalas dendam. Bukannya membunuh Brama seperti yang diniatkan semula, Lasmini justru menyatakan cinta.

Waktu itu, Brama Kumbara telah memiliki istri, dan dia menolak cinta Lasmini. Tapi Lasmini tampaknya telah mabuk kepayang, hingga terus berupaya meraih hati Brama. Upaya itulah yang kemudian membuat banyak orang jengkel pada Lasmini. Reputasi Lasmini sebagai perempuan jalang dan binal pun perlahan terbentuk.

Mantili, adik Brama, juga sangat membenci Lasmini. Mantili pulalah, yang dengan penuh murka, mengusir Lasmini dari tanah Madangkara. Kelak, permusuhan antara Mantili dan Lasmini menjadi permusuhan abadi. Lasmini membenci Mantili setengah mati, begitu pula Mantili membenci Lasmini sepenuh hati.

Terusir dari Madangkara, dengan hati pedih dan terlunta, Lasmini kemudian jatuh ke pelukan Juragan Basra, seorang hartawan tua di Kerajaan Pajajaran. Lasmini berpikir dapat mengobati lara hatinya dengan menjadi pasangan lelaki kaya raya. Gelimang uang, pikirnya, dapat menjadi pelipur lara yang akan melupakan pikirannya dari cinta terhadap Brama.

Tapi rupanya Lasmini keliru. Hidup bersama Juragan Basra tidak membuat bahagia. Gelimang harta tidak menjadikannya merasakan cinta. Hubungan yang ia jalin pun kemudian penuh masalah, pertengkaran, dan keributan yang terus membuat batinnya tertekan. Akhirnya, tak kuat menghadapi kehidupan yang pahit, Lasmini memutuskan untuk pergi meninggalkan Juragan Basra.

Ditinggal Lasmini, Juragan Basra merasa terluka, dan dia gelap mata. Juragan Basra menyuruh anak buahnya untuk membunuh Lasmini. Bagi Juragan Basra, lebih baik kehilangan Lasmini karena perempuan itu mati, daripada kehilangan Lasmini karena ditinggal pergi.

Jadi begitulah. Di tengah perjalanan, di daerah Lawu, Lasmini dicegat beberapa orang suruhan Juragan Basra, yang kemudian memperkosa Lasmini beramai-ramai. Setelah itu, mereka melemparkan tubuh Lasmini ke jurang.

Seharusnya Lasmini mati, dan kisah itu selesai. Tapi takdir menghendaki lain.

Saat tubuh Lasmini hampir menghantam dasar jurang, muncul seorang nenek menolongnya. Sang penolong bukan nenek sembarangan. Dia dikenal dengan nama Nenek Lawu, seorang pendekar sakti yang menyepi di puncak Gunung Lawu. Nenek Lawu menyadari usianya sudah sangat tua, dan dia harus mewariskan ilmunya sebelum tutup usia. Saat melihat tubuh Lasmini melayang ke dasar jurang, dia pun tahu kepada siapa harus mewariskan kesaktiannya.

Syahdan, Lasmini kemudian tinggal di Gunung Lawu, menjadi murid sang nenek sakti. Selain mengobati tubuh dan hatinya yang terluka, Lasmini juga belajar banyak pengetahuan dan ilmu kesaktian. Nenek Lawu mewariskan ilmu demi ilmu yang dimilikinya kepada Lasmini. Di bawah didikan Nenek Lawu, Lasmini pun mewujud menjadi pendekar yang sangat sakti dan digdaya. Lasmini tetap tinggal di Gunung Lawu, sampai gurunya wafat.

Setelah Nenek Lawu wafat, Lasmini turun gunung dengan satu misi—membalas dendam kepada orang-orang yang telah melukai dan menginjak-injak harga dirinya. Kini, dia bukan lagi Lasmini yang dulu. Segala sakit, luka, dan derita, telah membentuknya menjadi pribadi yang sangat kuat... ditambah berbagai kesaktian yang diwarisinya dari Nenek Lawu. Lasmini pun pergi ke Pajajaran untuk memburu bajingan-bajingan yang telah melukainya.

Pajajaran seketika geger dengan kemunculan Lasmini. Perempuan pendekar itu membantai Juragan Basra dan semua anak buahnya, serta pendekar-pendekar yang mencoba menghalanginya. Dalam waktu singkat, Lasmini membuat Pajajaran banjir darah. Pendekar-pendekar sakti bergelimpangan, dan kabar mengenai kehebatan Lasmini pun tersebar ke mana-mana, sampai ke Kerajaan Madangkara.

Kerajaan Pajajaran bersahabat dengan Kerajaan Madangkara. Mengetahui Pajajaran diobrak-abrik Lasmini, Brama Kumbara—Raja Madangkara—merasa perlu membantu Pajajaran. Maka Brama pun mengirim dua pendekar sakti dari Madangkara, bernama Atang Subali dan Gatra Denawa, dua orang yang dikenal sebagai pendekar cambuk yang perkasa.

Selama bertahun-tahun, sepasang pendekar cambuk itu tak pernah terkalahkan, hingga menjadi andalan Madangkara dalam urusan meredam keributan di antara pendekar. Tetapi, saat menghadapi Lasmini, dua bocah sakti itu kalah, dan mati.

Kekalahan sepasang pendekar sakti Madangkara seketika menyulut kegemparan di rimba persilatan. Para pendekar dan jawara dari berbagai tempat merasa penasaran, dan mereka pun memburu Lasmini dari segala penjuru. Sesakti apa pun, Lasmini menyadari tak mungkin mampu menghadapi banyak pendekar sakti sekaligus. Maka dia pun melarikan diri, dan menyepi di Gunung Lawu, tempat yang dulu pernah mengobati lara hatinya.

Nasib kembali terulang—Lasmini terpinggirkan, orang-orang membencinya. Kembang Gunung Lawu harus kembali memeluk puncak yang sepi.

Sendirian di puncak Gunung Lawu, bersama kesepian dan kegalauan, tanpa sengaja Lasmini menemukan kitab pusaka milik mendiang gurunya. Kitab pusaka itu rupanya berisi ilmu kesaktian tingkat tinggi yang belum sempat diajarkan Nenek Lawu, karena keburu wafat. Lasmini mempelajari kitab pusaka itu, hingga akhirnya menguasai Ajian Cipta Dewa, ilmu kesaktian tertinggi di dunia Saur Sepuh.

Cipta Dewa adalah penggabungan intisari Ajian Serat Jiwa, Ajian Waringin Sungsang, dan Ajian Lampah Lumpuh. Serat Jiwa adalah ilmu kesaktian yang dimiliki banyak pendekar kelas atas. Lampah Lumpuh adalah ilmu kesaktian tingkat tinggi andalan Brama Kumbara. Sementara Waringin Sungsang adalah ilmu kesaktian pamungkas Panembahan Pasopati, sang mahaguru Padepokan Gunung Saba. Entah bagaimana caranya, Nenek Lawu berhasil menggabungkan ketiga ilmu kesaktian itu, dan mensintesiskannya menjadi ilmu baru bernama Cipta Dewa.

Dengan tekun, Lasmini mempelajari ilmu kesaktian peninggalan gurunya, hingga benar-benar menguasai Cipta Dewa. Dia yang semula sudah sangat sakti, kini benar-benar tak terkalahkan. Jadi, Lasmini pun kemudian turun gunung, sekali lagi, kali ini untuk menjajal kehebatan yang baru dimilikinya. Dia pergi ke Gunung Saba, dan menantang Panembahan Pasopati.

Di masa lalu, Panembahan Pasopati pernah bertarung dengan Brama Kumbara, saat Brama memburu murid Panembahan Pasopati yang merebut Pedang Setan milik Mantili. Dalam pertarungan itu, Brama sempat kalah, sampai kemudian bertarung sekali lagi, dan mereka bisa dibilang seimbang. Artinya, Panembahan Pasopati bukan orang sembarangan. Dia mahaguru yang benar-benar sakti, terbukti Brama pun kesulitan mengalahkannya.

Dan sekarang, Lasmini datang menantangnya. Dalam pertarungan dengan Lasmini, Panembahan Pasopati pun menggunakan kesaktian andalannya, Ajian Waringin Sungsang. Lasmini melawan kesaktian itu dengan Ajian Cipta Dewa. Batu-batu beterbangan, pohon-pohon rubuh, angin kencang menerjang, dan... well, Panembahan Pasopati tewas dengan muntah darah.

Sekali lagi, rimba persilatan geger.

Berhasil mengalahkan Panembahan Pasopati, Lasmini pun semakin percaya diri. Dia memutuskan pergi ke Madangkara, untuk menantang Mantili, wanita yang selama ini dibencinya, yang dulu pernah mengusirnya dari Madangkara. Kali ini, pikir Lasmini, dia akan membunuh Mantili, agar perempuan itu tidak bisa lagi menghinanya.

Di Madangkara, Lasmini bertarung dengan Mantili. Akhir pertarungan bisa ditebak—Mantili kalah. Kali ini, dendam Lasmini akan terbalas—perempuan yang dulu menghinanya akan segera mati. Lasmini pun siap menghantamkan Ajian Cipta Dewa untuk membunuh Mantili... tapi kemudian muncul Raden Bentar. Dia menghalangi Lasmini yang akan membunuh Mantili.

Raden Bentar adalah putra Brama Kumbara. Dulu, ketika Lasmini pertama kali mengenal Brama, Raden Bentar masih kecil. Tetapi, kini, Raden Bentar telah tumbuh menjadi remaja, dan... Lasmini seperti menyaksikan sosok Brama pada diri Raden bentar. Cinta dari masa lalu tiba-tiba meletup tanpa bisa ditahan, dan Lasmini pun tak mampu mengerahkan tenaganya untuk membunuh Mantili. Nyawa Mantili selamat, gara-gara letupan cinta masa lalu yang dirasakan Lasmini.

Peristiwa itu kemudian menghadirkan kisah baru—bukan hanya bagi Lasmini, tetapi juga bagi Raden Bentar. Lasmini, yang merasa tidak mampu meraih Brama, merasa menemukan pengganti Brama melalui Raden Bentar. Sementara, bagi Raden Bentar, Lasmini adalah sosok seorang mbakyu, wujud wanita dewasa yang selama ini dirindukannya. Singkat cerita, mereka saling jatuh cinta.

Tetapi, kita tahu, asmara Lasmini dengan Raden Bentar menjadi kisah cinta terlarang. Raden Bentar adalah putra mahkota Kerajaan Madangkara yang terhormat. Sementara Lasmini telah terkenal sebagai perempuan jalang, penggoda, dan rusak. Hubungan antara Lasmini dengan Raden Bentar pun menjadi skandal yang mengguncang Madangkara. Brama Kumbara risau, Mantili murka, sementara orang-orang di istana kebingungan. Mereka pun menentang dan melarang hubungan Raden Bentar dengan Lasmini.

Berbagai upaya dilakukan untuk menjauhkan Raden Bentar dari Lasmini. Tapi tampaknya Sang Pangeran telah jatuh hati pada Sang Mbakyu. Brama Kumbara, dengan segala kebijaksanaannya, mencoba memahami hubungan antara putranya dengan Lasmini. Bagaimana pun, dia tidak bisa melarang putranya untuk jatuh cinta pada siapa pun, termasuk pada Lasmini. Tapi tidak setiap orang sebijak Brama Kumbara. Pramitha, ibu Raden Bentar, termasuk orang yang tak bisa menerima putranya menjalin hubungan dengan Lasmini.

Akhirnya, setelah berbagai upaya dicari dan dilakukan, keluarga istana Madangkara menemukan sebuah solusi. Mereka mendengar berita bahwa di Kerajaan Pajajaran ada seorang perempuan terhormat bernama Dewi Anjani. Dia putri Tumenggung Gitanyali, seorang pejabat Pajajaran. Selain cantik, Dewi Anjani juga sangat mirip Lasmini.

Istana Madangkara kemudian menyusun rencana. Mereka mengundang keluarga Tumenggung Gitanyali untuk menghadiri jamuan makan malam istana. Tujuan undangan itu sebenarnya untuk memperkenalkan Raden Bentar dengan Dewi Anjani. Tentu dengan harapan Raden Bentar bisa melupakan Lasmini. Jika itu benar terjadi, keluarga istana Madangkara pun akan merestui. Anjani seorang wanita terhormat, keturunan ningrat, yang tentu lebih layak bagi seorang pangeran seperti Raden Bentar, daripada perempuan jalang seperti Lasmini.

Tumenggung Gitanyali pun datang menghadiri undangan istana Madangkara, bersama keluarganya. Seperti yang diberitakan sebelumnya, Dewi Anjani memang sangat mirip Lasmini. Dua perempuan itu seperti pinang dibelah dua. Raden Bentar diperkenalkan dengan Dewi Anjani, dan dia seketika terpesona. Tetapi, di lubuk hati terdalam Raden Bentar, dia tahu tidak jatuh cinta pada Dewi Anjani. Dia hanya menemukan bayang-bayang Lasmini—sosok wanita yang dicintainya—pada diri Dewi Anjani.

Dan siapakah sebenarnya Dewi Anjani? Bagaimana dia bisa sangat mirip Lasmini? Ternyata, Dewi Anjani adalah anak Lasmini!

Mari kita flashback ke masa lalu. Di masa lalu, Lasmini adalah sosok wanita baik dan terhormat sekaligus pendekar hebat. Di masa lalu, Lasmini adalah pendekar muda yang dikenal sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Dia senang pergi ke sana kemari, mengunjungi berbagai tempat, menikmati jiwa petualangnya yang mencintai kebebasan. Di berbagai tempat yang dikunjungi, Lasmini mengalahkan banyak penjahat yang mengganggu orang-orang lain, hingga dia pun sangat dihormati dan disegani.

Sampai kemudian, Lasmini bertarung dengan Si Tombak Iblis, seorang penjahat keji yang memimpin gerombolan perampok. Dalam pertarungan dengan Si Tombak Iblis, Lasmini kalah. Si Tombak Iblis hampir memperkosa Lasmini. Di saat genting itu, muncul seorang punggawa bernama Gitanyali, yang juga seorang pendekar tangguh. Si Tombak Iblis bertarung dengan Gitanyali, dan Si Tombak Iblis kalah. Gitanyali lalu menolong Lasmini.

Di masa itu, Gitanyali adalah seorang lelaki muda, tampan, sakti, dan memiliki jabatan di Kerajaan Pajajaran sebagai punggawa. Sementara Lasmini adalah wanita muda, cantik jelita, dan terkenal sebagai pendekar hebat. Lasmini merasa menemukan orang yang tepat, sementara Gitanyali merasa menemukan tambatan hati. Keduanya saling jatuh cinta, dan menikah. Dari pernikahan itu, lahirlah Dewi Anjani.

Seharusnya mereka bahagia selama-lamanya, seperti yang sering dikatakan legenda. Tapi ternyata tidak. Jiwa petualang Lasmini merasa terkekang dalam kehidupan barunya. Kecintaannya pada kebebasan seperti terkurung di balik tembok-tembok istana. Kegelisahan itu menjadikan Lasmini sering cekcok dengan suaminya, dan pertengkaran mereka makin hari makin panas. Singkat cerita, Lasmini memutuskan pergi meninggalkan suami dan putrinya.

Lasmini kembali menjadi sosok pendekar petualang seperti semula, sementara Gitanyali melanjutkan hidupnya sebagai abdi negara. Setelah kepergian Lasmini, Gitanyali menikah lagi dengan seorang perempuan di lingkungan istana. Dewi Anjani, putri Lasmini, kemudian tumbuh besar bersama ayah dan ibu tirinya.

Sementara itu, Lasmini yang hidup di dunia luas, kemudian bertemu Tumenggung Bayan, seorang pejabat yang juga memiliki jiwa petualang. Lasmini merasa menemukan pasangan yang tepat, yang dapat memahami dirinya seutuhnya. Mereka pun tertarik dan saling jatuh cinta... sampai kemudian Tumenggung Bayan tewas terbunuh oleh Brama Kumbara.

Lalu kisah panjang itu pun dimulai, dan Lasmini—yang semula sosok baik dan terhormat—perlahan-lahan berubah... dan terus berubah.

Kini, Lasmini yang sekarang bukan lagi Lasmini yang dulu. Perjalanan hidup yang panjang dan keras telah mengubahnya menjadi pribadi yang jauh berbeda... bersama luka, kepahitan, kesepian, dan kehilangan.

Kisah Lasmini, bagi saya, adalah potret buram manusia. Bahwa manusia yang kita kenal—dengan segala kelebihan dan kekurangan—kadang bukan karena keinginan dan kehendaknya, melainkan karena dibentuk, dibangun, dan dikonstruksi oleh perjalanan hidup serta pengalaman. Seperti Lasmini. Dia mungkin tidak pernah mengimpikan menjadi sosok jalang menyebalkan, tapi kehidupan dan pengalaman membentuknya, dan dia berubah perlahan-lahan. Sebegitu perlahan, hingga dia sendiri tidak menyadari.

Begitulah kita, orang per orang. Yang hebat maupun yang menyedihkan. Yang pintar maupun yang menyebalkan. Yang ceria maupun yang pemurung. Yang ekstrover maupun yang introver. Yang cerewet maupun yang pendiam. Semuanya dibentuk, dibangun, dan dikonstruksi oleh darah dan daging yang kita warisi, sekaligus oleh pengalaman dan perjalanan hidup yang kita alami.

Di dalam kesadaran semacam itulah, pelajaran penting yang paling perlu kita pelajari adalah pelajaran memahami... dan bukan menghakimi.

 
;