Sabtu, 20 Oktober 2018

Kencing di Ruang Tamu

Tiga hal yang paling merusak buku: 
1) Rayap; 2) Air; 3) Orang yang suka pinjam buku 
tapi tidak dibaca, malah bukunya hilang.


“Apakah kamu pernah kencing di ruang tamu?”

Pertanyaan itu diajukan Lukman, seorang teman, dan saya pun menjawab, “Tidak—belum pernah. Yeah, aku mungkin gila. Tapi belum segila itu.”

“Aku pernah,” sahut Lukman sambil tersenyum.

“Pernah apa?” tanya saya bingung.

“Aku pernah kencing di ruang tamu,” jawab Lukman menjelaskan. Nadanya begitu bangga, seolah pengakuan itu akan membuatnya meraih Nobel.

Saya makin bingung. “Kenapa kamu kencing di ruang tamu, Luk?”

“Kampungku kena banjir, dan rumahku terendam.” Kali ini nadanya terdengar dramatis, seolah banjir zaman Nabi Nuh tidak ada apa-apanya dibanding banjir yang melanda kampungnya.

Kawasan pesisir memang sering dilanda banjir, khususnya banjir rob, dan rumah Lukman termasuk daerah pesisir. Karenanya, banjir bisa dibilang sudah bolak-balik menyambangi tempat tinggal Lukman, merendam rumahnya dan rumah-rumah tetangga. Karena banjir rob, banjir yang datang pun bisa sewaktu-waktu, dan tidak tergantung ada hujan atau tidak. Karena memang bukan banjir air hujan.

Orang-orang di daerah pesisir Pantura saat ini terus menerus waspada, karena setiap saat—tak peduli pagi, siang, sore, malam—banjir bisa datang. Yang memprihatinkan, banjir yang datang tampaknya makin hari makin tinggi.

“Di masa lalu,” ujar Lukman, “banjir yang datang paling setinggi mata kaki. Selama waktu-waktu itu, kami (warga di tempatnya) sudah terbiasa dengan banjir rob. Kami pikir, tidak apa-apa, paling banjir semata kaki. Tetapi, makin ke sini, banjir yang datang makin tinggi. Dari mata kaki, naik hingga bawah lutut, lalu selutut. Lalu naik lagi hingga setinggi paha orang dewasa, dan kadang-kadang bisa sampai perut.”

Seperti yang disebut tadi, banjir yang datang bukan banjir dari hujan, melainkan dari rob. Jadi, tak peduli siang sedang panas sekali pun, banjir bisa datang. Karena air datang dari pantai. Ketika ombak sedang besar, air pantai akan merayap naik menuju daratan, atau keluar dari rembesan tanah di mana pun. Dibanding banjir biasa (banjir karena air hujan), banjir rob lebih sulit dihadapi, karena ia seperti “musuh dalam selimut”—datang menikammu ketika kau mengira ia tidak akan menikam.

Lukman, teman saya, hidup sendirian di rumah. Bertahun lalu, dia membeli rumah itu karena harga yang menurutnya murah, dan belum terjadi rob seperti sekarang. Selama beberapa tahun tinggal di sana, Lukman merasa baik-baik saja. Tapi kini rob kerap datang, dan dia merasa kerepotan.

“Capek, ngurus banjir terus,” ujarnya.

Lukman punya banyak buku di rumahnya, yang ia beli sedikit demi sedikit, kalau pas punya duit. Karena telaten, Lukman juga membuat rak-rak untuk buku-bukunya. Seperti umumnya rak lain, rak buku itu bersusun meninggi. Lebarnya 1,5 meter, dengan tinggi sekitar 2 meter. Di rak-rak itu, Lukman meletakkan buku-bukunya dengan penuh kasih.

Terakhir yang saya lihat, ada tiga rak di rumah Lukman, semuanya penuh buku. Sepertinya Lukman sudah perlu membuat rak baru untuk menampung buku-buku lain yang belum sempat masuk rak. Belakangan, kisah terkait rak buku itulah yang membuat Lukman sampai kencing di ruang tamu.

Lukman menceritakan, “Dulu, waktu banjir masih semata kaki, aku hanya perlu mengosongkan rak paling bawah. Tapi ketika banjir makin tinggi, aku harus pula mengosongkan rak di atasnya, dan begitu seterusnya.”

Masing-masing rak buku di rumah Lukman memiliki 7 susun atau 7 tingkat, dengan susun/tingkat terbawah hanya sekitar 10 cm dari lantai. Mula-mula, ketika banjir masih cetek, Lukman hanya menyelamatkan buku-bukunya yang ada di rak terbawah. Biasanya, ia pindahkan buku-buku dari rak terbawah ke tempat lain yang sekiranya aman dari banjir.

Lalu, seiring waktu, banjir yang datang makin tinggi. Kali ini, tiap banjir datang, Lukman harus menyelamatkan buku-bukunya di rak terbawah dan rak kedua dari bawah. Sampai cukup lama, banjir hanya sampai di tingkat itu, dan selama itu pula Lukman sukses menyelamatkan buku-bukunya dari terjangan air.

Lalu tiba hari paling sial dalam hidup Lukman.

Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba banjir datang. Banjir rob, seperti biasa. Lukman mengira itu banjir seperti biasa, yang tingginya “tidak seberapa”. Lukman juga telah menyingkirkan buku-bukunya dari rak-rak terbawah, sehingga tidak terlalu panik.

Tapi rupanya ia salah sangka. Banjir rob kali ini terus meninggi. Mula-mula, banjir hanya sampai rak buku terbawah. Lukman cuma cengar-cengir. Lalu naik ke rak kedua dari bawah. Lukman masih pede. Tetapi, oh sialan, banjir itu terus meninggi. Tiba-tiba, banjir yang tampak damai dan tenteram tanpa gejolak itu sampai di rak ketiga dari bawah, dan Lukman lintang pukang menyelamatkan buku-bukunya.

Buku-buku di rak tiga dari bawah sudah terendam banjir, dan Lukman menceritakan, “Aku menyelamatkan buku-buku itu sambil misuh-misuh tanpa henti!”

Secepat apa pun Lukman memberesi buku-bukunya, banjir tampaknya meninggi lebih cepat. Dalam sekali kayuh (maksudnya dalam sekali usaha penyelamatan buku-bukunya dari rak), Lukman bisa merengkuh 20-an buku di antara ratusan buku lain. Seiring dengan itu, banjir yang merendam rumahnya terus meninggi tanpa peduli. Akibatnya, meski Lukman sudah sekuat tenaga menyelamatkan buku-bukunya, sebagian besar tetap terkena serangan air.

Setelah mengosongkan semua rak ketiga dari bawah, dan telah menaruh buku-bukunya di tempat yang ia pikir aman, Lukman berpikir, “Bagaimana kalau ternyata banjir ini masih akan meninggi?”

Maka Lukman pun memutuskan untuk juga mengosongkan rak-rak keempat dari bawah, sebagai antisipasi. Mumpung belum kena air, pikirnya. Dalam waktu singkat, rak buku di tingkat 4 pun kosong. Sekarang Lukman bisa sedikit bernapas lega.

Seperti yang ia khawatirkan, banjir kali ini memang terus meninggi. Setelah menenggelamkan rak ketiga dari bawah, air masih terus naik hingga sampai di rak keempat. Lukman bersyukur telah mengosongkan rak-rak itu, dan, “aku bisa bikin kopi, lalu udud sambil memikirkan apa yang harus kulakukan.”

Ketika ia sedang menikmati udud, sesuatu yang tak disangka-sangka terjadi. “Aku melupakan hukum fisika,” ujar Lukman.

Rak-rak buku di rumah Lukman terbuat dari kayu dan tripleks. Ketika banjir makin meninggi, rak-rak itu harus berhadapan dengan tekanan air yang makin meningkat. Pada titik tertentu, rak-rak itu kehilangan berat karena bagian bawahnya telah dikosongkan... dan rak-rak itu ambruk bersama buku-buku di dalamnya. Ratusan buku Lukman terendam air dalam seketika.

“Aku misuh-misuh sepanjang malam,” ujar Lukman menceritakan.

Ketika mendapati buku-buku kesayangannya terendam banjir, Lukman merasa tidak berdaya. “Bagaimana pun, aku makhluk fana,” kata Lukman. “Aku sudah berusaha sekuat tenaga menyelamatkan buku-buku dari rak terbawah, memindahkannya ke tempat kering agar tak kena banjir. Tapi sekarang justru buku-buku lain, yang jumlahnya jauh lebih banyak, terendam banjir. Dan aku tidak bisa apa-apa.”

Waktu itu, Lukman bukan hanya marah mendapati buku-bukunya terendam banjir akibat rak-rak yang ambruk, tapi juga merasa tak berdaya. Dia membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan buku-buku itu, menyisihkan uang sedikit demi sedikit, menjaga dan merawat buku-buku sekuat tenaga dan penuh kasih. Tetapi, sekarang, banjir menghancurkan semuanya dalam sekejap.

Dengan hati hancur, Lukman memandangi buku-bukunya di antara air yang menggenang. Dia berusaha menyelamatkan buku-buku yang basah kuyup dengan perasaan ingin menangis, ingin murka pada banjir, ingin berteriak sekeras-kerasnya, ingin misuh dan mengabsen semua binatang yang ia ingat. Tapi ia juga kebelet kencing.

“Jadi, aku punya ide cemerlang,” kata Lukman. “Aku lalu kencing di ruang tamu.”

Biasanya, meski banjir, Lukman tetap mematuhi adab atau norma, yang salah satunya buang air kecil di tempatnya. Tetapi, waktu itu, banjir yang tinggi telah merendam semua bagian rumah, termasuk kamar kecil. Sementara Lukman sudah sangat kebelet, jadi tidak sempat memikirkan tempat lain yang “strategis” untuk buang air kecil. Jadi, seperti yang diceritakan, Lukman akhirnya kencing di ruang tamu.

Ketika kencing di ruang tamu, Lukman menceritakan, dia tiba-tiba tertawa dengan ulah yang sedang dilakukannya, dan Lukman menertawakan dirinya sendiri, menertawakan nasibnya, menertawakan buku-bukunya yang terendam air, menertawakan banjir, menertawakan kehidupan dan seisinya.

“Aku merasa telah mendapat pencerahan batin, bahwa semua itu—banjir, buku-buku milikku yang terendam, dan segala macam persoalan—benar-benar fana. Kencing di ruang tamu membawaku pada kesadaran yang luar biasa.” Lukman mengatakan itu dengan nada seorang filsuf yang baru menemukan inti kehidupan, hingga Black Hole di angkasa tampak seremeh lubang semut di depan rumahnya, dan dentuman Big Bang hanyalah mercon mainan anak-anak.

“Sekali-sekali kamu perlu kencing di ruang tamu,” ujar Lukman serius, seolah sedang menasihati saya tentang jalan hidup yang benar.

Lalu Lukman menjelaskan, “Selama ini, aku selalu mengkhawatirkan buku-buku milikku, mengkhawatirkan banjir yang datang sewaktu-waktu, mengkhawatirkan rumah yang kutinggali, mengkhawatirkan banyak hal. Ketika melihat rak-rak bukuku ambruk dan menenggelamkan buku-buku di dalamnya, aku merasa hancur. Itu seperti menyaksikan sesuatu yang kamu cintai direnggut dari kehidupan. Aku sempat berpikir mungkin aku akan gila setelah itu.

“Tetapi, saat kemudian kencing di ruang tamu, entah kenapa aku bisa melihat semua itu dengan pikiran berbeda. Bahwa aku bisa menertawakan semuanya, bahwa aku masih hidup, bahwa aku bisa mengumpulkan uang lagi untuk membeli banyak buku lagi, bahwa aku masih bisa bertahan menghadapi banjir yang sewaktu-waktu datang, bahwa aku masih waras dan bisa berpikir dengan baik, bahwa aku masih punya kesempatan untuk memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya, bahwa aku masih hidup dan sehat sehingga bisa terus belajar dan bekerja.

“Karena itulah, seperti yang kubilang tadi, aku merasa menemukan kesadaran, atau bahkan pencerahan, saat kencing di ruang tamu. Karena air kencingku di tempat itu pun akhirnya akan hilang bersama banjir yang surut, tanpa bekas, tanpa meninggalkan apa pun. Kupikir, itulah kesadaran terbaik, bahwa kita tak perlu terlalu terikat pada hal-hal yang kita miliki. Seperti buku-buku milikku yang kini hilang karena hancur oleh air, dan aku bisa menertawakannya.”

Saya manggut-manggut, dan merasa mendapat pelajaran berharga. Tetapi, sejujurnya, saya belum mampu ke tingkat kesadaran Lukman. Karena, bagaimana pun, saya masih malu untuk kencing di ruang tamu.

 
;