Seseorang berkata, "Nasib adalah kesunyian masing-masing."
Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.
—@noffret
Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.
—@noffret
Takdir mungkin diciptakan, tapi ia mewujud setelah dibentuk. Dan yang membentuk, biasanya, lingkungan. Seperti apa lingkunganmu, biasanya seperti itulah dirimu. Yang disebut lingkungan adalah keluarga, tetangga, tempat tinggal, teman-teman, sekolah yang memberi pendidikan, sampai buku-buku dan bacaan dan tontonan, dan apa saja yang masuk ke dalam kehidupan seseorang.
Berdasarkan hal-hal itu, saya bahkan bisa tahu akan seperti apa seseorang sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, dengan melihat kehidupannya yang sekarang. Karena takdir mungkin memang diciptakan, tapi kitalah yang mewujudkan. Karenanya, kita bisa tahu akan seperti apa “takdir” seseorang sekian tahun ke depan, dengan melihat takdirnya yang sekarang.
Tiga puluh tahun yang lalu, ada seorang wanita yang melahirkan bayi kembar. Dua-duanya perempuan. Si wanita tentu bersyukur dengan kelahiran bayi kembarnya. Namun, dia juga kebingungan, karena kondisi ekonomi yang susah. Dengan kemiskinan yang menghimpitnya, ia tahu akan kesulitan mengurus dua anak yang lahir dan tumbuh berbarengan.
Untung, ada pasangan suami istri yang tertarik mengadopsi salah satu bayi perempuan tersebut, karena kebetulan mereka tidak punya anak. Si wanita menyerahkan salah satu bayinya, dan dia percaya anaknya akan dirawat dengan baik. Suami istri yang mengadopsi itu bukan hanya orang baik, tapi juga kaya. Si wanita percaya, anak yang ia serahkan akan diasuh secara layak oleh mereka.
Sekarang, untuk memudahkan cerita, kita sebut dua bayi kembar itu bernama Lea dan Ana.
Lea adalah bayi yang diadopsi oleh keluarga kaya. Sementara Ana dibesarkan orang tua kandungnya yang miskin. Mereka hidup terpisah ratusan kilometer. Dan takdir sepasang bayi kembar dimulai... segugus takdir yang berawal dari tempat sama, namun berubah dengan sangat mencengangkan.
Sebagai anak keluarga miskin, Ana menjalani kehidupan seperti umumnya anak miskin. Dia sekolah dari SD sampai SMA dengan identitas sekaligus kesadaran akan kemiskinan dan kekurangan. Dia tumbuh menjadi perempuan biasa, dengan penampilan sederhana, dengan isi pikiran yang sama sederhana, dan meyakini bahwa seperti itulah kehidupan. Bahwa segala hal dalam hidup sulit diraih.
Sementara Lea, yang tumbuh besar di tengah keluarga kaya, menjalani kehidupan jauh berbeda. Dia bersekolah dari SD sampai SMA dengan identitas sekaligus kesadaran akan kekayaan dan keberlimpahan. Dia tumbuh menjadi perempuan cantik, dengan penampilan elegan, dengan isi pikiran yang mekar, dan meyakini bahwa seperti itulah kehidupan. Bahwa segala hal dalam hidup bisa ia raih.
Di waktu-waktu tertentu—biasanya pas lebaran—orang tua angkat Lea mengunjungi orang tua Ana, dan dua anak kembar itu pun bertemu. Namun, Lea dan Ana tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya anak kembar, karena orang tua masing-masing telah saling berjanji untuk tidak mengungkapkan kenyataan itu. Jadi, Lea sama sekali tidak tahu bahwa dia anak angkat dalam keluarganya, dan Ana juga tidak tahu bahwa Lea sebenarnya saudara kembarnya.
Ketika mereka sama-sama SMA, bisa dibilang keduanya berbeda—meski sebenarnya mereka kembar identik. Semua orang sepakat, Lea jauh lebih indah (atau lebih mewah) dibanding Ana yang tampak sederhana. Meski begitu, ada satu ciri khas yang membuktikan bahwa mereka memang saudara, khususnya saudara kembar. Yaitu cara berjalan. Lea dan Ana memiliki gaya berjalan yang benar-benar mirip.
Orang-orang—khususnya para tetangga dan famili mereka—tahu kalau dua perempuan itu sebenarnya bersaudara, tapi mereka juga ikut menjaga rahasia tersebut. Orang-orang itu juga menyadari bahwa Lea dan Ana memiliki ciri-ciri tertentu yang membuktikan bahwa mereka memang saudara kembar, salah satunya cara mereka berjalan. Ajaibnya, Lea dan Ana sepertinya tidak menyadari hal itu.
Ketika Lea dan Ana duduk di bangku SMA, saya juga SMA. Dan saya juga tahu latar belakang mereka, sebagaimana saya menyadari bahwa keduanya memang memiliki ciri-ciri kembar. Cara mereka berjalan benar-benar identik. Tapi saya juga menyadari, mereka memiliki gaya bicara (bercakap) yang sangat mirip. Saat bercakap-cakap, dan menekankan sesuatu pada ucapannya, cara mereka benar-benar mirip. Semuanya mirip... kecuali penampilan mereka!
Lalu tahun-tahun berlalu.
Lulus SMA, Ana menikah. Karena, apa lagi yang bisa ia lakukan selain menikah? Dia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dan orang tuanya—sebagaimana umumnya orang tua sederhana yang tradisional—menginginkan anak perempuannya cepat menikah. Jadi, saat ada lelaki yang melamar, tidak ada jawaban lain selain menerima.
Setahun setelah menikah, Ana dan suaminya memiliki anak. Lalu anak kedua lahir dua tahun kemudian. Seperti orang tuanya, Ana membangun rumah tangga sendiri— dengan keluarga sederhana, kehidupan pas-pasan, dan sepertinya anak-anaknya kelak juga akan mengulang kehidupan serupa. Karena di mana kau dilahirkan, di situlah takdirmu berkembang.
Sementara Lea menjalani kehidupan berbeda. Lulus SMA, dia kuliah di universitas. Lulus S1, dia melanjutkan S2. Setelah itu, melalui kolega ayah (angkatnya), Lea mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan, dan di sanalah dia kemudian bertemu dengan pria yang lalu menjadi suaminya.
Saat Lea akan menikah itulah, rahasia asal usulnya terbongkar.
Dalam Islam, pernikahan dianggap sah jika ada wali si perempuan. Karena ayah kandung Lea masih hidup, maka ayah kandungnya yang menjadi wali. Dalam hal itu, mau tak mau, orang tua angkat Lea akhirnya membukakan asal usul Lea, demi kelancaran pernikahan. Lea pun akhirnya tahu bahwa dia anak angkat dalam keluarganya.
Singkat cerita, terbukanya asal usul tersebut tidak menimbulkan masalah apa pun. Lea menerima kenyataan itu dengan baik, begitu pula (calon) suaminya. Lalu mereka pun menikah, hingga memiliki anak. Saat saya menulis catatan ini, Lea maupun Ana telah memiliki keluarga sendiri-sendiri, dan—tentu saja—keluarga Lea jauh berbeda dengan keluarga Ana.
Kini, ketika membayangkan dan memikirkan kembali kisah mereka, saya seperti melihat bagaimana cara takdir bekerja. Betapa dua manusia yang dilahirkan bersama sebagai saudara kembar—yang mestinya akan menghadapi takdir sama—bisa jauh berbeda ketika keduanya dipisahkan, dan menjalani kehidupan berbeda.
Lea tumbuh sebagai perempuan yang mekar dengan indah, dengan pikiran yang sama mekar dan indah, karena ia tumbuh di tempat yang memungkinkannya mekar dan indah. Sebaliknya, Ana tumbuh sebagai perempuan sederhana, dengan pikiran sederhana, lalu menjalani hidup dengan pola pikir sederhana, karena ia tumbuh di tempat yang membentuknya seperti itu.
Andai posisi mereka ditukar... andai Ana yang diadopsi oleh keluarga kaya, sementara Lea masih bersama orang tua kandungnya yang miskin. Apa yang akan terjadi? Kita bisa membayangkan jawabannya nyaris akurat: Ana akan menempati takdir Lea, dan Lea akan menempati takdir Ana!
Jadi, omong-omong, di manakah takdir sebenarnya? Apakah takdir memang melekat pada orang per orang? Mungkin, ya. Tapi takdir itu ternyata bisa berubah ketika orang per orang dipindah ke tempat berbeda, bahkan jika mereka saudara kembar! Ketika menyadari kenyataan ini, saya sangat... sangat tercengang.
Kenyataan inilah yang belakangan memberitahu saya, mengapa ada orang kaya dan orang miskin. Persoalannya bukan karena takdir semata, melainkan lebih pada mental dan pola pikir orang per orang. Takdir bisa diubah—kita telah melihat buktinya dengan melihat Lea dan Ana. Tapi sesuatu yang dihasilkan oleh takdir itulah yang sulit diubah. Yaitu mental dan pola pikir!
Anak-anak orang kaya menjalani hidup dengan mental kaya, dengan pola pikir keberlimpahan. Sementara anak-anak orang miskin menjalani hidup dengan mental miskin, dengan pola pikir serba kekurangan. Mental dan pola pikir itulah yang lalu mengikat mereka dengan sangat erat, dan mewujudkan hasil secara tepat. Yang bermental kaya menjemput takdir kekayaan, yang bermental miskin juga menjemput takdir kemiskinan. Takdir adalah cermin tak terlihat!
Dan saya bisa membayangkan... kelak, berpuluh tahun mendatang, anak-anak Ana akan menjalani kehidupan seperti orang tuanya, persis seperti anak-anak Lea juga akan menjalani kehidupan seperti orang tuanya. Karena di mana kau tumbuh besar, di situ takdirmu berkembang.
Jika anak-anak Ana bertanya kepada saya, bagaimana cara keluar dari lingkaran setan kemiskinan yang membelit mereka, inilah jawabannya, “Lepaskan mental miskinmu, dan perbarui pola pikirmu.”
Setelah memikirkan, merenungkan, dan menjalaninya bertahun-tahun, saya tahu... hanya itu satu-satunya cara mengubah takdir. Tetapi, berdasarkan pengalaman, saya pun tahu... mengubah takdir adalah pekerjaan sulit yang nyaris mustahil.