Perhatikan arti di setiap kata, perhatikan makna di balik kalimatnya.
Di dunia ini, orang yang paling banyak disalahpahami orang lain mungkin Shakespeare. Pujangga Inggris legendaris ini menjadi legenda, bukan hanya karena kehebatan karya-karyanya, tetapi juga karena ada kalimat ciptaannya yang disalahpahami jutaan manusia.
“Apalah arti sebuah nama?”
Kalimat itu tertulis dalam teks drama yang disusun Shakespeare, ketika ia menciptakan kisah roman "Romeo & Juliet". Sebenarnya, dibandingkan kisah seutuhnya, kalimat itu tidak penting, bahkan masih banyak kalimat lain yang lebih bagus yang terdapat dalam teks drama tersebut. Karenanya, sungguh mengherankan ketika kalimat itulah yang kemudian justru paling terkenal di seluruh dunia. Lebih mengherankan lagi ketika ternyata orang-orang keliru memahaminya.
Setiap kali orang mengutip kalimat itu, hampir bisa dipastikan maksud dan tujuannya adalah untuk menyalahkan Shakespeare, seolah Shakespeare menyatakan bahwa nama tidak penting. Tetapi, apakah memang seperti itu tujuan Shakespeare ketika menulis kalimat itu di dalam kisah yang dibuatnya?
Di sinilah sering kali kelirunya kita dalam menghadapi suatu teks. Tentu saja Shakespeare sama sekali tidak bermaksud menyatakan bahwa nama tidak penting. Betapa pun juga, Shakespeare tetap menganggap nama (apalagi nama orang) sebagai sesuatu yang penting. Ketika ia menulis kalimat (teks) semacam itu, kita tidak bisa menghakimi Shakespeare hanya karena teks itu—tanpa melihat konteksnya terlebih dulu.
Sekarang kita lihat konteks di mana teks tersebut berada. Kalimat “Apalah arti sebuah nama?” terdapat dalam drama Romeo & Juliet, di Babak Kedua Bagian Dua. Agar konteks kalimatnya lebih mudah dipahami, berikut ini saya tuliskan seutuhnya teks dan kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia:
Juliet:
"Hanya namamu yang menjadi musuhku. Tetapi kau tetap dirimu
sendiri di mataku, bukan Montague. Apa itu “Montague”?
Ia bukan tangan, bukan kaki, bukan lengan, bukan wajah, atau
apa pun dari tubuh seseorang. Jadilah nama yang lain!
Apalah arti sebuah nama? Harum mawar tetaplah harum mawar,
kalau pun mawar berganti dengan nama lain. Ia tetap bernilai
sendiri, sempurna, dan harum tanpa harus bernama mawar.
Romeo, tanggalkanlah namamu. Untuk mengganti nama
yang bukan bagian dari dirimu itu, ambillah diriku seluruhnya."
"Hanya namamu yang menjadi musuhku. Tetapi kau tetap dirimu
sendiri di mataku, bukan Montague. Apa itu “Montague”?
Ia bukan tangan, bukan kaki, bukan lengan, bukan wajah, atau
apa pun dari tubuh seseorang. Jadilah nama yang lain!
Apalah arti sebuah nama? Harum mawar tetaplah harum mawar,
kalau pun mawar berganti dengan nama lain. Ia tetap bernilai
sendiri, sempurna, dan harum tanpa harus bernama mawar.
Romeo, tanggalkanlah namamu. Untuk mengganti nama
yang bukan bagian dari dirimu itu, ambillah diriku seluruhnya."
See…? Teks berada di dalam konteks. Untuk menilai secara adil sebuah teks, kita harus melihat konteksnya terlebih dulu secara jernih. Orang tidak bisa dihakimi hanya karena kata-katanya, tetapi juga harus dilihat kenapa dia menyatakan kata-kata itu.
Sekarang, kasusnya dengan Shakespeare, teks “Apalah arti sebuah nama?” terdapat dalam konteks tragedi cinta antara Romeo dan Juliet. Kedua anak manusia itu saling mencintai, tetapi cinta mereka tidak mungkin bersatu karena keduanya dipisahkan oleh dua suku mereka yang saling bermusuhan (suku Montague dan suku Capulet).
Romeo maupun Juliet menyadari bahwa sebesar apa pun cinta mereka, selamanya cinta itu tidak akan memperoleh restu, karena nama “Romeo” tidak bisa diterima dalam suku dan keluarga Juliet. Karenanya, di dalam rasa frustrasi dan keputusasaannya, Juliet pun kemudian membayangkan Romeo tidak bernama Romeo, dan ia menyenandungkan solilokui, “Apalah arti sebuah nama?”
Lihatlah konteksnya.
Yang menjadi inti dari kalimat Juliet bukanlah penting atau tidak pentingnya sebuah nama, tetapi soal penerimaan sebuah identitas. Nama “Romeo” membawa identitas suku Montague—suatu identitas yang tidak bisa diterima suku Juliet. Juliet tidak peduli Romeo berganti nama dengan apa pun, selama sukunya (Capulet) bisa menerimanya. Intinya di sini bukan soal nama, tetapi soal penerimaan identitas. Sekali lagi, lihatlah konteksnya.
Jadi, ketika menulis kalimat itu di dalam kisah drama yang dibuatnya, Shakespeare sama sekali tidak memaksudkan bahwa nama itu tidak penting. Tentu saja ia tetap menganggap nama sebagai sesuatu yang penting. Sungguh naif kalau kita membayangkan orang semacam Shakespeare menganggap nama tidak penting. Shakespeare pasti marah kalau judul “Romeo & Juliet” diganti menjadi “Rhoma & Betet”, misalnya. Jadi, sekali lagi, lihatlah konteks—sebelum menghakimi teks.
Mengapa soal teks dan konteks ini sepertinya menjadi penting? Karena kita sering menjadi naif ketika berhadapan dengan persoalan ini. Ketika ada suatu teks tertentu yang kita anggap tidak beres, kita langsung beramai-ramai mengadili dan menghakiminya, tanpa mau melihat dan mempelajari konteksnya terlebih dulu. Padahal, menghakimi teks tanpa melihat konteks tidak akan pernah menghasilkan keadilan. Itu sama saja memukuli orang yang kita sangka maling, padahal orang itu belum tentu memang maling.
Teks memang penting, tetapi konteks jauh lebih penting. Ketika teks tercipta, ia tercipta bukan tanpa sebab, tetapi karena dikondisikan oleh konteks. Ketika seseorang mengucapkan atau menyatakan sesuatu, jangan hanya menilai ucapan atau perkataannya semata-mata, tetapi juga lihat dan nilailah keadaan yang membuatnya menyatakan atau mengucapkan kata-kata itu.
Jika seseorang menyatakan, misalnya, “Aku akan membunuhmu, keparat!”—itu teks. Kita tidak bisa langsung menuduh orang itu sebagai psikopat atau pembunuh berdarah dingin hanya karena kata-kata itu, sebelum melihat konteksnya terlebih dulu.
Bisa jadi orang yang mengatakan kata-kata itu justru orang yang baik hati, seorang yang berjiwa luhur dan welas asih—hanya saja keadaan (konteks) yang ia hadapi benar-benar suatu kejahatan yang luar biasa, yang amat sangat menyakiti hati dan perasaannya, sehingga dia sampai mengucapkan kata-kata semacam itu.
Begitu pun, kalau pacarmu menyatakan, “Aku benci kamu, dodol!” Kata-kata itu tidak secara otomatis menunjukkan bahwa pacarmu tidak mencintaimu. Jika kata-kata itu diletakkan dalam konteks yang berbeda-beda, bisa jadi itu merupakan ungkapan sayangnya, atau kejengkelan karena terlalu mencintaimu. Dan, tentu saja, kau bukanlah si Dodol.
Jadi, marilah kita berhenti menghakimi Shakespeare, karena Shakespeare sama sekali tidak bermaksud menyatakan bahwa nama tidak penting. Lebih penting lagi, marilah kita berhenti menghakimi siapa pun, hanya karena teks. Semua teks selalu dilahirkan oleh konteks.
Jika kita menganggap teks itu penting, marilah kita menerima kenyataan bahwa konteks jauh lebih penting, karena dialah rahim semua kata-kata, semua ucapan—semua teks. Jika kita hanya meributkan teks tanpa mau melihat konteks, mungkin kita terlalu lama gaul dengan ayam yang suka berkoteks. :D