Sabtu, 15 September 2018

Jerit Sunyi di Everest

Semakin ke puncak, jumlah oksigen semakin menipis. 
Orang tak bisa lama-lama di puncak. Kapan pun waktunya 
harus turun. Untuk tetap hidup.


Francys dan Sergei Arsentiev adalah pasangan suami istri berdarah Rusia. Mereka pasangan yang cocok, dan sama-sama suka berpetualang, khususnya mendaki gunung.

Dua puluh tahun yang lalu, pada Mei 1998, Francys dan Sergei memutuskan untuk mendaki Everest. Itu merupakan pendakian mereka yang ketiga, setelah dua pendakian sebelumnya gagal. Dalam pendakian kali ini, mereka tidak membawa tabung oksigen, karena mungkin berpikir sudah mengenali medan di Everest dari pendakian sebelumnya.

Seperti kita tahu, Everest adalah gunung tertinggi di dunia. Gunung itu memiliki ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut, atau sekitar 29.029 kaki. Dengan ketinggian itu, Everest sudah pasti berselimut salju abadi. Jika mendaki ke sana, kita akan merasakan oksigen semakin menipis seiring makin tinggi tempat yang didaki. Karenanya, para pendaki Everest selalu melengkapi diri dengan tabung oksigen, yang merupakan “nyawa kedua” begitu mulai mendaki puncak.

Selain Francys dan Sergei Arsentiev, ada banyak pendaki lain yang juga sama-sama bermimpi menaklukkan puncak Everest. Di sana, pasangan suami istri itu saling sapa dengan mereka, dan mula-mula tidak ada masalah.

Tapi Everest tidak seindah yang tampak di foto-foto. Di balik keindahannya yang memukau, Everest sebenarnya kuburan massal raksasa. Tak terhitung banyaknya orang tewas di sana dengan berbagai sebab—kebanyakan karena kedinginan—dan jasad-jasad mereka tersebar di mana-mana. Karena cuaca yang sangat dingin, tubuh-tubuh mereka bisa dibilang masih utuh, meski telah mati bertahun-tahun.

Mayat-mayat yang berserak di sana sudah menjadi pemandangan umum para pendaki Everest. Mayat-mayat itu juga seperti peringatan keras yang memberitahu, bahwa siapa pun bisa bernasib sama. Sepanjang perjalanan menuju ke puncak Everest, yang ada hanya lapisan salju, cuaca yang dingin menggigit, medan yang curam dan berbahaya, serta badai yang bisa datang sewaktu-waktu.

Badai itu juga muncul ketika pasangan Francys dan Sergei sedang di tengah pendakian. Pada 23 Mei 1998, di tengah cuaca yang dingin menggigit tulang, badai menyergap dengan kencang. Francys dan Sergei—juga para pendaki lain—tercerai-berai, masing-masing berusaha menemukan tempat berlindung, dan Francys mendapati dirinya terpisah dengan Sergei.

Seusai badai reda, Sergei menemui pendaki lain, dan meminta bantuan oksigen serta obat-obatan. Setelah itu, dia berusaha mencari istrinya di hamparan luas bersalju dingin membeku.

Di sisi lain, Francys menderita kedinginan dan kelelahan. Ketika badai menerjang, tubuhnya terlempar ke suatu tempat, lalu terperosok ke sisi tebing, dan tergeletak tak berdaya di hamparan salju. Dengan mata yang mulai mengabur, Francys berteriak minta tolong, dengan suara yang serak... dengan napas yang makin berat.

Teriakan serak Francys terdengar oleh dua pendaki, pasangan Woodall dan Cathy O’Dowd, pada pagi 24 Mei 1998. Menurut Woodall dan Cathy, saat itu Francys terkapar, dan berkata sambil menangis, “Please, don’t leave me. Don’t leave me here to die.”

Apa yang sekiranya akan kaulakukan, ketika mendapati seorang wanita terkapar tak berdaya, sekarat, dan meminta pertolonganmu sambil berurai air mata? Di tempat lain, mungkin langkah yang tepat adalah menggotong atau menggendongnya, membawa ke tempat yang lebih baik, kemudian menghubungi rumah sakit untuk mendapat pertolongan medis. Tapi ini Everest!

Kalau kau berada di Everest, dan sekarat, kau tidak bisa mengharapkan apa pun, selain hanya menunggu ajal datang menjemput. Para pendaki di sana sudah “tahu sama tahu” bahwa kalau kau tidak sanggup berdiri, artinya kau akan mati.

Hal itu pula yang dipikirkan Woodall dan Cathy O’Dowd, ketika mendapati Francys terkapar dan sekarat. Mereka tahu tidak mungkin bisa menolong Francys. Akhirnya, mereka hanya bisa memberikan bantuan oksigen, dan berharap—entah bagaimana caranya—Francys bisa pulih dari kondisinya yang sekarat. Tapi mereka tahu, itu harapan sia-sia. Di hadapan mereka, tubuh Francys tampak makin melemah, hingga akhirnya meninggal.

Lalu bagaimana dengan Sergei, sang suami? Sayang, dia juga mengalami nasib sama. Bersama oksigen yang makin menipis, Sergei kehabisan napas, terperosok, dan meninggal, sama seperti istrinya.

Delapan tahun kemudian, Woodall dan Cathy O’Dowd kembali ke Everest dan mendatangi tempat jasad Francys berada. Semula, mereka bermaksud memberi pemakaman yang layak untuk Francys. Tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, mereka hanya bisa menutupi jasad Francys dengan kain bendera, dan menyelipkan sepucuk surat yang dititipkan keluarga Francys.

Masyarakat India mengeramatkan Everest, karena menganggap gunung itu sebagai tempat suci. Sementara penduduk Tibet menyebut Everest dengan nama Qomolangma, yang berarti Ibu Alam Semesta. Dengan ketinggiannya yang luar biasa, Everest adalah tempat yang paling dekat ke langit, sekaligus atap tertinggi bumi. Karenanya, banyak orang—khususnya para pendaki—ingin menaklukkan puncak Everest, karena itu sama artinya berdiri di puncak dunia.

Tetapi, sekali lagi, Everest tidak seindah yang kita saksikan di gambar. Di balik wajahnya yang tampak “tanpa dosa”, Everest adalah jebakan maut yang menantang ego siapa pun yang ingin menaklukkannya. Dan ada banyak orang terjebak di sana, bermimpi dapat mencapai puncak, tapi kemudian membeku menjadi mayat. Di antara segelintir orang yang berhasil sampai puncak, ada ribuan yang gagal.

Tapi sejarah tak mencatat orang-orang gagal. Sejarah hanya mencatat para pemenang. Sejarah tak peduli pada mayat-mayat yang berserakan di lereng, di lembah, di tebing, dan di mana pun di Everest. Sejarah hanya mencatat pemenang, nama yang berhasil menaklukkan puncak, yang hanya segelintir. Di antara ribuan yang datang, hanya beberapa yang menang.

Maka dunia pun menatapkan pandangan pada sang pemenang, dan orang-orang berpikir bahwa mereka bisa melakukan hal serupa. Mereka tidak pernah diberitahu banyak mayat yang telah terkapar di Everest, mereka hanya diberitahu siapa yang berhasil sampai puncak. Mereka tidak belajar pada yang gagal, mereka hanya belajar pada yang berhasil. Padahal, kesadaran untuk bisa gagal sama penting dengan keinginan untuk berhasil.

Tapi manusia tampaknya memang sulit untuk menyadari realitas, dan enggan menerima kebenaran berdasarkan kenyataan. Ketika menatap puncak Everest, yang mereka pikirkan adalah orang-orang yang telah berhasil sampai puncak, dan sama sekali tak menghiraukan mayat-mayat yang berserakan di sepanjang jalan. Mereka berpikir untuk sampai di puncak, tapi melupakan kemungkinan bahwa mereka juga bisa menjadi mayat yang ikut berserak.

Mencapai puncak adalah impian setiap orang; dari puncak Everest sampai puncak kehidupan. Tetapi, menyadari realitas sebelum sampai di puncak adalah bagian pembelajaran yang perlu dipahami. Bahwa ada kemungkinan berhasil, namun juga ada kemungkinan gagal. Pemahaman itu diperlukan, agar kita mempersiapkan diri lebih baik, untuk menimimalkan kemungkinan gagal dan memperbesar kemungkinan berhasil.

Francys dan Sergei Arsentiev mungkin tidak sempat memikirkan hal itu. Mereka sudah dua kali datang ke Everest, dan menyaksikan langsung seperti apa medan di sana, serta mayat-mayat yang berserakan di sepanjang jalan. Tetapi, alih-alih menyadari bahwa mereka juga bisa menjadi mayat di sana, Francys dan Sergei justru hanya menujukan tatapan ke puncak. Akibatnya, mereka kurang persiapan. Ketika datang ke sana untuk ketiga kali, mereka tidak membawa tabung oksigen dan perlengkapan yang memadai.

Optimisme itu penting. Tapi mempersiapkan diri tak kalah penting. Karena di saat sekarat, maut tak peduli kau optimis atau tidak. Francys dan Sergei pasti pasangan yang sangat optimis. Sebegitu optimis, sampai mereka tidak mempersiapkan diri dengan baik. Realitas akhirnya datang dalam wujud badai, dan optimisme terbukti tak banyak menolong. Mereka tercerai berai, dan sekarat, dan mati.

Menggapai puncak adalah impian indah. Bayangan itu serupa dengan pikiran kebanyakan kita terhadap perkawinan, atau pencapaian lain. Semua orang menujukan khayal pada pelaminan, pada keindahan, tapi melupakan kemungkinan yang bisa terjadi dalam perjalanan menuju ke sana. Padahal, pernikahan serupa Everest—indah dalam foto-foto, bahkan indah saat diceritakan, tapi bisa mengerikan dalam realitas.

Dan sama seperti para pendaki Everest yang tidak menghiraukan mayat-mayat berserakan di sana, kebanyakan kita juga sama tak menghiraukan berapa banyak orang yang bercerai, rumah tangga yang berantakan, keluarga yang kacau dan rusak, hingga anak-anak yang telantar. Karena kita hanya menujukan pandangan kepada puncak, kepada khayal, kepada impian perkawinan sempurna.

Padahal, di balik hal-hal yang tampak sempurna... selalu ada jerit sunyi yang tak pernah kita dengar.

 
;