Selamat hari mbakyu.
—@noffret
—@noffret
Banyak wanita, setidaknya yang saya kenal, ingin cepat-cepat menikah dan punya suami. Saat saya tanya apa motivasi atau alasan mereka, rata-rata mereka menjawab, “Biar nggak pusing mikir hidup, nggak perlu repot cari kerja. Kalau udah nikah, kan, udah ada yang menafkahi.”
Jawaban itu mungkin terdengar jujur, atau bahkan vulgar. Mereka pun menjawab sepolos itu karena kami memang akrab, jadi mereka tidak sok jaim. Karenanya pula, saya percaya jawaban mereka. Jadi, bagi sebagian wanita—setidaknya yang saya kenal—menikah adalah upaya untuk “nggak pusing mikir hidup”.
Sementara itu, di luar sana, ada banyak wanita yang tidak saya kenal, yang juga tampaknya ingin cepat-cepat punya suami. Usia mereka kadang masih belia, tapi sudah ngebet ingin menikah. Saya menanyakan fenomena itu pada wanita-wanita yang saya kenal, kenapa para wanita di luar sana juga ingin cepat punya suami. Wanita-wanita yang saya kenal menjawab, bahwa motivasi para wanita di luar sana juga tidak jauh beda dengan motivasi mereka, biar “nggak pusing mikir hidup”.
Saya tidak tahu apakah jawaban itu benar atau tidak. Karena saya bukan wanita, dan saya juga belum terpikir untuk cepat-cepat menikah. Tetapi, jawaban itu memunculkan berbagai pertanyaan lain di benak saya.
Wanita-wanita modern, katanya, menginginkan kesetaraan gender. Berbeda dengan wanita tradisional (yang tidak/belum modern), wanita zaman sekarang konon ingin bisa seaktif pria. Mereka ingin mendapat pendidikan setinggi kaum pria, bisa bekerja atau berkarir di luar rumah, bahkan berharap dapat menempati posisi atau jabatan yang sebelumnya hanya dipegang pria. Tetapi, di antara gegap gempita teriakan dan tuntutan kesetaraan gender itu, rupanya masih ada wanita-wanita yang ingin jadi “wanita tradisional”, yang tinggal adem ayem di rumah dan mendapat nafkah yang cukup dari suami.
Manakah yang lebih baik? Sepertinya bukan tugas kita untuk menentukan mana yang lebih baik, karena itu bagian dari pilihan hidup masing-masing orang. Sebagian wanita, mungkin, memilih aktif di luar rumah, menjadi wanita karir, menghimpun prestasi, dan lain-lain. Sementara sebagian wanita lain memilih menjadi ibu rumah tangga yang mengurus rumah dan keluarga.
Menyangkut hal ini, saya pernah membayangkan diri menempati posisi wanita. Saya membuat dua pilihan berikut:
Pilihan pertama, menjadi wanita karir. Sebagai wanita, saya sering membayangkan alangkah nikmat jika bisa memiliki karir sendiri, memiliki penghasilan sendiri, dan tidak sepenuhnya tergantung pada suami atau orang lain. Jadi, sebagai wanita, saya melamar kerja ke sana kemari, lalu mendapat pekerjaan dengan gaji 5 juta per bulan (umpamakan saja begitu).
Sebagai wanita, saya bangga karena bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri, sehingga tidak menggantungkan hidup pada siapa pun. Saya bisa membayar kost tiap bulan dengan lancar, memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menikmati gaya hidup yang baik. Sebagai wanita pula, saya membutuhkan pasangan, dan menikah. Ketika telah menemukan pasangan yang cocok, saya pun menikah dengannya, dan hidup di rumah bersamanya.
Sebagai istri, saya mendapat uang belanja dari suami sebesar 5 juta per bulan (sekali lagi, umpamakan saja begitu). Karena saya wanita karir yang telah menikah, saya pun punya dua pekerjaan—di kantor dan di rumah. Setelah seharian bekerja di kantor, saya juga harus mengurus rumah. Kehidupan saya relatif tidak berkekurangan, tapi saya lelah luar biasa. Belum lagi jika kelak punya anak-anak....
Sekarang, pilihan kedua, menjadi ibu rumah tangga. Saya—sebagai wanita—memilih untuk aktif di rumah. Jadi, ketika remaja dan tumbuh dewasa, saya tidak mengimpikan karir macam-macam. Yang saya impikan hanyalah memiliki suami yang baik, rajin bekerja, dan bertanggung jawab. Syukur-syukur juga kaya. Saya selalu membayangkan bahwa menjadi ibu rumah tangga—mengurus rumah, suami, dan anak-anak—adalah tugas mulia yang hanya diberikan untuk wanita.
Jadi, ketika saya menemukan pasangan yang baik, dan merasa cocok, saya pun menikah dengannya. Saya tidak berharap macam-macam, selain hanya ingin menjalani rumah tangga yang tenang, nyaman, dan tenteram. Pria yang menjadi suami saya bukan hanya baik, tapi juga rajin bekerja. Setiap bulan, saya mendapat uang belanja 10 juta, dan saya bisa membelanjakannya dengan baik, sehingga selalu ada sisa untuk ditabung.
Sebagai istri, sebagai ibu rumah tangga, saya sangat bahagia. Setiap pagi, saya melepas suami berangkat kerja, lalu menyibukkan diri di rumah—memasak, bersih-bersih, dan lain-lain. Tidak terlalu lelah, dan semua tugas itu bisa saya lakukan dengan mudah. Sisa waktu yang saya miliki—sambil menunggu suami pulang kerja—bisa saya gunakan untuk menonton televisi, tidur siang, atau mempercantik diri di salon. Kami sudah tak sabar menantikan kehadiran anak-anak....
Dari dua pilihan di atas, manakah yang saya pilih? Ketika saya menempatkan diri pada posisi wanita, saya memilih pilihan kedua. Kenapa? Jawabannya sederhana—karena pilihan kedua lebih mudah dan lebih menyenangkan!
Pada pilihan pertama, menjadi wanita karir, saya—sebagai wanita—harus montang-manting bekerja di kantor dan di rumah. Tentu saja saya bangga menjadi wanita karir. Tapi lelahnya luar biasa!
Sementara pilihan kedua, menjadi ibu rumah tangga, saya menikmati kehidupan yang enak. Tanpa harus kerja keras di kantor, tanpa harus ribet meniti karir, hanya diam di rumah. Tidak melelahkan, dan setiap bulan saya mendapat uang belanja 10 juta—jumlah sama seperti yang diperoleh wanita karir dalam bayangan saya!
Ketika saya menyodorkan dua pilihan di atas pada teman-teman wanita saya, mereka juga sama memilih pilihan kedua. Terus terang saya heran. Heran, karena saya pikir emansipasi lebih penting daripada sekadar gaji. Heran, karena kesetaraan gender saya pikir lebih mulia daripada sekadar kenyamanan. Jadi, ketika mereka memilih pilihan kedua, saya bertanya-tanya; apa sebenarnya yang mereka (wanita) inginkan?
Apa yang sebenarnya diinginkan wanita? Emansipasi, ataukah gaji yang besar? Kesetaraan gender, ataukah kehidupan nyaman tak berkekurangan? Lebih jauh lagi, menjadi wanita karir berprestasi yang dikagumi dunia, ataukah menjadi ibu rumah tangga yang dicintai suami dan anak-anaknya? Apa yang diinginkan wanita?
Ketika mendapati teman-teman wanita semuanya memilih pilihan kedua dari dua pilihan di atas, saya benar-benar penasaran. Saya berpikir, jangan-jangan yang diinginkan wanita sebenarnya tidak serumit dan sesulit seperti yang diteriakkan orang-orang di luar sana, berkaitan dengan kesetaraan gender, emansipasi, dan sebagainya. Jangan-jangan yang diinginkan wanita sebenarnya sederhana—hanya pasangan yang baik, rajin bekerja, bertanggung jawab, kehidupan yang tenang dan tenteram, serta uang belanja yang cukup dan tak berkekurangan.
Ketika saya mengonfirmasikan hal itu pada teman-teman wanita, mereka rata-rata menjawab, “Ya, begitulah.”
Ya, begitulah. Jadi, wanita—setidaknya yang saya kenal—sebenarnya tidak ingin macam-macam. Cukup suami yang baik, rajin bekerja, bertanggung jawab, dan kehidupan yang tenteram serta berkecukupan. Cuma itu. Tetapi, kalau memang “cuma itu”, kenapa urusan emansipasi dan kesetaraan gender masih terus menerus diteriakkan dan diributkan?
Jangan-jangan, yang diinginkan wanita sebenarnya bukan emansipasi, tapi pasangan yang baik dan bertanggung jawab. Jangan-jangan, yang diinginkan wanita sebenarnya bukan kesetaraan gender, melainkan kehidupan yang tenteram dan berkecukupan. Kalau memang begitu, bukankah itu pula yang diinginkan rata-rata pria?
Keinginan dasariah kita, sebagai pria maupun wanita, sebenarnya sederhana. Tetapi keinginan dasariah itu tampaknya telah mengalami “modernisasi”, hingga menjadi rumit bahkan sulit.
“Keinginan”, kata orang-orang bijak—juga kata Iwan Fals—“adalah sumber penderitaan.” Sekarang, saya menyadari hal lain. Keinginan bisa jadi merupakan topeng dari sesuatu yang tak diungkapkan.