Senin, 15 Oktober 2018

Hidup Terlalu Singkat untuk Membaca WhatsApp

Dulu, aku pernah heran pada orang-orang yang masih pakai pager, 
ketika ponsel sudah jadi barang umum. Kini, orang-orang heran karena 
aku tidak pakai WhatsApp dan masih mengandalkan SMS.

Untuk benar-benar memahami sesuatu, sepertinya kita memang 
harus mengalaminya terlebih dulu.


“Mengapa kamu tidak memakai WhatsApp?” Itu pertanyaan yang sering saya terima dari orang-orang yang mengenal saya di dunia nyata. Mirip saat BlackBerry (BB) sedang populer dulu, banyak yang bertanya nomor BBM. Belakangan, setelah BB tidak lagi populer, yang ditanyakan adalah nomor WhatsApp (WA).

Dulu, saat musim BlackBerry, saya biasanya menjawab, “Maaf, aku tidak pakai BB,” setiap kali ditanya nomor BBM. Kini, saya juga menjawab dengan kalimat senada setiap kali ditanya nomor WA, “Maaf, aku tidak pakai WhatsApp.”

Alasan kenapa saya kukuh tidak mau menggunakan WhatsApp dan semacamnya, karena saya merasa tidak punya waktu.

Aplikasi-aplikasi yang ditujukan untuk komunikasi—semisal WhatsApp—kerap digunakan untuk hal-hal yang—menurut saya—tidak penting, tidak bermanfaat, tidak berfaedah, tidak akademis, dan tidak enviromental.

Sudah sering saya mendengar teman yang mengeluh karena mendapati banyak pesan menumpuk di WhatsApp. Bukan puluhan, tapi ratusan. Itu baru WhatsApp. Belum pada aplikasi lain sejenis, yang ia pakai di ponselnya.

Kegiatan teman-teman saya seusai bangun tidur adalah membuka ponsel, dan mengecek pesan-pesan yang masuk di aneka aplikasi yang mereka gunakan. Kadang sampai berjam-jam, karena harus membalas pesan-pesan tersebut. Itu pun belum cukup. Sehari-hari, mereka tampaknya terus sibuk dengan ponsel, mengurusi pesan yang masuk di WhatsApp, di Line, di BBM, di berbagai sarana komunikasi lain. Akibatnya, mereka tak pernah bisa lepas dari ponsel.

Yang bekerja tidak fokus pada pekerjaan, karena diganggu ponsel. Yang duduk-duduk di taman tidak bisa menikmati keindahan sekelilingnya, karena perhatian terus tersita ke ponsel. Yang beristirahat tidak bisa tenang dan nyaman, karena pikirannya terus tertuju ke ponsel. Bahkan yang punya anak-anak sampai menelantarkan anak-anaknya, karena ponsel terus menerus menyita perhatian.

Saya tidak ingin mengalami hal semacam itu. Setiap kali bangun tidur, saya ingin melakukan hal lain yang lebih bermanfaat, yang jelas faedahnya. Misal membaca buku. Atau meneruskan pekerjaan kemarin. Atau menyapu rumah. Atau mencuci piring dan gelas kotor. Atau apa pun, yang jelas dan nyata, yang bermanfaat, dan berfaedah. Saya tidak sudi membuang-buang waktu untuk membaca pesan-pesan tidak penting di WhatsApp atau semacamnya!

Itu alasan pertama kenapa saya tidak memakai WhatsApp, dan tidak tertarik menggunakannya. Karena tidak punya waktu, dan tidak sudi membuang-buang waktu. Hidup ini terlalu singkat untuk membaca pesan WhatsApp!

Alasan kedua, karena saya ingin tetap menjadi manusia.

Sudah berkali-kali saya bercakap-cakap dengan seseorang, atau beberapa orang, dan percakapan kami disela oleh ponsel. Mereka terus menerus mengecek ponsel, karena terus menerus ada pesan masuk di WhatsApp dan di berbagai aplikasi lain.

Itu benar-benar sangat mengganggu dan menjengkelkan! Sebegitu menjengkelkan, hingga saya merasa ingin merebut ponsel mereka, dan membantingnya, lalu menginjak-injaknya sampai hancur.

Saya bisa menoleransi orang yang memutus percakapan karena adanya panggilan telepon. Misal kita sedang bercakap-cakap, lalu ada panggilan telepon masuk, dan kau pamit sebentar untuk menerima telepon tersebut, karena siapa tahu itu memang urusan penting yang mendesak. Silakan. Tapi saya benar-benar dongkol setiap kali melihat orang terdistraksi oleh pesan-pesan sepele di ponsel—pesan-pesan tidak penting yang mestinya di buang ke tempat sampah... atau ke dasar neraka.

Dan pesan-pesan sampah itu mengganggu komunikasi manusiawi di antara kami—itulah yang membuat saya sangat jengkel. Sebegitu muak pada aplikasi-aplikasi pesan semacam itu, hingga saya tidak tertarik mencoba.

Setiap kali bercakap-cakap dengan orang lain, saya TIDAK PERNAH mengeluarkan ponsel, kecuali untuk alasan-alasan tertentu yang masuk akal dan penting, semisal untuk memasukkan nomor telepon baru, atau karena ada panggilan telepon, atau bisa pula karena ada SMS yang datang, dan harus dibalas segera.

Sikap itu—tidak pernah mengeluarkan ponsel selama percakapan—saya lakukan, sebagai bentuk penghormatan kepada lawan bicara. Saya ingin dia tahu bahwa saya menghormatinya, bahwa saya menghargai keberadaannya, hingga saya hanya akan fokus kepadanya, tanpa diganggu oleh ponsel! Ketika kami bercakap-cakap, saya ingin dia tahu bahwa saya manusia yang bercakap-cakap dengannya sebagai manusia.

Selama ini, saya memang tidak pernah menegur siapa pun terkait hal tersebut. Setiap kali bercakap dengan teman, lalu mereka terdistraksi oleh ponsel, saya hanya diam—tak pernah sekali pun menegur. Tetapi, mungkin, mereka lama-lama sadar sendiri, karena tidak pernah melihat saya mengeluarkan ponsel setiap kali bercakap dengan siapa pun. Belakangan, orang-orang mungkin tidak enak kalau akan mengeluarkan ponsel saat bercakap-cakap dengan saya.

Saya ingin menjadi manusia, dan tetap menjadi manusia. Yaitu yang bertemu dan bercengkerama dengan sesama, fokus pada orang di depan kita, bercakap dan bercanda serta tertawa bersamanya... tanpa harus diganggu dan disela oleh benda keparat bernama ponsel!

Jika kita tidak bisa melakukan hal sederhana itu—khusyuk saat bersama orang lain—maka kita lebih hina dari binatang, karena binatang bahkan bisa melakukannya!

Saya tidak paham bahasa binatang, tentu saja, tetapi setidaknya saya kerap mengamati binatang-binatang yang sedang bersama temannya. Anjing saling mendusel-duselkan kepala pada temannya, lumba-lumba saling bercengkerama dengan sesama, burung-burung tertawa riang dan saling melempar nyanyian, sementara induk ayam menemani anak-anaknya mencari makan—dan mereka tidak pernah diganggu dering keparat, atau pesan-pesan sampah terkutuk, yang menyela kebersamaan mereka. Jika kita tidak bisa seperti mereka, artinya kita tidak lebih beradab dari mereka.

Disadari atau tidak, kita telah kehilangan kehangatan kemanusiaan, karena tak bisa lagi khusyuk pada orang di dekat kita, karena perhatian dan konsentrasi kita terus menerus dialihkan oleh ponsel yang tak henti memuntahkan sampah.

Kita tidak lagi menikmati keceriaan dan tawa menyenangkan sebagaimana seharusnya manusia, karena kebersamaan kita dengan orang lain telah dipisahkan oleh aneka dering, oleh notifikasi, oleh aneka sampah.

Jadi, ponsel yang saya gunakan setiap hari hanya berfungsi untuk bertelepon dan berkirim SMS. Hanya itu pula cara orang lain bisa menghubungi saya lewat ponsel. Dengan telepon, atau dengan SMS. Dengan dua sarana itu, orang tidak bisa mengirim sampah seenaknya sebagaimana lewat aplikasi semacam WhatsApp. Dan saya merasa nyaman menjalani hidup semacam itu.

Dulu, saya pernah tertarik pada seorang wanita di dunia maya, dan bermaksud menjalin komunikasi secara intens dengannya. Tapi dia menawari agar kami berkomunikasi via WhatsApp. Dan apakah saya lalu memakai WhatsApp? Tidak! Saya berhenti menjalin komunikasi dengannya!

Pas lebaran kemarin, keluarga besar saya bermaksud mengumpulkan semua sanak keluarga dalam satu grup WhatsApp. Mereka menginventarisir semua nomor WhatsApp yang terhubung anggota keluarga, termasuk saya. Dan saya mengatakan kepada mereka, bahwa saya tidak memakai WhatsApp.

Saya berkata, “Kalau kalian perlu saya, silakan telepon atau SMS, dan saya akan datang.”

Di Twitter, saya pernah mendapati tweet, “Apakah kalian pernah tidak menyentuh ponsel sama sekali selama satu jam?”

Saya tersenyum saat membaca tweet itu. Tidak menyentuh ponsel selama satu jam? Saya bahkan sering tidak menyentuh ponsel sama sekali hingga berjam-jam! Dalam kondisi tertentu—misal sedang khusyuk belajar atau sibuk bekerja—saya bahkan tidak menyentuh ponsel sampai berhari-hari, karena dering ponsel saya matikan, hingga saya benar-benar tidak terganggu apa pun.

Saya yang memiliki ponsel, bukan ponsel yang memiliki saya! Sayalah yang punya kuasa dan pilihan untuk menggunakannya, dan bukan ponsel yang berkuasa atas diri saya. Mungkin terdengar sinting, tapi saya nyaman menjalani gaya hidup yang saya pilih sendiri. Tenang, hening, sunyi, tanpa ada gangguan yang tak penting.

Dalam pergaulan sehari-hari, saya memang tidak bisa menghindar dari kemungkinan ditanya nomor WhatsApp atau semacamnya. Sebagian orang mungkin tidak pede kalau ditanya nomor WA, dan menjawab tidak pakai WA (ini mirip fenomena BBM di masa lalu—sebagian orang tidak pede kalau tidak pakai BBM). Tapi saya tidak peduli. Setiap kali ada orang bertanya nomor WhatsApp, saya jujur—dan pede—menjawab, “Aku tidak pakai WhatsApp.”

Kadang-kadang, orang yang bertanya akan bingung, dan kembali bertanya, “Kenapa tidak pakai WhatsApp?”

Biasanya, saya tersenyum, dan menjawab, “Karena hidup ini terlalu singkat untuk membaca WhatsApp.”

Sebagai manusia, saya tentu senang berkomunikasi dengan teman-teman, mengobrolkan hal-hal ringan yang menyenangkan, sambil bercanda dan tertawa. Tapi saya hanya mau melakukannya secara langsung, face to face, bukan melalui sarana pesan seperti WhatsApp!

Saat mengobrol dengan teman secara langsung, saya bisa melihat wujudnya secara utuh, ekspresinya, sikapnya, tawa dan senyumnya—sebagaimana dia bisa melihat hal sama pada diri saya. Persentuhan manusiawi semacam itu tidak bisa diwakili teknologi semacam WhatsApp atau semacamnya. Apalah arti ikon senyum, dibandingkan melihat langsung senyum teman kita? Apalah arti ikon tawa, dibandingkan mendengar langsung tawa teman kita?

Percakapan langsung adalah pertemuan yang intens, dalam arti memiliki waktu terbatas. Seasyik apa pun kami mengobrol, pada akhirnya kami harus berpisah. Perpisahan itu menerbitkan kerinduan manusiawi, hingga kami ingin bertemu kembali.

Kenyataan semacam itu tidak terjadi saat bercakap melalui WhatsApp atau aplikasi lain, karena tidak ada batas waktu, tidak ada perasaan intens, dan pesan-pesan sampah di WhatsApp bisa datang kapan saja tanpa peduli waktu. Akibatnya, kita merasa terus berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain, tapi sebenarnya kering, sendirian, dan kesepian. Karena nyatanya yang kita lakukan hanya membalas pesan lewat ponsel.

Saya tidak ingin terjebak dalam gaya hidup semacam itu. Sudah sejak lama, saya menerapkan prinsip hidup yang khusyuk. Yaitu fokus dan khusyuk pada apa pun yang kita lakukan.

Saat makan, saya khusyuk pada makanan, tanpa disela dering ponsel, bahkan tanpa bercakap-cakap dengan orang lain! Omong-omong, saya benar-benar benci jika harus bercakap-cakap selagi makan. (Saya tidak mempersoalkan orang lain yang makan sambil bercakap-cakap, tapi saya tidak akan ikut melakukannya. Saya baru akan bercakap-cakap setelah makan selesai.)

Begitu pun saat sedang belajar, atau sedang bekerja, saya akan khusyuk pada yang saya lakukan. Saat bertemu dan bercakap-cakap dengan seseorang atau beberapa orang, saya akan khusyuk pada percakapan, bukannya terus menerus terdistraksi oleh ponsel.

Karena hidup ini begitu singkat. Dan saya tidak ingin menyia-nyiakannya untuk hal-hal tidak penting, semisal tumpukan sampah di WhatsApp.

 
;