Rabu, 10 Oktober 2018

Kemanusiaan Retak

Sering kali aku ngeri, melihat dunia, 
dan manusia, akhir-akhir ini.


Dua perempuan remaja berjalan di pinggir jalan raya, salah satu dari mereka memegangi ponsel untuk merekam. Dua remaja itu berjalan sambil berceloteh dan bergaya, dan mungkin berencana mengunggah rekamannya kelak ke YouTube atau media sosial lain. Tetapi, tiba-tiba, muncul pengendara motor dari belakang—dua orang berboncengan—dan salah satu dari mereka merebut ponsel yang sedang dipegangi perempuan tadi.

Si perempuan kaget. Ponselnya sudah berpindah tangan, dan si penjambret bermotor sudah ngebut meninggalkan. Tak peduli sekeras apa pun si perempuan menjerit, percuma, karena yang menjambret ponselnya sudah jauh. Dan tak peduli.

Adegan itu saya temukan dalam video yang muncul di Twitter. Selain video tersebut, ada banyak video lain berisi serupa, baik di Twitter atau media sosial lainnya.

Di YouTube, video semacam itu bahkan banyak sekali, baik dari dalam maupun luar negeri. Rata-rata isinya sama. Seseorang atau dua orang sedang berjalan, lalu muncul pengendara motor berboncengan, dan tiba-tiba menjambret barang orang yang sedang berjalan. Barang yang dijambret bisa ponsel yang sedang dipegang, bisa pula tas yang disampirkan ke pundak.

Yang agak mengerikan, korban penjambretan kadang tidak hanya kehilangan barangnya, tapi juga sampai luka-luka. Dalam sebuah video, saya pernah menyaksikan seorang perempuan sedang berjalan sendirian, lalu muncul pengendara motor berboncengan. Si pengendara motor mencoba menjambret tas si perempuan, tapi rupanya si perempuan sadar. Dia pun berusaha mempertahankan tasnya, hingga tarik-tarikan dengan si penjambret.

Karena si perempuan tetap memegangi tasnya, dia akhirnya terseret oleh tarikan penjambret, seiring laju motor. Perempuan malang itu terseret di aspal, dan si penjambret tidak peduli. Motornya terus melaju. Si perempuan akhirnya melepaskan tasnya, dan si penjambret pergi berlalu. Si perempuan tidak hanya kehilangan tas, tapi juga luka-luka, karena terseret di jalanan.

Itu hanya satu kisah. Di luar kisah itu, masih banyak kisah serupa yang terekam secara live lewat kamera-kamera CCTV, yang lalu rekamannya diunggah di YouTube. Yang mengerikan dari video-video itu, adegan di dalamnya nyata, bukan sekadar trik kamera sebagaimana dalam film action. Karenanya, penjambretan itu nyata, penjambret bangsat semacam itu benar-benar ada, dan si korban benar-benar terseret di aspal dan luka-luka.

Tetapi, bahkan, meski menyadari hal itu pun, saya masih berpikir, “Ah, itu cuma di luar negeri.” Atau, “Ah, itu pasti di luar kota. Di tempatku tidak akan ada kejahatan semacam itu.”

Sampai lama, saya masih berpikir bahwa semua kejahatan di jalanan itu hanya ada di luar negeri, atau di luar kota yang jauh di sana, pendeknya tidak ada di tempat saya tinggal. Seperti umumnya manusia lain, saya punya “kepercayaan semu” bahwa yang buruk-buruk hanya ada di tempat jauh, dan tidak akan terjadi di dekat saya. Sampai suatu hari, kesadaran saya dikejutkan oleh peristiwa nyata, bahwa hal buruk itu benar-benar bisa terjadi di dekat kita.

Suatu siang, saya keluar rumah dengan rencana mengisi bensin motor, lalu menikmati mi ayam di tempat langganan. Saya pun pergi ke pom bensin, yang lokasinya cukup jauh. Saya sedang melaju perlahan, ketika peristiwa itu dimulai.

Waktu itu, saya berada di jalan lurus menuju pom bensin. Sekitar 300 meter dari pom bensin, ada dua cewek remaja sedang melangkah di pinggir jalan. Mereka ada di depan saya. Lalu, tiba-tiba, muncul orang berboncengan motor mendekati mereka, dan menarik tas salah satu cewek tadi. Adegannya mirip seperti yang saya tonton di video. Si cewek berusaha mempertahankan tas miliknya, dan si penjambret terus menarik. Ketika akhirnya si cewek jatuh, tasnya terlepas, dan penjambretnya langsung tancap gas.

Spontan, dua remaja tadi menjerit-jerit. Beberapa orang di sana segera berhenti, dan menolong korban.

Saya terpana menyaksikan itu. Dan kesadaran saya langsung pulih, saat seseorang di samping saya melaju—dia mengendarai Kawasaki Ninja—berteriak, “Jambret!”

Si Ninja lalu mengejar penjambret tadi. Melihat itu, bersama amarah yang tiba-tiba membara, saya terpikir untuk ikut mengejar. Maka saya pun menaikkan kecepatan, dan melaju secepat yang saya bisa.

Peristiwa itu terjadi di jalan yang mempertemukan Pekalongan dan Batang, yang dulu pernah saya ceritakan di sini. Jalanan di sana bukan jalan raya utama, hingga lalu lintas tidak terlalu padat. Jalanan di sana juga mulus, dengan aspal beton yang baru dibangun. Jadi, ngebut di sana bisa dibilang tidak terlalu berbahaya, asal punya nyali.

Penjambret tadi berboncengan. Saya tidak tahu—tidak sempat memperhatikan—motor apa yang mereka kendarai. Tapi Si Ninja, yang mengejar mereka, hanya sendirian, sebagaimana saya juga sendirian. Berdasarkan logika, jika kami melaju dengan kecepatan sama, kami akan bisa menangkap mereka. Bobot kendaraan kami jelas lebih ringan daripada bobot kendaraan mereka.

Semula, Si Ninja ada di depan saya, karena dia melaju lebih dulu. Namun kemudian saya berhasil menyusulnya. Saya sempat menengok ke arahnya, dan dia berteriak, “Di depan!” Maksudnya, tentu saja, “Penjambret keparat itu ada di depan!”

Saya terus melaju, dan sesaat kemudian dua penjambret itu mulai tampak di depan. Saya masih ingat ciri-ciri mereka. Motor mereka melaju sangat cepat, tapi bagaimana pun mereka berboncengan, dan mudah bagi saya untuk menjajari kecepatannya.

Makin dekat, saya makin yakin itu mereka. Saya makin bersemangat, dan laju motor saya makin mendekati laju motor mereka. Beberapa saat, saya sempat menunggu tempat yang tepat, yang relatif sepi, agar “efek kerusakan” yang mungkin terjadi tidak terlalu berbahaya.

Akhirnya, motor kami benar-benar berdekatan. Dalam beberapa detik yang kritis, saya mendekatkan motor ke arah samping mereka, dan menendang belakang motor mereka dengan keras. Dampaknya benar-benar tepat seperti yang saya bayangkan. Motor saya oleng sesaat akibat gerakan itu, sementara motor si penjambret jatuh tanpa bisa dikendalikan. Dua bajingan itu terkapar bersama motor mereka.

Orang-orang di lokasi itu mulai memperhatikan, tapi mungkin masih bingung apa yang terjadi.

Saya menghentikan motor, lalu turun, dan melepas helm. Rencananya, helm itu akan saya hantamkan ke muka penjambret mana pun yang mencoba bangun.

Salah satu penjambret berusaha bangun. Tetapi, sebelum sempat saya melakukan yang ingin saya lakukan, Si Ninja tiba-tiba muncul, dan—ini di luar bayangan saya—dia melaju seperti orang gila, dan menghantamkan motornya ke penjambret yang baru saja berdiri. Akibatnya sangat jelas, penjambret tadi kembali terkapar, kali ini lebih mengenaskan.

Si Ninja menghentikan motornya. Dia turun, dan melangkah dengan amarah yang sangat tampak di wajah.

Sebenarnya, saya sempat berencana pura-pura tak tahu. Kalau Si Ninja mau membantai dua keparat itu, persetan, itu urusannya. Saya mau ke pom untuk ngisi bensin! Oh, hell, ada banyak penjambret kejam di luar sana, yang menjambret orang lain seenaknya, bahkan tak peduli korban mereka tewas atau luka-luka. Kalau sekarang ada dua penjambret yang akan sekarat, persetan dengan mereka!

Tapi orang-orang di sana segera menghalangi Si Ninja. Siapa pun yang ada di sana waktu itu pasti menyadari bahwa Si Ninja siap menumpahkan amarah yang sangat mengerikan. Karenanya, orang-orang berusaha memeganginya.

Menyadari keinginannya tak mungkin dilakukan, Si Ninja makin emosi. Dia terus berusaha mendekati para penjambret dengan marah, dan orang-orang di sana berusaha mengamankan dua penjambret tadi.

Kerumunan orang di sana pun segera tahu, bahwa peristiwa itu terkait penjambretan. Sebagian mereka lalu membawa dua penjambret ke tepian, bersama motor mereka, sementara Si Ninja masih berusaha meraih dua penjambret tadi. Meski dipegangi beberapa orang, Si Ninja masih berusaha merangsek ke para penjambret yang telah diamankan.

Dalam adegan itu, Si Ninja yang emosi sempat mengatakan bahwa adiknya pernah menjadi korban penjambretan. Adiknya, perempuan, sedang naik motor sendirian, ketika tasnya dijambret. Adiknya jatuh dan luka parah, bahkan sampai koma hingga dirawat di rumah sakit cukup lama. Rupanya itu yang menjadikannya dendam.

....
....

Peristiwa itu menyadarkan saya bahwa ada yang retak dalam kemanusiaan kita. Penjambret merasa bebas merebut milik orang lain, dan tak peduli jika korbannya sampai tewas atau luka-luka. Di sisi lain, ada orang yang juga tak peduli jika ada penjambret yang sampai tewas dan luka-luka.

Manusia telah menjadi serigala bagi manusia lain, yang merasa kuat menindas yang lemah seenaknya. Kalau orang bisa seenaknya merebut milik orang lain, seperti kasus penjambretan yang kini marak, artinya ada yang salah dalam kehidupan kita, dalam kemanusiaan kita.

“Jika mata dibalas mata,” kata Gandhi, “semua orang akan buta.”

Sayangnya, tidak semua orang semulia Gandhi. Beberapa orang menyimpan dendam kesumat atas perlakuan buruk dan kejahatan yang pernah menimpanya, dan bertekad untuk membalas, bagaimana pun caranya. Seperti Si Ninja. Dia tentu tahu, dua penjambret tadi belum tentu orang sama yang menjambret adiknya. Tapi dia tidak peduli. Yang dia tahu, adiknya dijambret hingga luka-luka dan koma, dan dia menyimpan dendam untuk semua penjambret di dunia.

Saat kemanusiaan yang retak menjalani kehidupan yang sama retak, korban terakhir adalah nurani yang ikut retak.

 
;