Beberapa hari sebelum munculnya gerhana matahari, beberapa teman mengajak ke Palembang, untuk menyaksikan fenomena alam itu. Tapi saya tidak tertarik. Sebenarnya, saya bahkan tidak tertarik blas!
“Ayolah,” kata mereka. “Ini femomena alam yang belum tentu akan muncul lagi seumur hidup kita.”
“Malas,” saya menyahut ogah-ogahan. “Aku tidak tertarik.”
“Kamu aneh,” ujar teman saya. “Orang-orang lain pada ribut gerhana matahari, dan mereka sangat antusias ingin menyaksikan, tapi kamu malah ogah-ogahan.”
Saya tersenyum. “Hidup adalah soal pilihan, dan menyaksikan gerhana matahari atau tidak juga pilihan.”
“Dan kamu memilih untuk tidak tertarik?”
Saya mengangguk. “Aku memilih untuk tidak tertarik.”
“Boleh tahu kenapa?”
“Well...” saya menjawab perlahan-lahan. “Ada jutaan orang yang tertarik dan ingin menyaksikan gerhana matahari. Selama berhari-hari, semua fokus seolah diarahkan pada fenomena itu. Artinya, sudah terlalu banyak orang di dunia yang mengurusi gerhana matahari. Padahal urusan hidup tidak hanya soal gerhana. Ada banyak hal lain yang juga perlu diperhatikan, dipikirkan, dan dipahami. Karena sudah terlalu banyak orang yang mengurusi gerhana matahari, aku memilih mengurusi yang lain saja. Lagi pula, siapalah aku ini? Aku tertarik atau tidak, matahari tetap akan gerhana. Jadi, mau ada gerhana matahari atau tidak, sama sekali bukan urusanku. Lebih dari itu, urusanku sudah terlalu banyak, dan jauh lebih penting dari gerhana matahari.”
....
....
Teman-teman saya batal ke Palembang.