Memasuki waktu Indonesia bagian mencari mi ayam.
—@noffret
—@noffret
Hanya karena cakar ayam, orang yang semula sukses bisa kehilangan kesuksesan, yang semula sibuk bekerja bisa kehilangan pekerjaan, yang semula menyangka hidup akan baik-baik saja bisa berubah drastis tanpa disangka-sangka. Cakar ayam mampu mengubah nasib manusia, dan karena kenyataan itu pula saya takjub memikirkannya.
Bertahun lalu, saya sering makan mi ayam di sebuah warung pinggir jalan. Warung mi ayam itu buka sore hari, dan biasanya tutup pukul 21:00 atau lebih larut, sampai habisnya mi ayam yang mereka jual. Warung mi ayam itu selalu ramai pembeli. Kapan pun saya ke sana, selalu harus antre.
Mi ayam di warung itu memang enak, meski enaknya tergolong standar. Dalam arti, kita bisa mendapatkan mi ayam dengan kualitas sama di tempat lain. Namun, karena di sekitar tempat itu tidak ada penjual lain, warung mi ayam itu pun laris karena menjadi penjual mi ayam satu-satunya.
Biasanya, malam hari, saat malas makan, saya pergi ke warung mi ayam tersebut, dan menghabiskan semangkuk mi ayam plus teh hangat. Karena sering ke sana, saya pun terbiasa dengan banyak hal di sana. Penjual mi ayam itu sepasang suami istri yang masih muda. Si suami bertugas membuat mi ayam, si istri membuatkan minuman yang dipesan para pembeli. Ada satu pelayan, sepertinya keponakan mereka, yang juga membantu melayani pembeli di sana.
Mereka telah menjalani usaha mi ayam sejak bertahun-tahun, dan—dari yang saya dengar—mereka sukses dengan usaha tersebut. Tampaknya, pekerjaan apa pun yang ditekuni dengan baik memang membawa kesuksesan. Atau, setidaknya, keberkahan.
Karena sering datang ke sana pula, saya kerap mendengar sesuatu mengenai cakar ayam. Sering kali, saat sedang makan mi di sana, ada pembeli datang, lalu berkata pada si penjual, “Kasih cakar ya, Mas.”
Biasanya, si penjual mi ayam menjawab, “Cakar ayamnya habis.”
Percakapan semacam itu—mengenai cakar ayam—bisa dibilang selalu saya dengar setiap kali ke sana. Tidak sore tidak malam, selalu ada pembeli di sana yang meminta diberi cakar ayam untuk mi mereka, dan si penjual menyatakan cakar ayam sudah habis. Dalam hal itu, saya termasuk pembeli yang sering kecewa, karena juga diberi jawaban serupa. Saya meminta cakar ayam, tapi dijawab cakar ayam sudah habis.
Semula, saya hanya berpikir warung mi tersebut memang sangat laris, sehingga persediaan cakar ayam cepat habis. Sampai kemudian, saya menyadari bahwa urusan cakar ayam itu tidak sesederhana yang saya pikirkan.
Suatu malam agak larut, saya datang ke warung mi tersebut, dan memesan semangkuk mi ayam plus segelas teh seperti biasa. Warung tidak terlalu ramai waktu itu, hanya ada dua perempuan yang tampaknya sedang menunggu mi pesanan mereka. Saat saya baru duduk, salah satu perempuan itu berkata pada si penjual mi, “Mas, pakai cakar, ya.”
Seperti biasa, penjual mi menjawab, “Cakarnya habis, Mbak.”
Beberapa saat kemudian, mi ayam pesanan saya diantarkan, dan saya pun melahapnya dengan nikmat. Tidak lama setelah itu, dua perempuan tadi telah selesai makan, dan pergi setelah membayar. Sekarang tinggal saya sendirian di sana.
Saat mi ayam di mangkuk saya habis, ada pembeli lain masuk ke warung. Kali ini seorang laki-laki. Dia duduk di samping saya, dan memesan mi serta teh. Kemudian, ini yang menarik. Saat mi sedang dimasak, penjual mi ayam berkata kepadanya, “Mas, daging ayamnya habis. Pakai cakar saja, ya.”
Si pembeli setuju.
Ketika akhirnya mi ayam pesanannya diantarkan, saya melihat dia mendapatkan semangkuk mi dengan dua cakar ayam. Yang saya lihat waktu itu benar-benar membuat saya tercengang.
Selama ini, sudah puluhan kali saya mendengar pembeli meminta cakar ayam, tapi si penjual selalu menjawab cakar ayam telah habis. Begitu terus menerus. Bahkan, tadi dengan jelas saya mendengar ada pembeli yang meminta cakar ayam, dan lagi-lagi diberi jawaban cakar ayam telah habis. Tetapi, sekarang, seseorang mendapatkan cakar ayam karena kebetulan daging ayam telah habis.
Kenyataan itu sangat mudah dipahami. Tidak perlu Sherlock Holmes atau Hercule Poirot untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Rupanya, penjual mi ayam itu tidak menyediakan cakar ayam, dan hanya menggunakan cakar ayam yang mereka miliki sebagai “cadangan” jika kebetulan daging ayam habis. Setiap hari, mungkin penjual mi ayam itu memotong tiga atau empat ekor ayam untuk keperluan dagangan. Karena memotong tiga atau empat ayam, mereka hanya memiliki enam atau delapan cakar ayam. Cakar yang sedikit itu tidak disediakan secara bebas untuk pembeli, melainkan digunakan sebagai cadangan.
Karenanya, tak peduli sebanyak apa pun pembeli yang meminta cakar ayam, si penjual mi akan menjawab cakar telah habis, karena cakar yang tersedia memang tidak disediakan secara bebas. Sebaliknya, jika membeli mi ayam ke sana agak larut malam—dan kebetulan daging ayam sudah habis—pembeli pun bisa mendapatkan cakar, bahkan tanpa meminta.
Malam itu, sambil merasakan perut yang kenyang setelah menghabiskan semangkuk mi ayam, saya mulai memahami persoalan perlahan-lahan, dan mengendapkannya dalam pikiran. Selama waktu-waktu itu, tak terhitung banyaknya pembeli yang pernah datang ke sana, dan meminta cakar ayam, tapi dijawab telah habis. Saya berpikir, kenapa penjual mi ayam tidak menyediakan cakar ayam dalam jumlah banyak, agar bisa memenuhi keinginan para pembeli?
Mungkin penjual mi ayam memang memotong ayam dalam jumlah terbatas, sehingga persediaan cakar ayam pun sama terbatas. Kenapa mereka tidak terpikir untuk membeli cakar ayam di pasar, untuk memenuhi permintaan pembeli? Bukankah itu mudah? Setiap hari mereka memasak daging ayam untuk keperluan dagangan mi ayam. Tinggal beli cakar ayam sekilo—atau berapa pun—lalu dimasak bersama daging ayam seperti biasa. Itu sangat mudah, sekaligus berpotensi menambah keuntungan.
Jika mereka menyiapkan cakar ayam dalam jumlah banyak, sehingga dapat memenuhi permintaan pembeli, yang akan diuntungkan bukan hanya pembeli, melainkan juga si penjual. Pembeli akan mendapat cakar ayam setiap kali mereka minta, dan si penjual mendapat keuntungan dari penjualan mi plus cakar ayam. Sama-sama menguntungkan. Pembeli senang, karena dapat cakar ayam. Penjual juga senang, karena dapat tambahan keuntungan.
Ketika memikirkan kenyataan itu, saya tidak habis pikir dengan penjual mi ayam tersebut. Padahal, pemikiran itu sangat sederhana, dan mudah dilakukan. Kenapa mereka tidak mau memikirkan dan melakukan sesuatu yang mudah itu? Alih-alih berusaha memenuhi permintaan pembeli, mereka berbohong mengatakan cakar ayam telah habis. Alih-alih membuat senang para pelanggan, mereka justru kehilangan potensi keuntungan yang sebenarnya bisa didapatkan.
Mungkin penjual mi ayam itu sudah capek dengan pekerjaan harian mereka, sehingga tidak mau menambah beban kerja lagi. Membeli cakar ayam bisa jadi terasa berat bagi mereka. Atau, bisa jadi pula, pikiran mereka sudah terlalu mapan, sehingga tidak mau mengubah pola pikir sedikit pun. Mungkin, mereka berpikir, “Kenapa harus repot-repot mencari cakar ayam, kalau tanpa cakar pun pembeli selalu berdatangan?”
Mungkin mereka benar. Kenyataannya, selama waktu-waktu itu, warung mi ayam mereka selalu laris. Meski pembeli yang meminta cakar sering mendapat jawaban cakar telah habis. Mungkin mereka benar. Bahwa tanpa cakar pun pembeli terus datang dan selalu datang. Pikiran mereka sudah nyaman, sudah mendapatkan cukup keuntungan, dan persetan dengan cakar ayam!
Lalu, suatu hari, antiklimaks terjadi.
Sekitar 50 meter dari warung mi ayam tadi, muncul warung mi ayam baru. Di bagian depan warung mi ayam baru itu terdapat spanduk berisi tulisan besar-besar, berbunyi, “Mi ayam + Cakar”, lengkap dengan gambar mangkuk berisi mi ayam dilengkapi dua cakar ayam yang menggoda.
Semula, saya tetap makan mi ayam di warung langganan, karena telah terbiasa. Semula, semuanya juga tampak tidak ada yang berubah. Tetapi, perlahan namun pasti, saya mulai menyadari warung mi ayam langganan itu mulai sepi. Jika sebelumnya pembeli selalu ramai berdatangan, kini makin jarang. Jika sebelumnya saya sering duduk berdesakan, sekarang sering sendirian.
Ke mana para pembeli yang semula berdatangan? Jawabannya sangat gamblang. Mereka pindah ke warung baru, yang menyediakan cakar ayam!
Bahkan sampai pada titik itu pun, penjual mi ayam langganan saya tampaknya belum memahami krisis yang sedang atau akan dihadapi. Mereka tidak tampak melakukan perubahan apa pun, dan sesekali saya masih mendengar si penjual mengatakan cakar yang habis pada pembeli yang datang. Mereka tidak menyadari bahwa urusan cakar ayam tidak seremeh dan sesederhana yang mungkin mereka pikirkan.
Suatu malam, saya diajak teman yang ingin mencoba mi ayam di warung baru, yang menyediakan cakar. Kami pun pergi ke sana, dan memesan dua porsi mi ayam. Penjual di sana menawari, “Pakai cakar, Mas?”
Teman saya langsung menjawab, “Ya, pakai cakar.”
Lalu kami menikmati mi ayam plus cakar. Kualitas mi ayam di warung baru itu bisa dibilang biasa-biasa saja—sama seperti mi ayam di warung langganan saya. Yang membedakan, di sini ada cakar ayam yang menambah kenikmatan dan menambah kenyang. Harga mi ayam di sini juga sama dengan mi ayam di warung langganan. Namun, karena ada tambahan dua cakar, tentu ada tambahan harga untuk itu. Sebagai penikmat mi ayam, saya sama sekali tidak mempermasalahkan.
Sejak itu, setiap kali ingin menikmati mi ayam, saya datang ke warung mi ayam yang baru, yang menyediakan cakar. Pertimbangan saya sederhana. Di warung mi ayam yang lama, saya sering kecewa karena tidak mendapat cakar. Di warung mi ayam yang baru, saya justru ditawari cakar ayam. Jika dua cakar masih kurang, saya bahkan boleh menambah cakar ayam sebanyak apa pun saya mau.
Sebagai manusia, saya tidak suka dikecewakan. Sebagai pelanggan, saya senang dimanjakan. Warung mi ayam langganan saya membuat kecewa. Warung mi ayam yang baru terasa memanjakan. Maka pilihan saya pun jelas; meninggalkan warung langganan, dan beralih ke warung baru.
Rupanya, yang punya pikiran semacam itu bukan cuma saya. Karena, seiring waktu, warung mi ayam yang baru semakin ramai, dan warung mi ayam yang lama terlihat makin sepi. Puncaknya, warung mi ayam yang lama tutup, dan tak pernah terlihat lagi. Ada yang bilang mereka pindah jualan ke tempat lain, ada pula yang bilang mereka ganti dagangan lain. Sementara warung mi ayam yang baru semakin laris dan makin ramai.
Semua ini—hancurnya usaha seseorang, dan tumbuhnya usaha baru orang lain—hanya diawali cakar ayam. Tampak sepele, sederhana, tidak penting, wong paling cakar ayam. Tapi yang tampak tidak penting itu akhirnya terbukti bisa menghancurkan usaha yang telah dibangun bertahun-tahun. Cakar ayam yang tampak sepele telah merenggut kesuksesan dari seseorang, dan memindahkannya kepada orang lain.
Siapakah yang salah? Mungkin tidak ada yang salah, karena ini cuma urusan cakar ayam.
Warung mi ayam yang baru mungkin dapat dituduh telah merampas pembeli dan pelanggan warung mi ayam yang lama. Tetapi, bagaimana pun, dia hanya memenuhi sesuatu yang tidak dipenuhi warung mi ayam yang lama. Dia memberikan cakar ayam, sesuatu yang diminta banyak pembeli, tapi tidak diberikan penjual warung mi ayam yang lama.
Padahal, kalau saja penjual mi ayam yang lama menyediakan cakar ayam sebagaimana diminta para pembeli dan pelanggan, warungnya akan langgeng. Pembeli akan terus berdatangan, pelanggan akan terus bertambah, dan bisa jadi warung mi ayamnya akan semakin besar. Kalau pun muncul saingan, para saingan akan sulit mengalahkan, karena mi ayam yang lama telah dikenal dan dipercaya banyak pelanggan.
Sayangnya, penjual mi ayam yang lama tidak berpikir sejauh itu. Pikiran mereka mungkin sudah terlalu nyaman, sehingga tidak mau berubah sedikit pun. Meski hanya sekadar mengubah cakar ayam, dari semula tidak ada menjadi ada. Itu, sebenarnya, perubahan yang sederhana. Hanya menyediakan cakar ayam!
Tetapi, karena mereka tidak mau melakukan perubahan kecil itu, akhirnya keadaan memaksa mereka untuk melakukan perubahan besar. Dari yang semula laris, kini kehilangan pembeli. Dari yang semula sukses, kini harus mulai dari awal lagi.
Kalau dipikir-pikir, begitulah kita—begitulah kebanyakan hidup kita. Sesekali, kondisi hidup menuntut kita untuk berubah, melakukan perubahan kecil, yang tampak mudah dan sepele. Tetapi, karena malas atau karena pikiran sudah nyaman, kita pun sulit berubah dan tidak mau berubah.
Padahal, perubahan yang diminta kehidupan sering kali hanya perubahan kecil. Jika kita mau menuruti perubahan itu, hidup kita akan selamat, bahkan lebih baik. Tetapi, kalau kita tidak mau melakukan perubahan yang kecil, kehidupan akan menuntut dan memaksa kita untuk melakukan perubahan besar yang jauh lebih berat.
Kapan pun, kalau kita mencoba menantang hidup, maka hiduplah yang akan selalu menang.