Ramai-ramai soal #sugardaddy di Twitter ini membuatku risih. Maksudku, kenapa hal-hal begituan harus diceritakan secara vulgar (dan terkesan penuh kebanggaan) di Twitter? Apa manfaatnya, bagi diri sendiri dan orang lain? Prestise? Oh, come on...
Sejujurnya, aku tidak peduli siapa ngewe dengan siapa. Itu urusanmu pribadi, dan ini negara demokrasi. Cuma, yang membuatku risih, kenapa hal-hal begituan justru (seolah) menjadi kebanggaan semacam prestasi atau pencapaian?
Selama berhari-hari, aku sudah berusaha memikirkan, apa kira-kira pelajaran yang bisa diambil dari ramai-ramai #sugardaddy di Twitter. Tapi sejujurnya aku tidak bisa menemukan pelajaran apa pun, karena itu memang tidak dimaksudkan sebagai pembelajaran, tapi sebagai kebanggaan.
Topik #sugardaddy tidak bisa dibiarkan sebagai narasi tunggal. Harus ada yang memberi perbandingan, agar orang-orang (yang mungkin kurang dewasa) bisa sedikit paham untuk tidak meniru mentah-mentah, apalagi mengimpikan. Karena itu bukan pencapaian yang layak dibanggakan.
Sekali lagi, aku tidak peduli siapa ngewe dengan siapa, karena itu urusanmu pribadi. Aku bukan tipe keparat sok suci yang mudah menghakimi. Tetapi, kalau ngewe (dengan siapa pun, dan dengan motivasi motivasi apa pun), mestinya cukup menjadi urusan pribadi.
Yang paling konyol dan paling tolol terkait #sugardaddy di Twitter mungkin soal t-shirt "yang ada tulisan Original-nya". Tapi semua cerita tentang sugar-fucking-daddy di Twitter memang tolol dan konyol. Tolol karena diceritakan, konyol karena dibanggakan.
Kalau-kalau ada yang tanya, apakah aku berminat menjadi #sugardaddy? Persetan, tidak! Aku seorang bocah, bukan fucking daddy! Aku tidak minat pada cewek yang terlalu banyak tingkah, juga tidak punya waktu untuk mengurusi drama tolol campur konyol. Paling ngewe saja kok ribut.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Juni 2018.