Sebelumnya, saya ingin jujur mengatakan—dan tolong maafkan kalau terlalu blak-blakan—saya benci rumah sakit! Maksud saya, sangat... benci... rumah sakit.
Berdasarkan pengalaman, sepertinya tidak ada hal menarik di rumah sakit. Tempat itu identik dengan sakit, penyakit, kesakitan, obat-obatan yang sangat tidak enak, makanan yang sama tidak enak, serta suasana yang—bagi saya—seperti horor mencekam. Berdasarkan pengalaman, belum pernah saya masuk rumah sakit dan merasa nyaman, lalu betah tinggal di dalamnya. Setiap kali terpaksa masuk rumah sakit, saya selalu ingin segera minggat dari sana.
Sebagai bocah, saya tahu betul, seenak-enaknya tidur di rumah sakit, masih lebih enak tidur di hotel! (Ya iyalah, bangsat!)
Well, salah satu pengalaman saya dengan rumah sakit, terjadi saat saya mengalami kecelakaan parah, yang diceritakan di sini. Waktu itu, selain tubuh penuh luka, tangan kanan saya patah. Saya digotong beberapa orang dari jalan raya, dan dibaringkan di trotoar.
Orang-orang mengerumuni saya—sang korban kecelakaan—tapi mereka tampak kebingungan, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau mereka “terpesona” melihat luka-luka yang saya alami, atau mereka memang bangsat-bangsat yang tak peduli korban kecelakaan, selain hanya ingin menonton.
Antara sadar dan tak sadar, saya berpikir cepat mengenai apa yang harus saya lakukan, sebelum benar-benar pingsan. Dalam kondisi yang amat kritis itu, saya ingat, teman yang paling dekat dari lokasi kecelakaan—dan bisa ditelepon—adalah Alkaf. Jadi, dengan susah payah dan kesakitan, saya merogoh saku celana, dan mengambil ponsel.
Dengan mata nanar nyaris tak sadar, saya menggulir phonebook di ponsel, hingga menemukan nama Alkaf (untung nama dia diawali huruf A). Setelah telepon tersambung, saya bilang kepadanya, bahwa saya mengalami kecelakaan, menyebut tempat kejadian, dan meminta tolong.
Setelah itu, saya pingsan.
Saya mulai sadar dari pingsan, saat telah ada di mobil Alkaf, yang melaju entah ke mana. Pada waktu itulah, saya mulai merasakan sakit luar biasa, dari bagian tangan kanan yang patah. Suakitnya tidak bisa dijelaskan kata-kata.
Menurut Alkaf, yang terus menyetir, kami sedang menuju rumah sakit yang paling dekat. Tetapi bahkan yang “paling dekat” itu pun rasanya jauh sekali, tak sampai-sampai, sementara sakit yang saya rasakan semakin tak karuan. Itu menjadi saat-saat paling menyiksa dalam hidup yang pernah saya alami.
Ketika akhirnya kami sampai di rumah sakit, saya dimasukkan ke sebuah kamar—yang mungkin—khusus untuk korban kecelakaan. Setelah melihat saya ditangani perawat di rumah sakit, Alkaf pergi. Dia perlu mengabari orang tua saya.
Dan selanjutnya adalah serangkaian kisah gila.
Saya tidak ingat, berapa hari atau berapa abad saya harus dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan itu, yang jelas rasanya lama sekali. Setelah mendapat pertolongan awal, saya ditempatkan di kamar lain, bersebelahan dengan seorang laki-laki yang mengalami patah tulang punggung.
Jadi, di kamar itu hanya terdapat dua ranjang atau tempat tidur untuk pasien. Ketika orang tua saya datang ke rumah sakit, ibu saya memutuskan untuk menginap, berjaga-jaga kalau saya butuh sesuatu. Saya tidur di ranjang, ibu tidur di sofa yang ada di depan ranjang.
Di sebelah saya, ada satu ranjang lain, yang ditempati laki-laki tadi—yang mengalami patah tulang punggung. Laki-laki itu mungkin berusia 50-an, dan dia ditemani istrinya, yang juga tidur di sofa kamar.
Berdasarkan percakapan ibu saya dengan istri si laki-laki, ternyata laki-laki itu terjatuh dari ketinggian, hingga punggungnya patah. Dia harus menjalani operasi beberapa kali, dan proses pemindahan dia dari ranjangnya ke kereta dorong—untuk menuju ruang operasi—adalah saat-saat paling menegangkan yang pernah saya saksikan. Dari ranjang ke kereta dorong, dia harus digotong beberapa orang, dan proses pemindahan itu adalah kesakitan luar biasa yang harus dialami si laki-laki, mengingat tulang punggungnya patah.
Saya bisa membayangkan kesakitan yang ia derita. Wong saya “cuma” patah tulang tangan saja rasanya sakit luar biasa, apalagi dia? Jadi, selama tinggal di kamar itu pula, saya harus membiasakan diri mendengarkan rintih kesakitan dari ranjang sebelah, yang nyaris tanpa henti. Sebenarnya, saya juga ingin merintih, akibat sakit yang juga saya alami. Tapi saya malu. Mosok patah tulang tangan saja harus ikut-ikutan merintih?
....
....
Kegiatan saya selama di rumah sakit adalah tanpa kegiatan sama sekali. Lha piye? Sekujur tubuh penuh luka. Tangan kanan—yang mengalami patah tulang—dipasangi papan yang menjadikan tangan saya mirip robot, dan berat untuk digerakkan. Tangan kiri ditancapi jarum infus, sementara dua kaki terasa kaku akibat luka-luka.
Saya tidak bisa apa-apa, selain hanya berbaring. Dan berbaring. Dan berbaring. Dan berbaring. Benar-benar kegiatan yang tidak enviromental, tidak quo vadis, dan tidak moratorium—apa pun artinya.
Setiap hari, ada perawat atau dokter yang datang menjenguk, entah untuk mengecek botol infus, atau untuk hal lain. Mereka juga memberikan sepaket pil aneka warna yang sekilas mirip gula-gula, tapi perasaan saya tidak enak setiap kali melihatnya. Dokter mengatakan agar saya minum dua butir siang hari, dan dua butir lagi sore hari. Paket pil itu diletakkan di meja samping ranjang, tapi tidak saya sentuh sama sekali.
Suatu kali, dokter datang, dan melihat paket pil itu masih utuh. Dia menanyakan hal itu, dan meminta saya mengonsumsi obat yang ia berikan. “Ini membantu mengurangi sakit, sekaligus mempercepat kesembuhan.”
Dengan lugu, saya bertanya, “Apakah pil-pil ini pahit, Dok?”
Dia tersenyum, dan menyahut, “Namanya juga obat, Mas. Tentu pahit.”
Saya menjelaskan, “Itulah masalahnya. Saya tidak bisa menelan pil.”
Dia menatap bingung, seolah saya tiba-tiba gegar otak. “Jadi?”
“Jadi, saya harus mengunyahnya. Karena itulah, saya ngeri kalau rasanya pahit. Saya khawatir nanti muntah tak karuan. Bisa-bisa bukannya sembuh, sakit saya makin parah.”
Dokter itu tampak bingung, dan saya benar-benar penasaran apa yang dipikirkannya saat itu. Tapi dia tidak ngomong apa-apa, selain hanya tersenyum sekilas. Benar-benar dokter yang simpatik.
....
Kegiatan saya selama di rumah sakit adalah tanpa kegiatan sama sekali. Lha piye? Sekujur tubuh penuh luka. Tangan kanan—yang mengalami patah tulang—dipasangi papan yang menjadikan tangan saya mirip robot, dan berat untuk digerakkan. Tangan kiri ditancapi jarum infus, sementara dua kaki terasa kaku akibat luka-luka.
Saya tidak bisa apa-apa, selain hanya berbaring. Dan berbaring. Dan berbaring. Dan berbaring. Benar-benar kegiatan yang tidak enviromental, tidak quo vadis, dan tidak moratorium—apa pun artinya.
Setiap hari, ada perawat atau dokter yang datang menjenguk, entah untuk mengecek botol infus, atau untuk hal lain. Mereka juga memberikan sepaket pil aneka warna yang sekilas mirip gula-gula, tapi perasaan saya tidak enak setiap kali melihatnya. Dokter mengatakan agar saya minum dua butir siang hari, dan dua butir lagi sore hari. Paket pil itu diletakkan di meja samping ranjang, tapi tidak saya sentuh sama sekali.
Suatu kali, dokter datang, dan melihat paket pil itu masih utuh. Dia menanyakan hal itu, dan meminta saya mengonsumsi obat yang ia berikan. “Ini membantu mengurangi sakit, sekaligus mempercepat kesembuhan.”
Dengan lugu, saya bertanya, “Apakah pil-pil ini pahit, Dok?”
Dia tersenyum, dan menyahut, “Namanya juga obat, Mas. Tentu pahit.”
Saya menjelaskan, “Itulah masalahnya. Saya tidak bisa menelan pil.”
Dia menatap bingung, seolah saya tiba-tiba gegar otak. “Jadi?”
“Jadi, saya harus mengunyahnya. Karena itulah, saya ngeri kalau rasanya pahit. Saya khawatir nanti muntah tak karuan. Bisa-bisa bukannya sembuh, sakit saya makin parah.”
Dokter itu tampak bingung, dan saya benar-benar penasaran apa yang dipikirkannya saat itu. Tapi dia tidak ngomong apa-apa, selain hanya tersenyum sekilas. Benar-benar dokter yang simpatik.
....
....
Saat-saat di rumah sakit adalah saat-saat yang sangat membosankan, karena saya benar-benar tidak bisa apa-apa selain berbaring, sakit, berbaring, gelisah, berbaring, menatap langit-langit kamar, berbaring... dan mungkin begitu terus sampai kiamat.
Untung, selama menjalani masa-masa yang menyiksa itu, ada banyak teman berdatangan. Melihat mereka, bercakap-cakap, dan menikmati canda tawa mereka, cukup mengobati sakit yang saya rasakan. Karenanya, saat mereka harus pergi karena jam berkunjung sudah habis, saya merasa ingin menangis.
Waktu itu, di antara teman dekat saya adalah Alkaf dan Yusron (biasa dipanggil Achong). Hampir saban hari, dua bocah itu menjenguk ke rumah sakit—hanya berdua, maupun bersama teman-teman yang lain.
Suatu sore, mereka berdua datang berkunjung seperti biasa. Kami mengobrol di kamar tempat saya berbaring. Waktu itu, tubuh saya sudah agak kuat, sehingga mampu berdiri dan berjalan. Tapi karena ada infus keparat yang ditancapkan ke tangan saya, terpaksa saya tidak bisa ke mana-mana.
Achong bertanya, apa yang saya inginkan waktu itu. Dengan jujur, saya menjawab, “Aku ingin merokok.”
Waktu itu, karena menjadi pasien di rumah sakit, saya sudah tidak merokok beberapa hari—atau beberapa abad—dan saya benar-benar ingin merokok. Tapi saya tidak mungkin merokok di kamar perawatan. Sementara saya juga tidak mungkin keluyuran sendirian. Namanya juga orang sakit!
Menyadari saya benar-benar ingin merokok, Alkaf lalu keluar kamar, untuk mencari tempat “strategis” yang sekiranya bisa digunakan. Beberapa saat kemudian dia kembali, dan membawa kabar gembira.
Tidak jauh dari kamar saya, ada tempat yang tampaknya ditujukan untuk keluarga pasien yang ingin mencuci atau bersih-bersih. Tempat itu tak beratap, sehingga langit dapat terlihat. Menurut Alkaf, tempat itu sepi, dan tampaknya saya bisa merokok di sana. Saya pun langsung setuju. Well, apa pilihan saya?
Saya bangkit dari ranjang. Achong memegangi botol infus, sementara Alkaf membantu menahan tangan saya yang dibalut papan, yang berat mirip robot. Lalu perlahan kami melangkah ke tempat yang ditunjuk Alkaf. Di sana memang sepi.
Kami berdiri bersisian di sana, dengan Achong yang masih memegangi botol infus, dan Alkaf memegangi tangan robot saya. Alkaf mengambil rokok, meletakkan sebatang di mulut saya, menyulutnya, dan saya mengisap perlahan. Waktu itu, kedua tangan saya tidak bisa digunakan. Jadi, Alkaf melepaskan rokok dari mulut saya setelah saya mengisap, dan kembali meletakkan di mulut saya, menunggu saya mengisap lagi, dan begitu seterusnya.
Subhanallah... itu benar-benar saat merokok paling nikmat yang pernah saya rasakan.
Setelah beberapa hari—atau beberapa abad—hanya terbaring di ranjang dan tidak bisa bergerak, dan setelah lama menahan mulut yang asem ingin merokok, moment itu benar-benar menjadi saat yang sangat indah.
Sejak itu, seiring tubuh makin kuat, dan tangan kiri saya mulai bisa digerakkan, saya pun kadang curi-curi waktu dengan pergi ke sana untuk merokok sendirian. Untuk memuluskan “petualangan” itu, saya meminjam kursi roda milik pasien sebelah saya.
Pasien sebelah saya—laki-laki yang patah tulang punggung—membutuhkan kursi roda untuk keluar kamar. Karena itu, ada kursi roda khusus yang disediakan untuknya, lengkap dengan tiang untuk meletakkan botol infus. Jika saya ingin merokok, dan kursi roda itu tidak dipakai, saya meminjam kursi roda tersebut. Saya pindahkan botol infus ke tiang di kursi roda, lalu duduk dan membawanya ke tempat sepi untuk merokok. Itu, sekali lagi, menjadi moment-moment indah yang sulit saya lupakan.
Yang paling mengesankan dari kisah ini adalah... ndilalah saya tidak pernah “konangan” setiap kali merokok di sana. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau sewaktu-waktu saya ketahuan merokok di rumah sakit. Kalau dihukum push up, bisa modar saya!
Jadi, apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah gila ini?
Jangan merokok? Bukan!
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah... jangan kecelakaan!
Saat-saat di rumah sakit adalah saat-saat yang sangat membosankan, karena saya benar-benar tidak bisa apa-apa selain berbaring, sakit, berbaring, gelisah, berbaring, menatap langit-langit kamar, berbaring... dan mungkin begitu terus sampai kiamat.
Untung, selama menjalani masa-masa yang menyiksa itu, ada banyak teman berdatangan. Melihat mereka, bercakap-cakap, dan menikmati canda tawa mereka, cukup mengobati sakit yang saya rasakan. Karenanya, saat mereka harus pergi karena jam berkunjung sudah habis, saya merasa ingin menangis.
Waktu itu, di antara teman dekat saya adalah Alkaf dan Yusron (biasa dipanggil Achong). Hampir saban hari, dua bocah itu menjenguk ke rumah sakit—hanya berdua, maupun bersama teman-teman yang lain.
Suatu sore, mereka berdua datang berkunjung seperti biasa. Kami mengobrol di kamar tempat saya berbaring. Waktu itu, tubuh saya sudah agak kuat, sehingga mampu berdiri dan berjalan. Tapi karena ada infus keparat yang ditancapkan ke tangan saya, terpaksa saya tidak bisa ke mana-mana.
Achong bertanya, apa yang saya inginkan waktu itu. Dengan jujur, saya menjawab, “Aku ingin merokok.”
Waktu itu, karena menjadi pasien di rumah sakit, saya sudah tidak merokok beberapa hari—atau beberapa abad—dan saya benar-benar ingin merokok. Tapi saya tidak mungkin merokok di kamar perawatan. Sementara saya juga tidak mungkin keluyuran sendirian. Namanya juga orang sakit!
Menyadari saya benar-benar ingin merokok, Alkaf lalu keluar kamar, untuk mencari tempat “strategis” yang sekiranya bisa digunakan. Beberapa saat kemudian dia kembali, dan membawa kabar gembira.
Tidak jauh dari kamar saya, ada tempat yang tampaknya ditujukan untuk keluarga pasien yang ingin mencuci atau bersih-bersih. Tempat itu tak beratap, sehingga langit dapat terlihat. Menurut Alkaf, tempat itu sepi, dan tampaknya saya bisa merokok di sana. Saya pun langsung setuju. Well, apa pilihan saya?
Saya bangkit dari ranjang. Achong memegangi botol infus, sementara Alkaf membantu menahan tangan saya yang dibalut papan, yang berat mirip robot. Lalu perlahan kami melangkah ke tempat yang ditunjuk Alkaf. Di sana memang sepi.
Kami berdiri bersisian di sana, dengan Achong yang masih memegangi botol infus, dan Alkaf memegangi tangan robot saya. Alkaf mengambil rokok, meletakkan sebatang di mulut saya, menyulutnya, dan saya mengisap perlahan. Waktu itu, kedua tangan saya tidak bisa digunakan. Jadi, Alkaf melepaskan rokok dari mulut saya setelah saya mengisap, dan kembali meletakkan di mulut saya, menunggu saya mengisap lagi, dan begitu seterusnya.
Subhanallah... itu benar-benar saat merokok paling nikmat yang pernah saya rasakan.
Setelah beberapa hari—atau beberapa abad—hanya terbaring di ranjang dan tidak bisa bergerak, dan setelah lama menahan mulut yang asem ingin merokok, moment itu benar-benar menjadi saat yang sangat indah.
Sejak itu, seiring tubuh makin kuat, dan tangan kiri saya mulai bisa digerakkan, saya pun kadang curi-curi waktu dengan pergi ke sana untuk merokok sendirian. Untuk memuluskan “petualangan” itu, saya meminjam kursi roda milik pasien sebelah saya.
Pasien sebelah saya—laki-laki yang patah tulang punggung—membutuhkan kursi roda untuk keluar kamar. Karena itu, ada kursi roda khusus yang disediakan untuknya, lengkap dengan tiang untuk meletakkan botol infus. Jika saya ingin merokok, dan kursi roda itu tidak dipakai, saya meminjam kursi roda tersebut. Saya pindahkan botol infus ke tiang di kursi roda, lalu duduk dan membawanya ke tempat sepi untuk merokok. Itu, sekali lagi, menjadi moment-moment indah yang sulit saya lupakan.
Yang paling mengesankan dari kisah ini adalah... ndilalah saya tidak pernah “konangan” setiap kali merokok di sana. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau sewaktu-waktu saya ketahuan merokok di rumah sakit. Kalau dihukum push up, bisa modar saya!
Jadi, apa pelajaran yang bisa diambil dari kisah gila ini?
Jangan merokok? Bukan!
Pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini adalah... jangan kecelakaan!