Senin, 01 Oktober 2018

Percakapan yang Menenangkan

Kadang-kadang aku rindu percakapan yang menenangkan.


Setiap kita biasanya memiliki teman dekat—orang yang sering bercakap-cakap panjang dengan kita, orang yang biasa kita kunjungi atau mengunjungi kita, orang yang kita percayai, yang kita datangi saat butuh bertukar pikir, dan semacamnya. Di antara banyak teman lain, biasanya teman-teman dekat semacam itu bahkan sudah semacam saudara bagi kita.

Setiap orang biasanya memiliki teman dekat. Bahkan saya, yang suka menyendiri, punya teman-teman seperti itu.

Saya beruntung memiliki cukup banyak teman—sebegitu banyak, hingga catatan ini bisa penuh nama-nama mereka, jika saya tuliskan semuanya. Karenanya, tanpa mengurangi rasa hormat pada mereka semua, saya hanya akan menyebut beberapa nama di sini.

Di antara banyak teman yang dekat dengan saya, dua di antaranya adalah Lukman dan Ishom. Mereka kawan sejak SMP. Pertemanan sejak SMP itu terus berlangsung sampai SMA. Meski kami sekolah di SMA berbeda, kami tetap berteman dan tetap saling mengunjungi. Kami bahkan terus berteman dekat sampai sama-sama lulus SMA, hingga akhirnya dewasa.

Kedekatan antara saya, Ishom, dan Lukman, bahkan sudah seperti saudara. Masing-masing keluarga dan orang tua kami saling mengenali kami sebagai teman anak mereka. Bukan hanya keluarga, bahkan tetangga-tetangga kami juga mengenali masing-masing kami sebagai “temannya si anu”—saking seringnya kami terlihat bersama.

Selama bertahun-tahun, tak terhitung banyaknya moment ketika saya mengunjungi Lukman, lalu mengobrol di rumahnya. Di lain waktu, Lukman tiba-tiba muncul di rumah saya, dan saya selalu senang melihatnya. Yang paling menyenangkan adalah ketika saya sedang ada di rumah Lukman—atau Lukman sedang di rumah saya—lalu Ishom tiba-tiba muncul, lalu kami mengobrol bersama.

Di masa itu belum ada ponsel—setidaknya, rata-rata orang Indonesia belum kenal ponsel. Jadi, saat kami ingin bertemu, tidak ada cara lain selain langsung pergi ke rumah teman yang ingin dikunjungi.

Ada ratusan atau bahkan ribuan malam, ketika saya datang ke rumah Ishom, lalu kami mengobrol sampai larut. Kadang-kadang, saat saya sampai di rumahnya, dia sedang keluar, dan saya menunggu sampai beberapa lama. Kemudian, saat akhirnya Ishom pulang, saya senang melihatnya, sementara dia tersenyum lebar saat melihat saya duduk di depan rumahnya.

Lalu kami bercakap sambil udud dan menyeruput teh. Hanya percakapan biasa, seperti layaknya percakapan antarteman, tapi kami senang menikmatinya.

Percakapan saya dengan Ishom, atau dengan Lukman, bagi saya adalah percakapan-percakapan yang menenangkan. Saat saya sedang galau, sedih, atau stres, saya mendatangi mereka, lalu bercakap-cakap, dan saya merasa tenang. Mereka tidak menasihati saya macam-macam, selain hanya mendengarkan yang saya katakan. Setelah itu, kami mengobrol seperti biasa, dan saya pulang dengan pikiran lebih tenang, dengan hati lebih nyaman.

Ketika SMA, Lukman dan Ishom maupun saya punya teman-teman dekat lain, karena kami memang sekolah di SMA yang berbeda. Meski begitu, hubungan kami tetap dekat seperti semula, dan tak ada yang berubah. Bahkan, kami saling mengenalkan teman-teman kami, hingga jaringan pertemanan kami semakin luas.

Seperti yang pernah diceritakan di sini, saya bersekolah di SMA yang menampung murid-murid dari berbagai etnis. Karenanya, waktu itu teman-teman saya pun multietnis. Di SMA, salah satu teman dekat saya adalah Abdullah. Dia orang Arab, tapi—menurut teman-teman saya—“mirip Londo”.

Ketika saya kenalkan dengan Ishom, dia bilang, “Temanmu itu (Abdullah) mirip anggota New Kids On The Block.” Abdullah tertawa ketika saya katakan itu kepadanya. (Buat generasi 2000-an yang tidak tahu apa itu New Kids On The Block, silakan googling).

Selain Abdullah, teman dekat lain di SMA adalah Rum. Dengan mereka, saya juga menjalin pertemanan seperti dengan Ishom atau Lukman. Kami saling mengunjungi, dan senang menikmati obrolan serta kebersamaan.

Lulus SMA, saya tidak langsung kuliah, karena tidak ada biaya. Sebagai gantinya, saya bekerja di beberapa tempat, salah satunya di PPNP (tempat pelelangan ikan), menjadi penjaga titipan sepeda motor (dulu pernah saya ceritakan di sini.)

Di tempat itu, saya kenal dan dekat dengan pekerja lain, bernama Miko. Kelak, pertemanan saya dengan Miko juga menjadi pertemanan yang terus berlangsung sampai kami tidak lagi bekerja di PPNP, sampai kami sama-sama kuliah, bahkan sampai kami dewasa. Selama bertahun-tahun, ada banyak waktu ketika Miko dolan ke rumah saya, lalu mengobrol sampai larut malam. Kadang dia sendirian, kadang pula bersama teman-temannya.

Ketika saya mulai kuliah, Miko juga kuliah, tapi beda kampus. Belakangan, teman-teman dekat saya yang lain juga sama-sama kuliah, di kampus berbeda-beda. Melalui jaringan pertemanan itu pula, saya mendapatkan banyak teman baru, hingga pertemanan saya di masa itu merentang dari semua kampus. Selama masa-masa itu, saya bisa masuk kampus mana pun dengan santai, seperti masuk ke kampus saya sendiri, karena selalu ada teman-teman yang saya kenal.

Di kampus sendiri, saya juga mendapat banyak teman, salah satu yang sangat dekat adalah Syarifudin—biasa dipanggil Syarif atau Udin. Seperti pertemanan dengan yang lain, saya sering mendatangi Udin ke rumahnya, atau dia ke rumah saya, lalu kami mengobrol sampai larut malam. Saking seringnya saya ke rumah Udin, sampai orang tua dan kakak-kakaknya mengenal saya.

Selain Udin, ada teman lain yang sama dekat dengan saya, bernama Masruri. Sebenarnya, dia senior saya di kampus. Karenanya, saat butuh teman mengobrol, saya sering datang menemui Udin, atau mendatangi Masruri.

Saat mengobrol dengan mereka, sebenarnya isi obrolan kami biasa-biasa saja—seperti umumnya obrolan antarteman. Dalam arti bukan obrolan ilmiah yang akademis atau enviromental dan moratorium—apa pun artinya.

Tetapi, yang jelas, mengobrol dengan teman dekat—setidaknya bagi saya—seperti terapi yang menenangkan. Kami saling percaya, dan kami saling mencurahkan isi pikiran dengan bebas. Tidak ada keinginan agar mereka mengikuti pikiran saya atau sebaliknya, karena memang begitulah obrolan antarteman. Hanya obrolan yang mengalir, sesekali diselingi canda dan tawa menyenangkan. Dari kedekatan itu pula, kami pun tahu watak masing-masing, dan kami saling berupaya memahami.

Kadang saya butuh saran, dan mereka memberi saran yang mereka tahu, dan saya merasa mendapat pencerahan. Di lain waktu, mereka meminta pertimbangan, dan saya memberi pertimbangan yang saya tahu.

Ada kisah khusus yang menarik soal ini. Masruri punya teman dekat bernama Basith—dia juga senior saya di kampus. Saya biasa memanggilnya Kang Basith, karena dia memang lebih tua dari saya, bahkan waktu itu sudah punya istri dan anak-anak. Kadang-kadang, Masruri mengunjungi Basith di rumahnya, dan mengajak saya. Kami pun lalu mengobrol di tempat Basith, kadang sampai larut malam.

Di mata saya, Kang Basith adalah sosok orang saleh, sebagaimana Masruri juga orang saleh. Dan menurut “perspektif tombo ati”, berkumpul dengan orang-orang saleh bisa menjadi pengobat keresahan hati. Karenanya, seperti nyanyian tombo ati, “Wong soleh kumpulono.”

Kenyataannya, saya senang tiap diajak Masruri ke rumah Kang Basith. Lalu kami mengobrol hal-hal biasa, tapi kemudian saya merasakan ketenangan saat pulang. Meski mereka senior-senior saya, tapi mereka tidak pernah menunjukkan sikap bahwa mereka lebih tua lalu seenaknya menasihati atau sok tua. Mereka memperlakukan saya sebagaimana memperlakukan teman, hingga saya pun nyaman bersama mereka.

Selain dengan para senior, saya juga menjalin pertemanan dengan banyak yunior saya di kampus. Salah satunya Wawan. Di kampus, dia beberapa tahun di bawah saya, tapi kami bisa berteman dengan nyaman. Dulu, dia sering dolan ke rumah, dan kami biasa mengobrol sambil udud.

Nama-nama teman yang saya sebut di sini—dari masa SMP sampai masa kuliah—adalah orang-orang biasa, sama seperti saya. Kami semua memiliki kelebihan, juga kekurangan. Yang jelas, kami kemudian saling cocok hingga nyaman bersama, dan menjadi teman, hingga menjalin kedekatan. Dan kedekatan bersama teman adalah saat-saat menyenangkan, sebagaimana percakapan dengan mereka bisa menjadi terapi yang menenangkan.

Sayang, tak ada yang abadi di dunia ini, begitu pula kedekatan yang pernah saya miliki bersama mereka. Pada akhirnya, tiba suatu masa ketika masing-masing dari kami memiliki kehidupan sendiri-sendiri, hingga akhirnya kedekatan mulai renggang, dan saya merasa kehilangan.

Ishom, teman dekat sejak SMP, kini telah berkeluarga, dan sudah sangat sibuk dengan keluarganya. Siang bekerja seharian, malam bersama istri dan anak-anaknya. Selain itu, jarak rumah kami juga semakin jauh. Sementara Lukman, yang juga teman dekat dari SMP, kini mengabdikan hidupnya di pesantren, dan sibuk dengan kehidupannya yang sekarang.

Abdullah dan Rum, teman masa SMA, kini telah memiliki kehidupan sendiri-sendiri yang jauh. Abdullah di luar negeri, sementara Rum di luar kota. Sementara Miko, karena pekerjaannya yang sekarang, sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan kami pun makin sulit bertemu. Begitu pula Wawan—dia kini bekerja di luar kota, hingga kami juga sangat jarang ketemu.

Kang Basith, orang saleh yang dulu menjadi teman saya semasa kuliah, sekarang bekerja di Kementerian Agama, dan tentu saja tinggal di Jakarta. Sementara Masruri kini sangat sibuk dengan bisnisnya, dan nyaris tak punya waktu senggang. Tempo hari, kami sempat bertemu, pas saya makan di tempat langganan. Kami pun sempat mengobrol, meski tak bisa lama-lama.

Terakhir, Syarifudin alias Syarif atau Udin, kini tinggal di tempat yang sangat jauh bersama keluarganya. Karenanya, pertemuan kami pun semakin renggang, tak bisa semudah dulu.

....
....

Kini, saat menulis catatan ini, saya seperti melihat waktu yang telah jauh berlalu. Bukan hanya dalam rentang hari atau minggu, tapi tahun demi tahun. Semuanya berubah, termasuk kehidupan kita semua.

Kini, saya pun sering merindukan saat-saat indah seperti dulu, ketika saya masih memiliki teman-teman dekat, ketika kami bisa bercakap-cakap sampai larut malam tanpa harus mengkhawatirkan apa pun, ketika kami bisa mengobrol dan tertawa lepas, ketika saat-saat bersama teman menjadi saat-saat yang menenangkan.

Saya merindukan mereka semua, seperti saya merindukan saat-saat bersama mereka. Saya rindu percakapan menenangkan, ketika dua orang bertemu karena saling percaya, ketika dua orang bercakap tanpa keinginan memaksakan pikiran satu sama lain, ketika dua orang bertemu untuk saling menenangkan, sehingga saat berpisah masing-masing merasakan ketenangan yang nyaman.

Saya merindukan mereka, serta saat-saat bersama mereka. Seperti saya merindukan ketenangan, seusai canda dan tawa yang lepas.

 
;