Minggu, 27 Maret 2016

10 Alasan Saya Malas Pacaran

Aku juga jomblo, lajang, single, whatever.
Sini yang mau mem-bully. Sini!
@noffret


Masalah terbesar saya bukan kesulitan mencari pacar. Tapi kesulitan menghadapi banyaknya perempuan yang ingin dijadikan pacar. Sori, kalau kalimat itu terdengar sombong, karena kadang-kadang saya juga ingin sombong.

Di luar sana ada idiot-idiot yang merasa hebat kemudian sombong, hanya karena punya pacar. Sebegitu sombong, sampai-sampai kerjaan harian mereka cuma mem-bully jomblo atau orang-orang yang tidak/belum punya pacar. Seolah punya pacar adalah prestasi hebat yang patut dibanggakan. Jadi, sekarang, saya juga ingin sombong, khususnya pada mereka yang sombong itu, agar sedikit sadar, bahwa punya pacar bukan sesuatu yang layak dibesar-besarkan.

In fact, kenyataan bahwa sampai saat ini saya tetap jomblo bukan karena sulit mencari pacar, tapi hasil perjuangan berat dalam menghadapi banyak godaan dan rayuan yang datang. Dengan kata lain, mendapatkan pacar bagi saya jauh lebih mudah daripada menjaga status jomblo sampai sekarang. Karenanya, saya justru bangga menjadi jomblo—karena itu hasil perjuangan berat—dan saya kasihan pada siapa pun yang sok-sokan hanya karena punya pacar.

Mungkin ada yang gatal ingin bertanya, “Kenapa sampai segitunya tidak mau pacaran?”

Untuk menjawab pertanyaan itulah, catatan ini ditulis. Berikut ini sepuluh alasan kenapa saya tidak mau pacaran, atau malas pacaran. Karena saya cowok, maka catatan ini pun ditulis dari sudut pandang cowok.

Alasan 1:
Tidak punya waktu


Dalam kehidupan pribadi, saya punya setumpuk hal penting yang harus dilakukan. Dan pacaran—setidaknya dalam skala prioritas hidup saya—adalah hal paling tidak penting. Semua hal yang perlu dilakukan dalam hidup membutuhkan waktu, dan pacaran juga membutuhkan waktu. Daripada membuang-buang waktu untuk pacaran, saya lebih memilih menggunakan waktu untuk mengerjakan hal-hal yang lebih penting.

Kalau punya pacar, saya harus meluangkan waktu untuk menemui, menelepon, menemani, memperhatikan, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain. Terus terang saya tidak mampu dan tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal semacam itu.

Alasan 2:
Sekali lagi, saya tidak punya waktu


Dulu, waktu punya pacar, hampir setiap hari saya harus menelepon, setidaknya berkirim SMS atau semacamnya. Satu kali kadang tidak cukup. Siang hari sudah bercakap lewat telepon, malam hari masih SMS-an. Siang hari sudah ketemu berjam-jam, malam hari masih minta ditelepon, dan juga berjam-jam. Itu sangat, sangat, sangat, menyita waktu.

Tentu saja saya tidak menyalahkan pacar, karena namanya orang pacaran memang begitu. Lebih spesifik, perempuan memang begitu. Tapi sekarang saya benar-benar tidak mampu jika harus meluangkan waktu untuk hal-hal semacam itu. Jangankan ngurusin pacar, bahkan mengunjungi orangtua sebulan sekali pun saya sering kesulitan. Jangankan menelepon untuk membicarakan hal-hal tolol, bahkan makan yang jelas-jelas penting pun saya sering kelupaan.

Alasan 3:
Urusan sudah sangat banyak


Saat ini, ada 3.000-an buku di rumah yang belum sempat saya baca. Dan jumlah itu makin hari bertambah banyak. Saya suka belajar, senang membaca, dan sangat bernafsu ingin membaca semua buku yang belum sempat terbaca dan terus menumpuk. Tetapi bahkan untuk melakukan itu saja, saya sudah kesulitan.

Itu baru keinginan membaca buku. Padahal urusan hidup saya bukan cuma membaca buku. Saya juga punya tumpukan pekerjaan yang harus diselesaikan, yang makin hari juga makin menumpuk. Di sela-sela kesibukan itu, untuk melemaskan urat syaraf, saya juga perlu meredakan stres dengan “menulis seenaknya sendiri” di blog ini.

Coba lihat sekilas. Ada 3.000-an buku yang perlu saya baca. Jika dalam setahun saya bisa membaca 100-an buku, artinya dibutuhkan waktu 30-an tahun untuk mengkhatamkan semuanya. Sementara pekerjaan yang menumpuk, yang juga harus dikerjakan, juga membutuhkan waktu setara. Itu baru urusan buku dan pekerjaan—belum urusan lainnya.

Alasan 4:
Sekali lagi, urusan saya sudah sangat banyak


Suatu waktu, di masa lalu, pacar saya pernah berkata saat kami bertengkar, “Kamu tahu apa masalah kita? Kamu terlalu sibuk dengan urusanmu sendiri, sampai kamu lupa hal-hal lain.” Sekarang, jika saya punya pacar, hampir bisa dipastikan pacar saya juga akan mengatakan hal yang sama, meski mungkin dengan cara berbeda.

Di masa lalu, saya belum menyadari bahwa pacaran tidak penting. Maka saya pun pacaran, tanpa memikirkan bahwa saya tidak akan punya waktu untuk menjalani dengan baik. Sekarang, saya mulai menyadari, bahwa—dalam hidup saya—pacaran sama sekali tidak penting. Karena saya pasti tidak akan bisa menjalani dengan baik. Karenanya pula, saya pun memilih untuk tidak pacaran.

Alasan 5:
Malas main drama


Bagi lelaki, pacaran artinya berurusan dengan perempuan. Berurusan dengan perempuan, artinya berurusan dengan drama. Berurusan dengan drama, artinya mengurusi hal-hal yang sangat tidak penting, tapi dengan sikap seolah-olah itu hal paling penting sedunia. Ya Tuhan, bahkan untuk makan dan tidur saja saya sering lupa. Apalagi mengurusi drama...?

Drama dengan perempuan bahkan sudah harus dimulai sejak awal—dari perkenalan, sampai pedekate, sampai nembak, sampai kencan, sampai... oh, well. Dan perempuan selalu tahu cara mempersulit apa pun yang seharusnya dapat dilakukan dengan mudah.

Saat kita kirim SMS, misalnya, kebanyakan perempuan tidak langsung membalas, meski sebenarnya bisa langsung membalas. Mereka akan menunggu beberapa saat dulu, beberapa menit dulu, atau bahkan beberapa jam dulu, baru membalas. Tujuannya jelas, untuk sok jaim. Dan itu salah satu bentuk pembuang-buangan waktu yang sungguh sia-sia. Jika untuk mendapat pacar harus melakukan kebodohan semacam itu—menunggu lama hanya untuk dapat balasan SMS—saya memilih untuk tidak punya pacar sama sekali!

Kemudian, saat jalan-jalan, misalnya, dia bisa melangkah sangat cepat, sampai cowoknya tertinggal di belakang. Padahal maksudnya cuma ingin ngomong, “Tolong gandeng aku.” Lha mbok ngomong saja, kenapa harus dipersulit?

Kalau si cowok tidak juga menggandeng tangannya, dia akan menuduh si cowok tidak peka. Lalu ngambek, dan segala macam. Itu kan konyol? Dan kalau harus melakukan hal-hal konyol semacam itu, terus terang saya tidak mampu!

Alasan 6:
Sekali lagi, saya malas main drama


Ketika cewek menginginkan atau memaksudkan sesuatu, mereka tidak langsung menyatakan dengan jelas, tapi menggunakan sikap berputar-putar hingga gebetan atau pasangannya justru merasa ragu. Kalau pun ngomong, mereka tidak langsung ngomong pada hal yang dituju, tapi menggunakan aforisma dan hiperbola, mencampur kalimat denotatif dan konotatif, hingga tujuannya justru menjadi kabur.

Dan kalau pasangannya tidak juga paham, cewek akan menuduh cowoknya tidak peka. Kadang-kadang, mereka juga hanya diam, dan berharap cowoknya paham sendiri. Kalau si cowok tidak paham, mereka akan menuduhnya tidak peka. Lalu ngambek. Lalu drama.

Kenapa mereka tidak langsung saja mengatakan, “Hei, aku ingin begini.” Mudah, simpel, dan sederhana. Tapi cewek tidak suka hal-hal simpel dan sederhana semacam itu. Bukannya memperjelas tujuan, mereka justru lebih senang mengaburkannya.

Hidup ini sudah sulit, bahkan tanpa harus dipersulit. Menjalani kehidupan sehari-hari sudah cukup berat, hingga seharusnya tidak perlu ditambah berat. Kalau kau berharap saya mau main drama, maaf... saya tidak tertarik. Urusan saya sudah terlalu banyak!

Alasan 7:
Tidak suka dituntut


Sebagai manusia, saya tidak keberatan diminta, tapi tidak suka dituntut. Ada perbedaan mendasar antara “meminta” dan “menuntut”. Contoh meminta, misalnya, “Kalau nanti malam kamu ada waktu, telepon aku, ya.” Itu permintaan. Saya tidak keberatan dengan permintaan, dan saya pun akan senang hati memenuhi permintaan itu kalau memang bisa.

Berbeda dengan tuntutan. Contoh menuntut, misalnya, “Pokoknya, apa pun yang terjadi, kamu harus telepon aku manti malam!” Itu tuntutan. Satu dua kali mungkin masih bisa dianggap manis. Tapi jika tuntutan semacam itu terjadi terus menerus, apalagi jika tuntutan yang ada semakin berat, well... rasanya kita sedang menyiksa diri sendiri.

Dalam pacaran, kita tahu, cewek punya banyak tuntutan. “Kamu harus ini, harus itu. Kamu harus begini, harus begitu,” dan lain-lain, dan lain-lain, dan semacamnya, dan semacamnya, dan sebagainya, dan sebagainya. Jadi, dalam pandangan saya, pacaran adalah melakukan sesuatu yang tidak saya sukai—karena banyak tuntutan!

Satu-satunya tuntutan yang saya suka cuma menuntut ilmu! Oh, well, ini serius!

Alasan 8:
Sekali lagi, saya sidak suka dituntut


Pacaran, dalam pikiran saya, bukan hanya hubungan yang penuh tuntutan, tapi pembuangan waktu secara sia-sia dalam jumlah besar. Itu benar-benar pemborosan waktu, energi, dan pikiran, bahkan biaya, dalam skala luar biasa. Jika semua sumber daya dalam pacaran dialihkan untuk hal-hal bermanfaat, sumber daya itu mungkin sudah bisa digunakan untuk membuat reaktor nuklir!

Coba kita lihat dengan akal sehat. Pertama, pacaran penuh tuntutan. Dari tuntutan apel malam Minggu, ketemuan nyaris setiap hari, hingga kencan seharian di akhir pekan. Di sela-sela semua itu, pacar juga menuntut ditelepon, disapa, diperhatikan, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain. Dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya.

Dan apa yang kita lakukan ketika sedang bersama pacar? Membahas hal-hal penting yang berguna bagi nusa dan bangsa? Tidak! Memikirkan nasib dunia dan kemaslahatan umat manusia? Juga tidak! Alih-alih membicarakan hal-hal bermanfaat, kita justru membahas hal-hal tidak penting, seperti, “Kalau kamu jadi bunga, aku jadi kumbangnya.” Bah!

Kalau kita tidak melakukan semua ketololan itu, pacar kita akan marah. Artinya, meski dia mungkin tidak menyatakan secara verbal, tapi dia menuntut kita untuk melakukannya. Itulah yang paling tidak saya suka dalam pacaran—pemborosan sumber daya dalam skala besar-besaran, untuk sesuatu yang tolol dan sia-sia.

Alasan 9:
Saya bukan pacar yang baik


Kalian, khususnya cewek, yang membaca sampai di sini, mungkin membatin, “Si Hoeda Manis ini kayaknya cowok yang benar-benar bangsat!”

Tidak masalah, karena kenyataannya mungkin memang begitu. Dalam urusan pacaran—sebagaimana pemaparan di atas—saya benar-benar bukan cowok baik. Dengan kata lain, saya bukan pacar ideal yang didambakan cewek mana pun.

Pacaran butuh waktu, dan saya tidak sudi buang-buang waktu. Pacaran butuh ketemuan untuk membicarakan hal-hal tidak berguna, dan saya tidak sudi melakukannya. Pacaran membutuhkan drama, dan saya tidak sabar ngurusin drama. Pacaran juga banyak tuntutan, dan saya benci dituntut apa pun. Kesimpulannya jelas, saya bukan pacar yang baik!

Dan karena kesadaran itu pulalah yang membuat saya memilih untuk tidak punya pacar. Karena, jika pacaran, pada akhirnya hanya akan menyakiti pacar saya. Dua kali saya pacaran, dan semuanya gagal. Bukan salah pacar saya, tapi semata-mata—dengan segala kerendahan hati saya mengakui—itu kesalahan saya. Pengalaman itu telah memberi pelajaran bahwa saya memang bukan pacar yang baik. Dan saya tidak perlu memaksakan diri, apalagi sampai mengulangi kebodohan yang sama.

Alasan 10:
Sekali lagi, saya bukan pacar yang baik


Jadi, kepada siapa pun—di dunia nyata maupun di dunia maya—yang mungkin telah jatuh cinta dan berharap pacaran dengan saya, sekarang kita tahu, kalian telah keliru. Saya bukan pacar yang baik, bukan cowok ideal sebagaimana yang mungkin kalian dambakan. In fact, saya justru memiliki banyak kekurangan—sebegitu banyak, hingga saya memilih untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan saya, daripada sibuk pacaran.

Di dunia ini banyak pacar yang baik. Tetapi, kita tahu, saya tidak termasuk di antaranya.

 
;