Ini kisah “aneh dan tak masuk akal” tentang dua perempuan, yang sampai sekarang belum juga dapat saya pahami.
Bertahun-tahun lalu, ketika masih SMA, saya berkawan dengan Liany dan Vina (semua nama samaran). Kami ada dalam satu kelas. Dua cewek itu—Liany dan Vina—adalah dua cewek yang paling menyedot perhatian semua bocah di SMA kami. Keduanya sangat cantik, dan—entah disengaja atau tidak—mereka duduk di satu meja. Karenanya, para guru lelaki biasanya akan sering memandang ke arah meja mereka sewaktu mengajar—mungkin sekadar mengagumi kecantikan mereka.
Nah, suatu hari terjadi insiden yang tak masuk akal.
Pada waktu itu internet belum ada, apalagi Friendster dan Facebook. Jadi, cewek-cewek yang narsis pada waktu itu menggunakan album foto sebagai sarana narsis mereka. Yang waktu itu menjadi tren adalah berfoto untuk koleksi satu album. Jadi, waktu itu, cewek-cewek yang tergolong narsis biasanya akan menghubungi studio foto atau fotografer profesional untuk membuat foto-foto bagus, kemudian memajang koleksi foto itu dalam sebuah album.
Nah, hal semacam itu pula yang dilakukan Liany dan Vina waktu itu. Seperti cewek-cewek lain, Liany dan Vina menghubungi seorang fotografer profesional, dan mereka membuat foto-foto outdoor yang hasilnya memang sangat mengagumkan. Kecantikan mereka seperti bertambah sepuluh kali lipat dalam foto-foto itu! Dan karena dibuat oleh fotografer profesional, kualitas fotonya pun bisa dibilang setara dengan foto-foto artis yang biasa kita lihat di majalah.
Foto-foto kedua cewek itu dilihat oleh teman-teman dekat, khususnya teman sekelas. Kemudian, karena foto-foto itu memang mengesankan, beritanya pun menyebar dari mulut ke mulut, sehingga banyak orang yang penasaran. Jadi, perlahan namun pasti, kawan di sekolah kami yang menyaksikan foto-foto itu pun semakin banyak—meski kedua cewek di atas tidak sembarangan memperlihatkan foto mereka.
Kemudian, dalam obrolan, mereka yang telah menyaksikan foto-foto itu pun saling melontarkan pendapatnya. Misalnya, “Eh, menurutmu, foto Liany dan Vina tuh cantik mana?” Lalu terjadi silang pendapat. Sebagian orang menganggap Vina lebih cantik. Sebagian lagi menyebut Liany yang lebih cantik.
Selentingan soal masing-masing pendapat itu kemudian sampai ke telinga Vina dan Liany—dan hal yang paling tidak masuk akal mulai terjadi.
Semenjak itu, Vina dan Liany seperti mulai saling berkompetisi untuk meyakinkan diri bahwa dialah yang lebih cantik. Dan di dalam kompetisi itu, keduanya mulai saling mendiamkan. Lalu Vina pindah tempat duduk, sehingga tak lagi berdampingan dengan Liany di satu meja. Setelah itu, kompetisi itu pun berubah menjadi semacam persaingan terang-terangan. Masing-masing cewek itu seperti berupaya sekeras yang mereka bisa untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih cantik dibanding saingannya.
Peristiwa itu terjadi ketika kami masih kelas satu. “Hebatnya”, persaingan itu tetap belum berhenti ketika kami telah sama-sama naik ke kelas tiga. Jadi, kedua cewek yang amat cantik itu saling mendiamkan selama tiga tahun, saling bersaing selama tiga tahun, dan “permusuhan” mereka tetap belum selesai hingga kami semua lulus dari SMA.
Menurut saya, ini benar-benar tidak masuk akal. Akar masalah mereka hanyalah soal pendapat orang yang didasarkan pada foto-foto mereka. Tetapi hanya karena masalah yang amat sangat super duper sepele itu, keduanya saling mendiamkan, bersaing dan bermusuhan, sampai tiga tahun, bahkan sampai mereka lulus dari SMA!
Lanjut ke sini.
Bertahun-tahun lalu, ketika masih SMA, saya berkawan dengan Liany dan Vina (semua nama samaran). Kami ada dalam satu kelas. Dua cewek itu—Liany dan Vina—adalah dua cewek yang paling menyedot perhatian semua bocah di SMA kami. Keduanya sangat cantik, dan—entah disengaja atau tidak—mereka duduk di satu meja. Karenanya, para guru lelaki biasanya akan sering memandang ke arah meja mereka sewaktu mengajar—mungkin sekadar mengagumi kecantikan mereka.
Nah, suatu hari terjadi insiden yang tak masuk akal.
Pada waktu itu internet belum ada, apalagi Friendster dan Facebook. Jadi, cewek-cewek yang narsis pada waktu itu menggunakan album foto sebagai sarana narsis mereka. Yang waktu itu menjadi tren adalah berfoto untuk koleksi satu album. Jadi, waktu itu, cewek-cewek yang tergolong narsis biasanya akan menghubungi studio foto atau fotografer profesional untuk membuat foto-foto bagus, kemudian memajang koleksi foto itu dalam sebuah album.
Nah, hal semacam itu pula yang dilakukan Liany dan Vina waktu itu. Seperti cewek-cewek lain, Liany dan Vina menghubungi seorang fotografer profesional, dan mereka membuat foto-foto outdoor yang hasilnya memang sangat mengagumkan. Kecantikan mereka seperti bertambah sepuluh kali lipat dalam foto-foto itu! Dan karena dibuat oleh fotografer profesional, kualitas fotonya pun bisa dibilang setara dengan foto-foto artis yang biasa kita lihat di majalah.
Foto-foto kedua cewek itu dilihat oleh teman-teman dekat, khususnya teman sekelas. Kemudian, karena foto-foto itu memang mengesankan, beritanya pun menyebar dari mulut ke mulut, sehingga banyak orang yang penasaran. Jadi, perlahan namun pasti, kawan di sekolah kami yang menyaksikan foto-foto itu pun semakin banyak—meski kedua cewek di atas tidak sembarangan memperlihatkan foto mereka.
Kemudian, dalam obrolan, mereka yang telah menyaksikan foto-foto itu pun saling melontarkan pendapatnya. Misalnya, “Eh, menurutmu, foto Liany dan Vina tuh cantik mana?” Lalu terjadi silang pendapat. Sebagian orang menganggap Vina lebih cantik. Sebagian lagi menyebut Liany yang lebih cantik.
Selentingan soal masing-masing pendapat itu kemudian sampai ke telinga Vina dan Liany—dan hal yang paling tidak masuk akal mulai terjadi.
Semenjak itu, Vina dan Liany seperti mulai saling berkompetisi untuk meyakinkan diri bahwa dialah yang lebih cantik. Dan di dalam kompetisi itu, keduanya mulai saling mendiamkan. Lalu Vina pindah tempat duduk, sehingga tak lagi berdampingan dengan Liany di satu meja. Setelah itu, kompetisi itu pun berubah menjadi semacam persaingan terang-terangan. Masing-masing cewek itu seperti berupaya sekeras yang mereka bisa untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih cantik dibanding saingannya.
Peristiwa itu terjadi ketika kami masih kelas satu. “Hebatnya”, persaingan itu tetap belum berhenti ketika kami telah sama-sama naik ke kelas tiga. Jadi, kedua cewek yang amat cantik itu saling mendiamkan selama tiga tahun, saling bersaing selama tiga tahun, dan “permusuhan” mereka tetap belum selesai hingga kami semua lulus dari SMA.
Menurut saya, ini benar-benar tidak masuk akal. Akar masalah mereka hanyalah soal pendapat orang yang didasarkan pada foto-foto mereka. Tetapi hanya karena masalah yang amat sangat super duper sepele itu, keduanya saling mendiamkan, bersaing dan bermusuhan, sampai tiga tahun, bahkan sampai mereka lulus dari SMA!
Lanjut ke sini.