Selasa, 25 September 2018

Orang Gila di Zaman Edan

Saiki jamane jaman edan
yen ora edan ora keduman
sak bejo-bejone wong kang edan
isih bejo wong kang eling lan waspada

Sekarang adalah zaman kegilaan
kalau tidak gila tidak mendapat bagian
(tetapi) seberuntung apa pun mereka yang gila
masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada

—Ronggowarsito 


Dari dulu saya kagum pada orang gila, sebentuk kekaguman yang lahir dari semacam perasaan, “Aku ingin seperti mereka, tapi tidak bisa.”

Ya, dari dulu saya ingin seperti orang gila, menjalani kehidupan seperti mereka, tapi terbentur kenyataan mengerikan, yaitu saya waras. Atau, setidaknya, orang-orang menganggap saya waras. Akibatnya, saya malu—dan tidak enak pada lingkungan—jika menjalani kehidupan seperti orang gila. Dalam hal ini, saya kalah dengan orang gila, karena mereka tidak terbebani perasaan apa pun dalam menjalani kehidupan.

Kelebihan yang dimiliki orang-orang gila, yang tidak dimiliki orang-orang waras adalah... kebebasan.

Kebebasan adalah privilese yang hanya dimiliki segelintir orang di tengah masyarakat, dan hanya orang-orang gila yang memiliki. Kalau kau tidak gila, jangan mimpi punya kebebasan. Karena masyarakat di sekelilingmu telah menyiapkan belenggu untuk mengerangkeng kewarasanmu.

Kehidupan orang-orang waras—setidaknya dalam pandangan saya—adalah kehidupan menyedihkan, karena penuh tekanan. Bahkan sejak lahir pun, orang-orang waras telah ditekan oleh sistem masyarakat. Setiap kali bayi lahir, masyarakat akan memastikan bayi itu waras seperti mereka, dalam arti tumbuh besar dan dewasa seperti mereka, menjalani kehidupan seperti mereka, pendeknya harus memiliki pilihan hidup yang seragam dengan mereka.

Masyarakat adalah tirani. Dan kita semua—orang-orang waras—menjadi korban serta budaknya.

Ketika seorang bayi telah tumbuh dan memasuki usia 3 atau 4 tahun, masyarakat mulai menggunakan kekuasaan tirani mereka untuk membelenggu. Belenggu itu bisa dalam bentuk pertanyaan kepada orang tua si bayi, “Anakmu sudah 4 tahun, kok belum masuk playgroup?”

Anak berusia 4 tahun belum bisa menentukan pilihan sendiri—mau masuk playgroup atau tidak. Karenanya, nasib si anak akan ditentukan orang tuanya. Karena orang tuanya waras, maka si orang tua pun memasukkannya ke playgroup atau PAUD, atau apa pun sebutannya. Yang penting masyarakat tidak bertanya-tanya lagi. Terlepas apakah si anak menikmati suasana di sana atau tidak, persetan. Yang penting orang tua tidak tertekan karena ditanya-tanya masyarakat.

Setelah “lulus” dari playgroup atau PAUD, nasib si anak sudah bisa diramalkan. Ia akan dimasukkan ke TK. Jika tidak, masyarakat akan ribut, “Anakmu kok belum masuk TK?”

Maka si anak pun kemudian masuk TK. Terlepas dia senang atau tidak menjalaninya, persetan. Yang penting orang tuanya tenteram, karena tidak lagi ditekan dan ditanya-tanya masyarakat.

Lalu apa yang terjadi ketika si anak lulus TK? Kita semua tahu jawabannya. Dia akan masuk SD, SMP, SMA, atau apa pun sebutannya. Selama menjalani jenjang demi jenjang pendidikan itu, setiap anak akan menghadapi tekanan demi tekanan—dari teman sebaya, dari guru-guru di sekolah, dari pergaulan, dari lingkungan, dari masyarakat, hingga tekanan dari orang tua sendiri.

Tapi nasib buruk mereka masih panjang.

Setelah lulus SMA, ada yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, ada pula yang tidak. Tetapi, terlepas apakah seseorang melanjutkan ke Perguruan Tinggi atau tidak, yang jelas mereka akan terus menghadapi tekanan masyarakat. Jika mereka tampak menganggur, masyarakat akan nyinyir, dan bertanya-tanya, “Sudah lulus kok menganggur?” 

Maka mereka pun membabi-buta mencari kerja. Setelah bertahun-tahun ditekan oleh sesuatu yang disebut “sekolah”, mereka kini harus menghadapi tekanan baru—persaingan mencari kerja. Makin hari, kita tahu, mencari dan menemukan pekerjaan kian sulit. Tapi masyarakat tidak peduli. Bagi mereka, yang penting kau kerja, sialan! Biar tampak seperti orang waras!

Mencari kerja adalah satu hal, dan menemukan pekerjaan adalah hal lain. Bisa jadi, setelah menemukan pekerjaan, mereka tidak langsung cocok. Entah dengan pekerjaan yang dihadapi, atau dengan lingkungan kerja dan suasana yang dialami. Tetapi, daripada harus menghadapi tekanan masyarakat, banyak dari mereka yang terpaksa menelan kepahitan di tempat kerja, demi bisa “dianggap waras”.

Dan “pekerjaan waras” versi masyarakat adalah... kau harus tampak berangkat kerja pagi hari, lalu pulang sore hari. Kalau bisa, berseragam dan bersepatu. Kalau tidak begitu, kadar kewarasanmu kurang optimal. Terlepas berapa pun gaji atau penghasilanmu, persetan. Yang penting kau berangkat pagi dan pulang sore, dan memakai sepatu!

Setelah tampak waras karena memiliki pekerjaan—apalagi juga bersepatu—apakah tekanan yang dihadapi orang-orang sudah berhenti? Oh, belum! Masyarakat sangat tahu bagaimana menyiksamu habis-habisan, dan kali ini mereka akan nyinyir, “Sudah kerja, kapan kawin?”

Mula-mula, mungkin, orang cuma tersenyum menghadapi tekanan berupa pertanyaan bangsat itu. Tetapi, kita tahu, batas pertahanan setiap orang tidak sekuat Tembok Cina. Ada banyak dari kita yang termakan hasutan dan tekanan pertanyaan “kapan kawin?”, lalu buru-buru mencari pasangan.

Mereka yang buru-buru mencari pasangan bisa karena memang sudah ngebet kawin, bisa karena termakan rayuan dan hasutan masyarakat yang mengatakan “menikah akan bahagia dan segala macam”, atau bisa pula karena tidak tahan menghadapi tekanan berupa pertanyaan “kapan kawin?” terus menerus. Jadi, mereka pun berusaha mencari dan menemukan pasangan secepatnya, agar masyarakat berhenti nyinyir.

Dan setelah mereka menikah, apakah masyarakat lalu diam? Oh, hell, tentu saja tidak! Masyarakat adalah tirani yang kejam, dan keparat-keparat itu sangat tahu bagaimana melakukan penyiksaan yang sangat mengerikan—untuk pikiranmu, untuk jiwamu, untuk hidupmu. Sebelum kau berdarah-darah dalam luka, sebelum kau sekarat dalam derita, masyarakat akan terus bersuara.

Setelah orang menikah, masyarakat akan kembali bertanya, “Kapan punya anak?” Kalau kau telah menikah hingga dua tahun, dan kau beserta pasanganmu belum punya anak, setumpuk tuduhan akan dilemparkan kepadamu. Dari tuduhan mandul, impoten, frigid, terkutuk, sampai tuduhan-tuduhan biadab lain yang tak pernah kaubayangkan. Maka, tidak ada jalan lain, kau harus punya anak, secepatnya!

Lalu anak-anak tak berdosa dilahirkan, demi tuntutan masyarakat, demi membungkam kebejatan cocot mereka. Sebagian anak yang dilahirkan itu beruntung, karena memiliki orang tua pengasih, dan bisa memberi kehidupan yang layak. Tapi sebagian lain harus menerima takdir mengerikan karena orang tuanya begitu kejam, dan tak mampu memberi penghidupan yang layak.

Setelah orang punya satu anak, masyarakat akan kembali berbisa. Kali ini, bisa racun yang mereka semburkan adalah, “Kapan nambah anak?”

Kalau kau sudah menikah, dan punya satu anak, masyarakat belum rela. Kau harus punya banyak anak, atau setidaknya lebih dari satu, agar mereka menganggapmu waras. Dan keparat-keparat yang disebut masyarakat itu sangat tahu cara menipumu. Mereka bisa mengatakan, “banyak anak banyak rezeki,” atau “setiap anak memiliki rezeki sendiri,”, sampai desisan klise berbunyi, “tak perlu khawatir.”

Mungkin mereka memang buta. Meski di mana-mana ada jutaan anak telantar, mereka tidak malu mengatakan, “Banyak anak banyak rezeki”. Meski di sekeliling ada banyak anak kelaparan dan penuh derita, mereka tidak risih mengatakan, “Setiap anak memiliki rezeki sendiri”. Dan meski di banyak tempat ada anak-anak teraniaya akibat tekanan stres yang dihadapi orang tuanya, masyarakat tidak malu mengatakan, “Tak perlu khawatir.”

Seperti menghadapi tekanan pertanyaan “kapan kawin?”, ada banyak orang yang tak mampu menghadapi tekanan pertanyaan “kapan punya anak?” dan “kapan nambah anak?” Maka anak-anak tak berdosa dilahirkan dan terus dilahirkan. Mereka dilahirkan bukan dengan tujuan apa pun, melainkan demi membungkam cocot orang-orang, demi dianggap sama oleh masyarakat.

Dan, untuk itu, ada jutaan pasangan yang harus montang-manting menghadapi kehidupan berat, ada banyak lelaki yang harus menghadapi kenyataan hidup yang kejam, ada banyak wanita yang menangis diam-diam menghadapi beratnya hidup, dan ada banyak anak tak berdosa yang telantar, kelaparan, terluka, terluka, terluka....

Lalu anak-anak yang dilahirkan itu tumbuh seperti orang tua mereka. Saat baru saja bisa bernapas tenang, mereka sudah harus masuk playgroup. Lalu TK, lalu SD, lalu SMP, lalu SMA, dan seterusnya. Setelah itu, tekanan demi tekanan akan terus menimpa mereka, persis seperti yang dihadapi orang tua mereka dulu. Dan mereka akan kembali melahirkan anak-anak malang, persis seperti saat mereka dilahirkan.

Sampai di sini, sudahkah kita melihat sesuatu yang mengerikan?

Orang-orang menjalani kehidupan tidak dengan kesadaran, melainkan dengan tekanan demi tekanan. Mereka bersekolah bukan karena kesadaran, tetapi demi dianggap sama seperti orang lain. Mereka bekerja bukan dengan kesadaran, melainkan karena menghadapi tekanan lingkungan.

Mereka menikah bukan dengan kesadaran, tapi demi membungkam orang-orang di sekitar, atau karena tertipu oleh bualan masyarakat. Mereka pun punya anak bukan karena kesadaran, melainkan karena tekanan masyarakatnya. Dan kehidupan menyedihkan semacam itu—hidup tanpa kesadaran—diwariskan turun temurun, dari orang tua kepada anaknya, dan terus berlanjut, dari generasi ke generasi.

Demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci, kehidupan macam apa sebenarnya yang kita jalani?

Karena itulah, saya iri campur kagum pada orang-orang gila. Mereka bisa menjalani kehidupan dengan tenang, tenteram, tanpa khawatir dianggap berbeda dengan masyarakatnya. Hanya orang gila yang memiliki kebebasan, dalam hal ini kebebasan untuk menjalani hidup. Tanpa tekanan, tanpa pertanyaan, tanpa nyinyiran. Bahkan kalau pun orang-orang gila dinyinyiri, mereka hanya tertawa.

Saya ingin menjadi orang gila, karena tampaknya menjadi gila adalah satu-satunya jalan melepaskan diri dari tekanan masyarakat. Sistem nilai seperti apa pun tak berlaku bagi orang gila, dan mereka benar-benar bebas, merdeka. Orang-orang gila menjalani kehidupan sesuai pilihan sendiri, tanpa tekanan dan belenggu tirani.

Hanya orang gila yang bisa ngoceh panjang lebar tanpa khawatir dianggap gila. Hanya orang gila yang bisa menjalani kehidupan sesuai pilihan tanpa khawatir menjadi bahan gunjingan. Hanya orang gila yang bisa berpenampilan seperti apa pun tanpa khawatir dianggap ketinggalan zaman. Hanya orang gila yang bisa tenang dan damai dalam kehidupan, tanpa harus menghadapi pertanyaan terkutuk berbunyi “kapan?”

Alangkah indah menjalani kehidupan orang gila, dan alangkah susah menjalani kehidupan orang waras. Orang gila punya hak untuk hidup bebas dan merdeka, orang-orang waras tidak punya. Orang gila menjalani kehidupan dengan berdiri di atas kaki sendiri, orang-orang waras menjalani kehidupan dengan belenggu dan rantai tirani.

Dan... memikirkan semua itu, saya bertanya-tanya, siapakah sebenarnya yang waras, dan siapakah sebenarnya yang gila?

 
;