Delusi, Ma'am, adalah menganggap bahkan
meyakini dunia berutang kepadamu, padahal dunia
sama sekali tidak mengenalmu.
Angelique adalah mahasiswi yang juga bekerja paro-waktu di sebuah kafe. Seperti umumnya wanita lain, Angelique memiliki beberapa teman wanita, juga senang ngerumpi bersama mereka. Dan seperti umumnya wanita lain, Angelique kerap menceritakan pria yang menjalin hubungan cinta dengannya.
Angelique menceritakan pada teman-temannya, bahwa dia menjalin hubungan cinta dengan seorang pria bernama Loic, yang berprofesi sebagai dokter. Seperti umumnya wanita lain, Angelique begitu menggebu saat menceritakan Loic pada teman-temannya, betapa ia sangat mencintai Loic, juga betapa Loic sangat mencintai dirinya. Tapi cinta mereka tak bisa bersatu, karena Loic sudah punya istri.
Karena kenyataan tersebut, teman-teman Angelique memberi saran agar Angelique meninggalkan Loic, dan mencari pria lain yang masih lajang. Tapi Angelique sudah cinta mati kepada Loic. Lebih dari itu, Angelique juga sangat yakin kalau Loic sama cinta mati kepadanya. Bahwa Loic sudah punya istri, itu hanya “kecelakaan”, dan Angelique yakin kalau Loic hanya cinta kepadanya.
“Dia akan menceraikan istrinya demi aku,” yakin Angelique.
Jadi, setiap waktu, Angelique terus asyik menceritakan Loic, pria pujaannya, kepada teman-temannya. Ia begitu yakin bahwa Loic memberi “tanda-tanda” kalau dia sangat memuja Angelique, bahwa Loic menunjukkan “perilaku tertentu” yang membuktikan kalau dia sangat merindukan Angelique, dan lain-lain. Intinya, Angelique selalu bisa “menafsirkan” apa pun terkait Loic, yang semua maknanya hanya satu; bahwa Loic jatuh cinta kepada Angelique.
Kalau Loic terlihat sendirian, Angelique akan menafsirkan kesendirian itu sebagai tanda bahwa Loic sedang ingin menjauhi istrinya, karena dia hanya cinta pada Angelique. Sebaliknya, kalau Loic terlihat bersama istrinya, Angelique akan menafsirkan bahwa itu cara Loic menutupi perasaannya kepada Angelique, dan ingin tetap terlihat normal di depan istrinya.
Intinya, Angelique selalu bisa menemukan “tanda” apa pun terkait Loic, dan ia selalu mengartikannya sebagai tanda bahwa Loic jatuh cinta kepadanya.
Yang mengejutkan dari kisah Angelique adalah... Loic sebenarnya tidak kenal Angelique! Semua yang dikisahkan Angelique kepada teman-temannya hanyalah khayalan atau delusinya sendiri.
Kalau kalian pernah menonton He Loves Me, He Loves Me Not, kalian pasti paham bahwa cerita yang saya tulis adalah kisah film tersebut. He Loves Me, He Loves Me Not menceritakan gangguan psikologis yang dialami si pemeran wanita, Angelique, yang mengalami erotomania—sebentuk delusi bahwa seseorang jatuh cinta kepadanya, padahal orang itu tidak punya perasaan apa pun, bahkan kadang sama sekali tidak mengenalnya.
Terkait Angelique dalam film He Loves Me, He Loves Me Not, dia akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa akibat delusinya.
Erotomania menjadikan penderitanya yakin bahwa ada seseorang yang memendam perasaan kepadanya, padahal orang itu sama sekali tidak peduli kepadanya, bahkan kadang sama sekali tidak mengenalnya. Itu mengerikan, jujur saja. Mengerikan bagi si penderita, juga mengerikan bagi orang yang menjadi subjek delusinya.
Kalau kau kebetulan menjadi subjek delusi penderita erotomania, segala tingkah lakumu akan diartikan sebagai tanda bahwa kau jatuh cinta kepadanya, bahwa kau memendam perasaan kepadanya, bahwa kau diam-diam merindukannya, dan lain-lain.
Dia—orang yang menderita erotomania dan menjadikanmu subjeknya—biasanya akan rajin stalking, memperhatikanmu diam-diam, dan apa pun tingkahmu akan diartikan olehnya sebagai wujud atau sinyal bahwa kau jatuh cinta kepadanya.
Dalam konteks kekinian, misal, kau bisa saja iseng menulis tweet di Twitter, “Malam ini ingin tidur agak sore, ah.”
Itu jelas tweet yang netral, tidak mengandung makna apa pun selain bahwa kau ingin tidur agak sore, mungkin karena lelah setelah bekerja seharian. Tetapi, penderita erotomania bisa menjadikan tweet itu sebagai “tanda”, “sinyal”, atau “petunjuk”, bahwa kau jatuh cinta kepadanya. What the hell?
Bagi penderita erotomania yang menjadikanmu sebagai subjeknya, bisa saja tweet itu diartikan, misalnya, “Dia ingin tidur agak sore malam ini, karena malam-malam sebelumnya pasti kurang tidur gara-gara merindukanku.” Dan semacamnya, dan semacamnya, dan semacamnya.
Sebaliknya, kalau kau menulis tweet, “Malam ini tidur agak larut, ah.” Maka penderita erotomania juga bisa menafsirkan tweet-mu sebagai “tanda”, “sinyal”, “petunjuk”, atau taik kucing lainnya, yang intinya bahwa kau sedang “berupaya menunjukkan kepadanya bahwa kau jatuh cinta kepadanya.”
Oleh penderita erotomania, tweet-mu bisa ditafsirkannya menjadi “semacam sinyal bahwa aku merindukanmu, Sayang,” dan semacamnya, dan semacamnya, dan semacamnya, what the fuck is that.
Jadi, kalau kau menjadi subjek delusi penderita erotomania, apa pun tingkahmu atau apa pun yang kautulis, selalu bisa ditafsirkan berbeda olehnya, yang—lagi-lagi—semuanya merujuk bahwa kau jatuh cinta kepadanya, bahwa kau merindukannya diam-diam, bahwa kau tak bisa hidup tanpanya, dan lain-lain, dan sebagainya, dan semacamnya, dan asu seasu-asunya.
Yang mengerikan, kau belum tentu mengenal si penderita erotomania yang mati-matian yakin bahwa kau jatuh cinta kepadanya. Jadi, dia merasa sangat mengenalmu, bahkan yakin kau mencintainya, padahal kau sama sekali tidak mengenalnya. Kalau pun mungkin mengenal, bisa jadi kau hanya mengenal sekilas—mungkin suatu kali pernah bertemu—sudah, hanya itu. Apakah itu tidak mengerikan?
Jadi, bisa saja si penderita erotomania bercerita kepada teman-temannya, “Senang banget, tadi aku ketemu Si A di swalayan. Dia sendirian, tidak bersama istrinya. Dia pasti bermaksud memberitahuku kalau dia memang tidak mencintai istrinya, dan hanya mencintaiku.”
Padahal, bisa jadi Si A sama sekali tidak melihat si penderita erotomania saat ada di swalayan. Kalau pun melihat, bisa jadi dia tidak peduli karena memang tidak kenal, atau tidak terlalu mengenal, atau memang tidak punya perasaan apa pun.
Selain itu, Si A ke swalayan sendirian bisa jadi karena butuh sesuatu yang penting, dan sama sekali tidak berkaitan dengan istrinya. Bisa saja istrinya menunggu di mobil, atau sedang di rumah. Atau bisa saja istrinya sedang di salon, sementara Si A ke swalayan sambil menunggu istrinya selesai perawatan. Sama sekali tidak berkaitan dengan si penderita.
Tetapi, si penderita erotomania bisa mengartikan apa saja, yang intinya bahwa Si A jatuh cinta kepadanya. Ini berbahaya, karena bisa menimbulkan fitnah.
Bayangkan saja kau seorang pria yang sudah punya istri. Diam-diam, ada wanita penderita erotomania yang sangat yakin kau jatuh cinta kepadanya, padahal kau tidak kenal kepadanya, atau kau sama sekali tidak peduli kepadanya. Tetapi, si penderita erotomania sering bercerita kepada orang-orang—khususnya teman-temannya—bahwa kau jatuh cinta kepadanya, bahwa kau ingin menceraikan istrimu demi dirinya, bahwa kau tidak bisa hidup tanpanya, dan semacamnya.
Jika omongan semacam itu sampai ke telinga istrimu—atau setidaknya sampai ke telinga keluargamu—akibatnya bisa runyam. Istrimu bisa menuduhmu macam-macam, padahal kau tidak melakukan kesalahan apa pun.
Atau sebaliknya, kau seorang wanita yang telah bersuami. Diam-diam, ada pria penderita erotomania yang sangat yakin kau jatuh cinta kepadanya, padahal kau tidak kenal kepadanya, atau kau sama sekali tidak peduli kepadanya. Tetapi, si penderita erotomania sering bercerita kepada orang-orang—khususnya teman-temannya—bahwa kau jatuh cinta kepadanya, bahwa kau ingin bercerai dengan suamimu demi dirinya, bahwa kau tidak bisa hidup tanpanya, dan semacamnya.
Sekali lagi, jika omongan semacam itu sampai ke telinga suamimu—atau setidaknya sampai ke telinga keluargamu—akibatnya bisa runyam. Suamimu bisa menuduhmu macam-macam, padahal kau tidak melakukan kesalahan apa pun.
Jangankan terjadi pada orang yang telah bersuami atau telah beristri, bahkan terjadi pada orang yang masih lajang pun akibatnya bisa runyam. Setidaknya, bisa memalukan.
Bayangkan saja, umpama ada penderita erotomania yang yakin bahwa kau jatuh cinta kepadanya. Apa pun yang kaulakukan, ia akan mengartikannya sebagai tanda bahwa kau jatuh cinta kepadanya. Apa pun yang kautulis, ia akan mengartikannya sebagai tanda bahwa kau merindukannya. Apa pun yang kauucapkan, ia akan mengartikannya sebagai tanda bahwa kau tidak bisa hidup tanpanya.
Itu saja belum cukup. Selain “sangat serius” menafsirkan segala tingkah lakumu, penderita erotomania juga tidak malu menceritakan hal-hal yang sebenarnya delusinya sendiri kepada orang lain.
Tidak menutup kemungkinan dia akan bercerita kepada teman-temannya bahwa tadi kalian berkencan (padahal cuma berpapasan sekilas), atau bercerita bahwa kalian telah berjanji untuk sehidup semati (padahal itu cuma delusinya sendiri), dan lain-lain, dan semacamnya, dan sebagainya, dan blah-blah-blah.
Bahkan, umpama kau kebetulan mengetahui kenyataan itu, dan marah hingga mencaci-maki dirinya, penderita erotomania bisa menafsirkan bahwa kemarahan serta caci-makimu sebagai sandiwara, bahwa kau ingin menutupi perasaanmu yang jatuh cinta kepadanya. Apa yang lebih asu dari itu?
Dalam taraf yang ringan, ucapan yang sering dikatakan penderita erotomania adalah, “Berdasarkan feeling-ku, dia jodohku,” atau, “Berdasarkan feeling-ku, kelak kami akan berjodoh,” atau kalimat delusional semacamnya.
Erotomania adalah gangguan atau masalah psikologis. Sebagaimana masalah psikologis lain, erotomania membutuhkan penanganan tenaga ahli atau berkompeten. Agar masalah atau gangguan itu mendapat penanganan, hal pertama yang harus ada adalah kesadaran si penderita untuk memahami bahwa dia mengalami masalah. Kalau pun si penderita tidak memahami masalahnya sendiri, teman atau orang-orang terdekatnya perlu memberitahu serta menyadarkannya.
Ini tak jauh beda dengan, misalnya, depresi. Penderita depresi baru bisa mendapat penanganan yang tepat jika ia menyadari dirinya bermasalah, lalu mendatangi psikolog/psikiater untuk membantunya.
Jadi, kalau sewaktu-waktu kita mendapati seseorang—misalnya teman—yang sangat menggebu menceritakan “feeling-nya” atau “pengalaman cintanya” dengan seseorang, coba perhatikan apakah dia benar-benar saling kenal dengan orang yang ia ceritakan atau tidak. Kalau pun saling kenal, apakah mereka sebatas kenal ataukah memang menjalin hubungan sebagaimana yang ia ceritakan.
Kalau ternyata kita meragukan ceritanya, langkah terbaik adalah menyadarkannya, sebelum ulahnya menjadi berbahaya (bagi dirinya sendiri, maupun bagi orang yang menjadi subjek delusinya). Ini tak jauh beda kalau kita mendengar teman kita menyatakan ingin bunuh diri atau semacamnya. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Kita perlu membantunya keluar dari masalah yang ia derita, dan salah satunya adalah merujuknya ke psikiater.
Jatuh cinta mungkin menyenangkan. Tapi delusi cinta... itu mengerikan.
Catatan kaki:
Erotomania, atau biasa dikenal dengan sebutan de Clerambault’s syndrome, merupakan bentuk gangguan kepribadian, yang membuat penderitanya memiliki keyakinan (yang merupakan waham atau keyakinan palsu) bahwa ada seseorang yang memendam perasaan cinta kepadanya, atau mungkin memiliki suatu bentuk hubungan dekat/intim.
Erotomania pertama kali ditelaah oleh psikiater asal Prancis, Gaëtan Gatian de Clérambault. Ia menyusun makalah yang membahas gangguan kepribadian ini pada 1921. Walau referensi awal yang sejenis dengan gangguan ini telah ada dalam tulisan Hipocrates, Erasistratus, Plutarch, dan Galen.
Dalam dunia psikiatri, referensi sejenis ada pertama kali pada 1623, dalam risalah berjudul Maladie d’amour ou melancolie erotique, yang ditulis Jacques Ferrand, dan juga disebut sebagai “old maid’s psychosis”, “erotic mania” dan “erotic self-referent delusions”, hingga saat ini disebut erotomania atau de Clerambault’s Syndrome.
Inti utama sindrom ini, si penderita memiliki suatu waham atau delusi keyakinan bahwa ada orang lain yang secara sembunyi-sembunyi memendam perasaan cinta kepadanya.
Penderita erotomania selalu yakin bahwa subjek delusi mereka secara rahasia menyatakan cinta mereka dengan isyarat halus seperti bahasa tubuh, perilaku, atau dengan cara lain semisal tulisan, yang diartikan secara subjektif atau seenaknya oleh si penderita.
Sering kali, orang yang menjadi subjek dalam delusi hanya memiliki sedikit sekali hubungan, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan si penderita. Walau demikian, si penderita tetap percaya bahwa si subjek yang memulai semua hubungan khayal itu. Delusi erotomania sering ditemukan dalam gejala awal gangguan delusional atau dalam konteks skizofrenia.
Terkadang, subjek yang berada dalam delusi si penderita tidak pernah ada di dunia nyata. Namun, yang lebih sering terjadi, subjek adalah figur publik atau orang yang terkenal di lingkungan masyarakat.
Erotomania juga disebut sebagai penyebab perilaku stalking, yaitu bentuk perilaku memperhatikan orang lain tanpa sepengetahuan orang yang diperhatikan, lalu perlahan melakukan upaya pendekatan yang bersifat mengganggu, biasanya dengan obsesi bahwa korban (subjek delusinya) adalah orang yang perlu ditolong atau semacamnya.
Selain itu, erotomania juga disebut sebagai penyebab bentuk tindakan yang mengganggu orang lain.