Kamis, 20 September 2018

Persoalan yang Tak Bisa Dijelaskan

Keliru berawal dari pikiran. Karena berpikir keliru, 
kita bertindak keliru, dan tidak menyadari itu keliru. 
Kenyataan tergantung pikiranmu.


Dulu, sebelum saya lahir, di Pekalongan ada sebuah bioskop yang berdiri di belakang jembatan, di sisi sebelah sungai. Lokasinya di Jalan Hayam Wuruk. Hampir semua orang Pekalongan—khususnya yang telah cukup puber pada 1990-an—tahu bioskop tersebut. Itu salah satu bioskop tertua di Pekalongan.

Jadi, di Jalan Hayam Wuruk ada jembatan, dan di bawahnya mengalir sungai yang memotong jalan. Di belakang jembatan, bersisian dengan sungai, ada tanah lapang yang tersambung dengan sebuah perkampungan. Di tanah lapang itulah berdiri sebuah bioskop—jauh sebelum saya lahir. Bioskop itu aktif pada era 1970-an.

Saya tidak yakin apa nama bioskop tersebut. Dulu, saya pernah mencoba menanyakan pada beberapa orang tua yang saya kenal, mengenai nama bioskop di sana. Tapi jawaban yang saya terima simpang siur. Sebagian orang menjelaskan, bioskop di sana bernama “Remaja”. Tetapi, sebagian lain mengatakan Bioskop Remaja bukan terletak di Jalan Hayam Wuruk, melainkan di tempat lain.

Sekadar catatan, di Pekalongan ada restoran bernama “Remaja”, lokasinya cukup dekat dari Jalan Hayam Wuruk. Restoran itu sekarang sudah tidak ada, tapi saya sempat menyaksikan keberadaannya ketika masih kecil dulu. Berdasarkan penuturan beberapa orang tua, Restoran Remaja dulunya adalah bioskop bernama “Remaja”. Jadi, menurut mereka, Bioskop Remaja berada di tempat yang kemudian berubah menjadi Restoran Remaja—bukan di Jalan Hayam Wuruk.

Karena informasi mengenai nama bioskop di Jalan Hayam Wuruk masih simpang siur, kita sebut saja Bioskop X. Ketika saya lahir, Bioskop X sudah tidak beroperasi, tapi gedung atau bangunannya masih ada, bahkan masih utuh. Karenanya, di masa kecil dulu, saya masih melihat keberadaan gedung tersebut. Orang-orang memberitahu, bahwa gedung itu dulunya bioskop.

Dalam ingatan saya, gedung itu tampak kuno tapi kukuh, dengan warna cat yang telah pudar, hingga menampakkan dinding-dinding kusam. Bahkan, menurut yang saya dengar waktu itu, di dalam gedung masih terdapat kursi-kursi yang digunakan penonton bioskop untuk menonton film. Jadi, bisa dibilang, isi bioskop itu masih lengkap, tapi tidak lagi beroperasi.

Sampai suatu hari, gedung itu terbakar. Waktu itu saya kelas tiga SD. Seperti anak-anak lain yang mudah penasaran dengan apa pun, saya bersama teman-teman berlari-lari ke sana, ingin menyaksikan kebakaran yang terjadi. Gedung bekas bioskop itu memang terbakar. Dari seberang jalan, kami menyaksikan api menjilat-jilat, asap membubung ke langit, sementara petugas pemadam kebakaran berusaha memadamkan.

Kini, saat saya menulis catatan ini, gedung bioskop di Jalan Hayam Wuruk sudah tidak ada, bahkan bekasnya pun sudah tak tampak. Tetapi, saya masih ingat betul keberadaan gedung bioskop tersebut, saat masih kukuh berdiri, hingga saya menyaksikannya terbakar suatu hari.

Bertahun-tahun kemudian sejak peristiwa itu, tepatnya pada 2016, ada seseorang dari luar kota yang memperlihatkan foto-foto kepada saya—foto-foto suasana Pekalongan masa lampau, dengan warna monokrom.

Saya melihat foto-foto itu dengan tertarik, sambil mengingat-ingat suasana Pekalongan masa lalu yang masih terekam dalam memori. Sebagian tempat dalam foto bisa saya kenali, namun sebagian lain tidak. Kenyataannya, memang, Pekalongan saat ini telah jauh berubah dibanding Pekalongan zaman dulu.

Di salah satu foto yang saya lihat, ada gedung yang berdiri di belakang sebuah jembatan. Ingatan saya langsung memberitahu, itu gedung Bioskop X, yang terakhir kali saya lihat ketika terbakar. Secara spontan, saya pun mengatakan bahwa saya mengenali gedung itu sebagai Bioskop X.

“Gedung bioskop ini sekarang sudah tidak ada,” ujar saya waktu itu. “Tapi dulu aku sempat melihatnya.”

Dia memastikan, “Kamu melihat gedung bioskop ini?”

“Ya, aku melihatnya,” saya menjawab yakin.

Lalu dia menunjuk tahun yang tercetak pada foto—sebuah tulisan kecil yang mendokumentasikan kapan foto itu dibuat. Tahun 1977. Lalu dia berkata, “Kamu pasti belum lahir waktu itu.”

Ya, saya memang belum lahir waktu itu—1977, ketika foto gedung bioskop itu dibuat. Tetapi, saya melihat keberadaan gedung tersebut, beberapa tahun sebelum hancur karena kebakaran.

Waktu itu, saya sempat berniat menjelaskan, bahwa gedung itu masih berdiri ketika saya telah tumbuh menjadi anak-anak, meski tidak lagi beroperasi sebagai bioskop. Karenanya, saya benar-benar melihat gedung itu di sana, sebagaimana yang saya katakan. Tetapi, waktu itu, dia sudah menatap saya dengan tatapan menuduh, seolah saya telah berbohong kepadanya.

Ini rumit, pikir saya.

Dia bukan orang Pekalongan—tidak menyaksikan seperti apa Pekalongan di masa lampau, seperti yang saya saksikan. Dia tidak tahu bahwa gedung Bioskop X masih berdiri lama setelah tidak lagi beroperasi, sampai kemudian terbakar hingga rata dengan tanah. Sebenarnya, dia bahkan tidak tahu apa-apa tentang Pekalongan, selain dokumentasi yang ia lihat dalam foto.

Karenanya, kalau pun saya berusaha menjelaskan hal tersebut, belum tentu dia akan percaya. Lagi pula, saya juga tidak punya bukti bahwa saya benar-benar menyaksikan gedung itu, selain ingatan semata.

Akhirnya, saya memilih diam, dan membiarkan dia mengira saya berbohong, meski kenyataannya saya tidak berbohong. Dia berpikir sebagaimana umumnya orang lain berpikir—linear, dan mengabaikan detail.

Dalam pikirannya, Bioskop X eksis pada 1970-an, dan waktu itu saya belum lahir. Akhir 1970-an, Bioskop X sudah tidak ada. Saya lahir setelah itu. Jika saya mengatakan bahwa dulu melihat Bioskop X, artinya saya bohong. Itu, baginya, pola pikir yang masuk akal, bahkan sulit digugat. Benar-benar pola pikir yang sangat linear, dan mengabaikan detail—khas orang kebanyakan.

Padahal, realitas kehidupan—dalam banyak hal—tidak selinear itu. Dalam banyak hal, khususnya dalam hal-hal besar, sering kali ada detail-detail yang perlu kita perhatikan, bahkan perlu kita pelajari, agar pemahaman kita benar-benar utuh dan tidak parsial atau sepotong-sepotong. Setiap peristiwa dibangun di atas detail. Jika kita melewatkan detailnya, kita akan gagal menangkap apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam contoh mudah, seperti cerita di atas, adalah Bioskop X.

Memang benar, Bioskop X ada sebelum saya lahir. Ketika saya lahir, Bioskop X sudah bubar. Jika saya mengatakan pernah melihat Bioskop X, tentu saya bohong, karena bioskop itu sudah bubar, bahkan sebelum saya lahir. Itu pikiran linear yang mengabaikan detail.

Realitasnya, saya benar-benar melihat gedung Bioskop X, karena gedung itu masih berdiri sampai lama, meski bioskopnya sudah tidak lagi beroperasi. Saya telah melihat gedung bioskop itu sejak masih kecil sekali, sampai kemudian melihatnya terbakar dan hancur hingga rata dengan tanah, ketika saya kelas tiga SD.

Dalam teori, saya tidak mungkin melihat Bioskop X, karena bioskop itu sudah bubar sebelum saya lahir. Tetapi, dalam realitas, saya benar-benar melihatnya!

Dalam hidup, kadang ada hal-hal yang kita alami, kemudian kita pahami, tetapi kita kesulitan untuk menjelaskan pada orang lain, karena—jika dipikir secara sederhana atau secara linear—yang kita ceritakan akan sulit dipercaya, atau sulit dipahami. Orang lain belum tentu mengalami yang kita alami. Atau, belum tentu bisa memahami yang kita alami. Karenanya, alih-alih percaya, mereka bisa jadi akan mengira kita berbohong, atau mengada-ada, atau membesar-besarkan.

Kadang, ada teman kita menceritakan orang tuanya kejam, yang memperlakukannya sewenang-wenang, hingga dia mengalami trauma berkepanjangan. Karena kita tidak mengalami yang dialaminya, bisa jadi kita enteng mengatakan, “Ah, orang tua galak itu biasa. Tidak perlu dibesar-besarkan.”

Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu.

Teman kita menceritakan orang tuanya kejam—saya ulangi, kejam. Dia tidak mengatakan orang tuanya galak atau keras. Yang dia katakan adalah “kejam”.

Ada perbedaan yang sangat jelas antara galak atau keras dengan kejam. Teman kita pasti bisa membedakan hal itu, dan dia sengaja menggunakan istilah “kejam” untuk menggambarkan perilaku orang tuanya. Tetapi, karena kita berpikir linear—mungkin karena membayangkan orang tua kita sendiri—kita pun dengan mudah mengasumsikan “kejam” dengan “galak”. Itu benar-benar salah kaprah! Kita hanya melihat gambar besar, tapi melewatkan detail!

Susahnya, seperti itulah cara kebanyakan orang berpikir—menarik simpulan berdasarkan yang dialami sendiri, berpikir linear dengan mengabaikan detail, dan lebih mudah menghakimi daripada berusaha memahami.

Ada pula orang yang mengalami depresi, lalu bermaksud curhat ke temannya, berharap dapat meringankan penderitaan depresi yang ia alami. Bukannya mendengarkan dan berempati, si teman malah memberi nasihat yang sok tahu, “Yang perlu kamu lakukan cukup rajin beribadah, mendekatkan diri pada Tuhan, dan menjalani kehidupan dengan ikhlas. Itulah kunci mengobati depresi.”

Sekali lagi, itu pikiran yang mungkin linear, tapi salah kaprah!

Bagi si teman yang memberi nasihat—dan juga bagi orang lain—nasihat itu mungkin terdengar benar. Tapi belum tentu benar bagi yang mengalami depresi. Karena kenyataan yang ia alami tidak sesederhana itu.

Ada hal-hal yang kita tahu, yang kita alami, yang kita pahami, yang ingin kita katakan pada orang lain, tapi kita kesulitan menjelaskan kepada mereka, karena kemungkinan mereka akan sulit memahami, atau sulit percaya, atau bahkan menuduh kita berbohong, membesar-besarkan, atau mengada-ada.

Empati dan pikiran yang terbuka memang sangat mahal di dunia, hingga tidak setiap orang mampu memilikinya.

 
;