Sabtu, 19 Maret 2016

Perkawinan dan Akal Sehat

Pacaran mungkin tidak bermanfaat. Tapi kawin buru-buru
tanpa pertimbangan matang juga tidak menjamin bebas mudarat.
@noffret


Selama bertahun-tahun, saya telah membaca ratusan buku yang membahas perkawinan, dari yang tipis sampai yang sangat tebal, yang ditulis orang Indonesia, orang Arab, sampai orang Amerika. Sebegitu banyak buku tentang perkawinan yang telah saya khatamkan, hingga rasanya saya bisa menyampaikan khutbah nikah sefasih petugas KUA.

Yang aneh, dari banyak buku tentang perkawinan yang telah saya baca, nyaris tidak ada yang menjelaskan perkawinan secara jujur dan apa adanya. Semuanya diselimuti angin surga. Maksud saya, buku-buku perkawinan itu hanya menjelaskan hal-hal positif tentang perkawinan, tentang enak dan nikmatnya punya pasangan, tapi tidak menjelaskan bahwa perkawinan juga mengandung konsekuensi dan tanggung jawab, yang kadang tidak enak dan tidak nikmat.

Jadi, setelah mengkhatamkan ratusan buku tentang perkawinan, dan mendapati isinya gitu-gitu doang, saya pun merasa konyol. Lagi-lagi kayak gitu, lagi-lagi kayak gitu. Apa iya, perkawinan hanya melulu begitu?

Nah, tempo hari, saya mendapati sebuah thread di Kaskus, yang saya anggap telah merangkum ajaran-ajaran yang biasa ada di buku-buku tentang perkawinan. Thread di Kaskus itu berjudul 15 ilustrasi ini akan mengajarkanmu apa enaknya menikah, lengkap dengan gambar-gambar menawan. Di bawah ini saya tulis 15 hal yang merupakan “enaknya menikah” sesuai thread tersebut. Jika kalian ingin melihat thread aslinya di Kaskus, silakan lihat di sini.

So, inilah 15 ilustrasi yang akan membuat siapa pun ingin cepat kawin:
  1. Mendukung satu sama lain melewati masa-masa sulit
  2. Mendengarkan musik bersama
  3. Memasak bersama
  4. Traveling bersama
  5. Berjalan bersama, baik di tengah hujan atau terik matahari
  6. Menikmati waktu santai bersama
  7. Saling menyambut jika salah satunya pulang kerja
  8. Membaca bersama sebelum tidur
  9. Tidur sambil berpelukan
  10. Menikmati sarapan bersama
  11. Makan cemilan bersama di tengah malam
  12. Kencan
  13. Menikmati waktu-waktu sunyi
  14. Meluangkan waktu bersama buah hati
  15. Tua bersama

Indah, eh? Oh, well, sangat indah. Dan itulah yang saya sebut “angin surga”. Ilustrasi-ilustrasi semacam itu pulalah yang biasa kita dapati di mana-mana. Di buku maupun di artikel, perkawinan selalu terkait—atau dikaitkan—dengan hal-hal indah, sambil sengaja menyembunyikan hal-hal lain yang mungkin tidak indah.

Bahwa perkawinan memiliki hal-hal indah dan menyenangkan, of course! Saya setuju, dan siapa pun tentu setuju. Bahwa perkawinan memungkinkan kita bisa selalu bersama pasangan, saling mendukung, saling menyayang, saling ndusel dan ndusel dan ndusel dan ndusel... ya! Tetapi, demi Tuhan, perkawinan tidak sebatas dan sedangkal itu!

Perkawinan juga menuntut konsekuensi dan tanggung jawab. Konsekuensi yang ringan, misalnya, waktu pribadi jadi berkurang. Karena sudah punya pasangan, kita akan hidup terus bersama pasangan, dari sejak membuka mata saat bangun tidur, sampai akan menutup mata lagi ketika tidur. Bahkan dalam tidur pun kita tetap bersama pasangan. Sekilas, itu memang indah. Dalam realitas... belum tentu!

Rasa bosan, misalnya, adalah “penyakit” khas banyak pasangan suami istri, khususnya yang telah berumah tangga cukup lama. Itu konsekuensi manusiawi, dalam arti bisa dibilang wajar. Tetapi, apakah buku-buku perkawinan menjelaskan itu secara jelas dan jujur, agar orang-orang yang masih lajang bisa menyadari? Saya tidak pernah mendapati penjelasan itu di buku mana pun.

Selain bosan, perasaan terkekang juga kerap menghinggapi pasangan suami istri. Saat masih lajang, saya maupun teman-teman lelaki bisa asyik nyangkruk semalaman tanpa masalah. Tapi ketika telah punya istri, tentunya istri saya atau istri teman-teman saya akan ribut. Apalagi jika istri kami kebetulan memang suka ribut. Sudah biasa saya mendapati teman yang telah menikah berkata, “Sori, aku harus pulang sekarang. Istriku pasti sudah menunggu di rumah.”

Ucapan semacam itu mungkin bisa membuat yang lajang merasa iri, karena yang masih lajang tidak punya istri yang menunggu di rumah. Tetapi, saat teman kami mengucapkan kata-kata itu—bahwa dia harus pulang karena istrinya menunggu di rumah—dia tidak tampak senang. Sebaliknya, dia merasa tertekan akibat kebebasannya kini terkekang.

Itu contoh konsekuensi ringan dalam hidup berumah tangga, dari soal bosan sampai terkekang. Di luar itu, masih banyak konsekuensi lain, yang bahkan lebih berat. Seperti upaya mencari nafkah, misalnya. Ketika sendirian, kita mungkin bisa bekerja seadanya, yang penting bisa menyambung hidup, toh nyatanya kita hidup sendirian dan tidak/belum punya tanggungan.

Tetapi, ketika menikah, apalagi telah punya anak, beban kita akan bertumpuk-tumpuk. Urusan mencari nafkah tidak bisa seenak atau sebebas sebelumnya, karena kini mau tidak mau harus menafkahi istri dan memberi makan keluarga. Belum lagi jika ada yang sakit, lalu kebutuhan hari demi hari terus meningkat, sementara inflasi semakin tinggi, dan anak mulai butuh sekolah, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain. Penghasilan kadang tidak bertambah, tapi kebutuhan hidup terus bertambah, dan makin bertambah.

Berkaitan dengan hal tersebut, seseorang yang punya banyak follower di Twitter tempo hari menulis tweet, berbunyi, “Ngumpulin modal dulu, baru nikah” Situ pikir mau beli franchise, pake modal segala? Hehe, #NikahSana

Terus terang saya miris mendapati tweet itu. Jika tweet tersebut dimaksudkan sebagai nasihat, kok dangkal amat?

Oh, well, bukan hanya dangkal, tapi juga menyalahi akal sehat. Terlepas dia pakai “hehe” atau tidak pakai “hehe”, tweet itu berpotensi menyesatkan orang-orang yang dangkal pikir dan ngebet kawin. Lebih dari itu, jika ada orang-orang yang kemudian kawin dengan modal nekat—sebagaimana yang diisyaratkan tweet tersebut—lalu perkawinannya hancur dan berantakan, apakah si penulis tweet mau bertanggung jawab?

Jangankan menikah atau mencari pasangan, bahkan mencari kerja pun kita butuh modal. Untuk mencari dan mendapatkan kerja, kita butuh modal pendidikan, pengalaman, dan lain-lain. Padahal, urusan kerja adalah urusan ringan. Maksud saya, jika sewaktu-waktu kita bosan dengan kantor atau tempat kerja, kita bisa pindah ke tempat lain. Itu urusan kerja, apalagi urusan perkawinan yang tentunya lebih kompleks dibanding sekadar urusan kerja?

Tentu saja menikah butuh modal! Memang, konon KUA sekarang tidak memungut biaya perkawinan, jika sepasang mempelai menikah di kantor KUA. Tetapi, apakah perkawinan cuma sebatas di KUA? Yang wajar sajalah!

....
....

Well, saya menulis catatan ini tidak dengan maksud agar kalian tidak menikah. Saya menulis catatan ini untuk mengimbangi banyaknya angin surga yang terus dan terus dan terus dan terus diembuskan orang-orang di mana pun. Entah kenapa, orang-orang itu tampaknya sangat bersemangat dalam upaya menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat kawin, seolah urusan hidup setiap manusia cuma sebatas kawin.

Seperti buku-buku perkawinan yang saya baca. Atau artikel-artikel tentang perkawinan yang isinya angin surga. Atau tweet-tweet nasihat agar cepat kawin tapi dangkal pikir. Perkawinan, tampaknya, telah didistorsi sedemikian rupa, sehingga teori-teori mengenai perkawinan jauh berbeda dengan realitas.

Dalam realitas, saya menyaksikan orang-orang yang diam-diam menyesali perkawinannya. Dalam realitas, saya mengenal orang-orang yang tertekan dalam kehidupan rumah tangganya, tapi terus bertahan demi menjaga nama baik keluarga dan terhindar dari perceraian. Dalam realitas, saya menyaksikan orang-orang yang semula hebat di saat lajang, berubah menjadi orang-orang menyedihkan setelah menikah. Itu realitas-realitas yang—anehnya—nyaris tak pernah dibahas dalam teori mana pun tentang perkawinan.

Dalam perkawinan, cinta adalah hal penting. Tetapi, yang tak kalah penting, gunakan pula akal sehat. Menikahlah jika telah siap, lahir dan batin, dengan penilaian objektif pada diri sendiri. Kesiapan masing-masing orang tentu relatif, karenanya masing-masing orang hanya bisa menilai diri sendiri. Karenanya pula, setelah kau menikah, tutuplah mulutmu, dan tidak usah menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat kawin. Karena belum tentu yang telah tampak siap memang benar-benar telah siap.

Jika saya ditanya kenapa belum menikah, jawaban saya sederhana, “Karena saya belum siap.”

Jawaban itu tidak dimaksudkan untuk merendah, melainkan bentuk kejujuran pada diri sendiri yang dilandasi akal sehat. Daripada buru-buru menikah tapi saya hanya akan menelantarkan pasangan, saya lebih memilih untuk menahan diri. Saya belum bisa memberikan waktu, hati, pikiran, dan hidup saya untuk orang lain, termasuk untuk seorang istri. Wong ngurus hidup sendiri saja belum benar, apalagi ngurus hidup anak orang?

Karenanya, kalau kau telah siap menikah—dan kau meyakini kesiapan itu secara objektif berdasarkan akal sehat—menikahlah. Itu pilihan yang baik. Setelah itu, jagalah mulut, ucapan, dan perbuatanmu, sebagaimana kau menjaga kehormatanmu. Tidak usah mengompori atau memprovokasi orang-orang lain agar cepat menikah sepertimu, karena belum tentu orang lain sesiap dirimu. Lebih dari itu, orang lain mau menikah atau tidak, sama sekali bukan urusanmu.

 
;