Jumat, 05 Oktober 2018

Kenikmatan yang Menggigit

“Nemu lapis legit enak di supermarket.”
Cut Tari


Di antara banyak makanan nikmat di sekitar kita, lapis legit termasuk di antaranya. Lapis legit juga ada dalam daftar makanan favorit saya. Karena itu, setiap kali belanja ke swalayan, saya biasanya menuju rak kue, dan membeli beberapa lapis legit untuk persediaan sarapan di rumah. Sarapan lapis legit, bersama teh hangat dan sebatang rokok, menjadikan hari saya begitu indah.

Saat sarapan, saya biasanya mengiris beberapa lapis, lalu mengunyahnya dengan nikmat. Sambil menikmati kelembutan lapis legit di mulut, saya sering memandangi irisan kue yang nikmat itu. Lapis legit adalah makanan yang tidak hanya nikmat, tapi juga memiliki wujud elegan. Bahkan melihat bentuknya saja, pikiran waras manusia kemungkinan sudah tahu—atau setidaknya bisa membayangkan—lapis legit memang nikmat.

Di sekitar kita banyak makanan enak atau nikmat, namun belum tentu memiliki wujud elegan seperti lapis legit. Durian, misalnya. Saya juga penggemar durian. Dan saya sepakat durian adalah makanan—dalam hal ini buah—yang sangat nikmat. Tapi wujud durian tidak bisa dibilang elegan. Kulitnya keras, berduri tajam, dan untuk membukanya diperlukan keahlian atau setidaknya kekuatan.

Hal itu jelas berbeda dengan lapis legit. Secara bentuk, lapis legit memiliki wujud elegan. Kebanyakan lapis legit berbentuk kotak atau persegi, dengan permukaan halus dan lembut. Saat ingin menikmati, kita hanya perlu mengiris sesuai kebutuhan. Lalu mengunyah dengan indah. Bahkan menyentuhnya saja, rasanya sudah indah.

Oh, saya suka menyentuh permukaan lapis legit yang halus dan lembut itu, sebelum menikmatinya. Kelembutannya bikin gemezzz.

Seperti yang disebut tadi, saya sering memandangi irisan lapis legit. Bagaimana pun, bentuk lapis legit unik—berlapis-lapis, yang setiap lapisnya ditandai garis lebih gelap. Dulu, waktu pertama kali menyadari hal itu, saya berpikir, “Apakah cara membuat lapis legit memang selapis demi selapis seperti yang terlihat pada wujudnya?”

Didorong penasaran, saya pun mencari tahu, dan menemukan tutorial membuat lapis legit di YouTube. Ternyata, cara membuat lapis legit memang seperti itu. Selapis demi selapis.

Lebih lengkap, saya juga akhirnya tahu apa saja bahan pembuat lapis legit, serta detail pembuatannya.

Lapis legit, seperti bayangan saya semula, dibuat dari tepung terigu, mentega, gula halus, susu bubuk dan susu kental, kuning telur, dan vanili. Saya membayangkan Nabilah juga dibuat dari bahan-bahan serupa itu. Karena saya tidak percaya kalau Nabilah diciptakan dari tanah liat. Dia pasti dibuat dari campuran tepung terigu, gula halus, dan mentega! Pasti!

Oke, saya melantur.

Dalam proses pembuatan, bahan-bahan tadi—maksudnya bahan-bahan pembuat lapis legit—diolah dan dipisah pada wadah sendiri-sendiri, diolah lagi dan dicampur setahap demi setahap, untuk kemudian dimasukkan ke loyang pembuat lapis legit.

Dalam proses pembuatan di loyang, adonan dimasukkan ke loyang sedikit demi sedikit, selapis demi selapis. Untuk setiap lapisan yang ditambahkan, loyang akan dimasukkan ke oven, lalu ditunggu beberapa saat agar adonan matang. Setelah itu, loyang dikeluarkan dari oven, ratakan permukaannya, tambahkan selapis adonan lagi, masukkan ke oven lagi, dan begitu seterusnya. Sampai akhirnya menjadi lapis legit utuh sebagaimana yang kita kenal.

Jadi, lapis-lapis lembut yang kita lihat pada irisan lapis legit memang menunjukkan proses pembuatannya. Maksud saya, kue yang nikmat itu memang dibuat selapis demi selapis. Padahal, dalam setiap lapis legit terdapat banyak lapisan. Oh, well, bahkan proses pembuatannya pun serumit itu. Pantas nikmatnya luar biasa. Ketika sampai pada pemahaman itu, saya pun berpikir lapis legit adalah karunia alam semesta. Dan penemu lapis legit, siapa pun dia, layak mendapat Nobel.

Kembali ke cerita tadi. Saya sering beli lapis legit setiap ke swalayan, untuk persediaan sarapan. Di swalayan langganan, ada rak khusus berisi aneka macam lapis legit, dalam berbagai kemasan, dengan berbagai rasa. Ada lapis legit konvensional, seperti yang biasa kita kenal. Ada pula lapis legit yang dihiasi butir-butir kismis. Bahkan ada pula lapis legit yang berwarna-warni. Semuanya, tentu saja, nikmat.

Di rak itu, tampaknya ada banyak produsen lapis legit yang saling bersaing untuk mendapat perhatian calon pembeli. Karenanya, pada masing-masing bungkus atau kemasan terdapat aneka tulisan (slogan) yang mungkin ditujukan untuk mengilustrasikan lapis legit yang mereka produksi, sekaligus memikat hati calon pembeli.

Di salah satu kemasan lapis legit, misal, saya mendapati kalimat, “Nikmatnya benar-benar menggigit.”

Oh, well, nikmatnya benar-benar menggigit. Selama beberapa saat, saya memandangi tulisan itu, dan terkesima. “Nikmatnya benar-benar menggigit.”

Selama beberapa saat pula, saya berpikir. Sebenarnya, siapakah yang “menggigit”, terkait hubungan saya dengan lapis legit? Terkait lapis legit, saya pikir sayalah yang menggigit. Karena saya menggigit dan mengunyah lapis legit, bukan sebaliknya. Tapi kenapa lapis legit itu disebut “nikmatnya benar-benar menggigit”? Mungkin akan lebih tepat kalau, misalnya, “Nikmat di setiap gigitan”.

Tapi bodo amat, pikir saya kemudian. Saya pun memasukkan lapis legit itu—yang nikmatnya benar-benar menggigit—ke keranjang belanja. Mau menggigit atau digigit, yang penting nikmat!

Saya kembali memusatkan perhatian ke tumpukan lapis legit di rak swalayan, mencari-cari lapis legit lain yang tampak menggoda, sambil tertarik membaca slogan-slogan yang tertulis di kemasannya. Ada lapis legit yang memiliki slogan, “Nikmat di setiap lapisnya”. Saya berdebar-debar.

Slogan lain di lapis legit lain, “Nikmatnya tak habis-habis.” Saya makin berdebar. Tampaknya semua lapis legit menggunakan istilah “nikmat” sebagai slogan.

Pada sebuah kemasan lain, saya mendapati slogan yang tiba-tiba membuat saya ingin mimisan. Lapis legit itu tampak seperti umumnya lapis legit—berbentuk persegi panjang, dan dikemas plastik tebal tembus pandang. Tapi slogan yang tertulis pada kemasan lapis legit membuat saya terkesima. Bunyinya, “Nikmatnya sampai bikin ngilu”.

(((((Nikmatnya sampai bikin ngilu?)))))

Itu lapis legit atau apa, pikir saya dengan bingung campur penasaran. Tapi slogan yang aneh dan mungkin tidak ilmiah itu berhasil membuat saya tertarik. Didorong penasaran, saya pun memasukkan lapis legit itu ke keranjang belanja. Bodo amat kalau besok ngilu dan pegal-pegal karena makan lapis legit. Yang penting nikmat!

Kenikmatan, tampaknya, tujuan besar manusia fana. Mungkin karena menyadari kefanaan pula, manusia butuh mengecap hal-hal nikmat, sebelum batas kefanaan selesai. Termasuk menikmati kenikmatan lapis legit. Seperti saya. Seperti orang-orang lain yang juga sama menggemari lapis legit. Bahkan sudah diberitahu “bikin ngilu” sekali pun, saya tidak peduli. Yang penting nikmat. Karena saya tahu lapis legit memang nikmat.

Terkait kenikmatan, Jean Webster menyatakan, “Yang terpenting (dalam kehidupan) bukanlah kenikmatan-kenikmatan berskala besar, melainkan bagaimana kita mampu mengeksplorasi (kenikmatan) yang kecil-kecil secara maksimal.”

Esensi kenikmatan, tampaknya, memang bukan pada kenikmatan itu sendiri, melainkan pada bagaimana kita mengeksplorasi dan memahami. Karena kenikmatan, sebenarnya, relatif. Tapi cara kita memahami kenikmatan, itu mutlak.

Seperti lapis legit. Kenikmatan lapis legit sebenarnya relatif. Pertama, tidak semua orang menyukai lapis legit. Kedua, orang yang sama-sama menyukai lapis legit pun bisa memiliki definisi dan skala ukuran berbeda terkait kenikmatan lapis legit. Meski saya menganggap lapis legit nikmat luar biasa, orang lain bisa menganggapnya biasa saja. Artinya, kenikmatan itu relatif.

Tetapi, cara kita memahami kenikmatan, itu mutlak. Dalam arti, hanya diri kitalah yang mampu memahami kenikmatan yang kita eksplorasi, yang kita rasakan, yang kita hayati. Itu jenis kenikmatan yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam contoh lapis legit, saya akan tetap menganggap lapis legit sangat nikmat, meski umpama semua teman saya mengatakan sebaliknya. Perspektif kita dalam memahami kenikmatan adalah mutlak, dan tidak bisa diganggu gugat.

Rabi’ah Adawiyah adalah wanita yang membaktikan hidup untuk Tuhan, karena ia pikir dengan cara itulah bisa mengecap dan merasakan kenikmatan. Jadi, meski ada banyak pria tampan, terkenal, dan terhormat, berdatangan ingin meminang Rabi’ah, dia menolak.

Dalam pemahaman dan keyakinan Rabi’ah Adawiyah, kenikmatan tidak didapat dari berpasangan dengan lawan jenis, melainkan saat ia sendirian bersama Tuhan. Itu jenis kenikmatan yang tidak bisa diganggu gugat, karena dia yang memahami, dia yang memilih, dia yang menjalani.

Kahlil Gibran adalah pria yang membaktikan hidup untuk berpikir dan berkontemplasi, karena dengan cara itulah dia mengecap dan merasakan kenikmatan. Jadi, meski ada banyak wanita menarik berusaha meraih hatinya, Kahlil Gibran tidak terpengaruh. Meski sempat dekat dengan beberapa wanita, dia tetap kukuh tidak menikah.

Dalam pemahaman dan keyakinan Gibran, kenikmatan tidak didapat dari menikah dan berkeluarga, melainkan saat khusyuk sendirian, berpikir, dan merenung. Itu jenis kenikmatan yang tidak bisa diganggu gugat, karena dia yang memahami, dia yang memilih, dia yang menjalani.

Karena kenikmatan, selamanya, relatif. Tapi cara kita memahami kenikmatan, itu mutlak.

 
;