Memaafkan adalah kunci untuk tindakan dan kebebasan.
—Hannah Arendt
—Hannah Arendt
Pada bulan April 1993, Metallica diundang konser ke Indonesia, dan sebuah panggung raksasa pun dibangun di stadion Lebak Bulus, Jakarta. Pada hari H acaranya, beribu-ribu orang berduyun-duyun ke sana, ingin menyaksikan secara langsung legenda musik rock dunia itu, dan di hari itulah tragedi yang tak terbayangkan terjadi.
Siang itu lengas. Jalanan di sekitar Lebak Bulus telah dipenuhi ribuan penggemar Metallica, dan mereka semua berharap dapat masuk untuk ikut berjingkrak dengan James Hetfield. Tetapi rupanya panitia acara itu ‘salah perhitungan’. Jumlah orang yang ingin menyaksikan konser itu jauh lebih banyak dibanding yang mereka perkirakan. Tiket yang disediakan berjumlah terbatas, kapasitas stadion terbatas, sementara jumlah orang yang datang di luar batas.
Jadi itulah yang kemudian terjadi. Ketika panitia mengumumkan bahwa tiket telah habis dan stadion mulai ditutup, ribuan orang yang tak bisa masuk karena kehabisan tiket mulai ‘gerah’. Udara panas menyengat, dan orang-orang di luar stadion itu pun semakin kepanasan. Sementara itu, dari dalam stadion yang telah ditutup, terdengar raungan James Hetfield, ditingkahi gebukan drum penuh energi Lars Ulrich. Detik-detik itu, Jakarta seperti ada di titik ledak sumbu petasan.
Dan kemudian, ketika sumbu itu sampai pada batas akhirnya, ribuan orang yang kehabisan tiket itu mulai ‘hilang akal’. Mereka memaksa masuk ke stadion, tetapi panitia bergeming—pintu tak terbuka sedikit pun. Didorong amarah, kekecewaan, udara yang panas, serta ‘diprovokasi’ hingar-bingar musik rock yang terdengar menggelegar, ribuan orang itu pun mulai mengamuk.
Mereka mengamuk—benar-benar mengamuk.
Seperti dikomando, ribuan orang itu tiba-tiba melampiaskan amarah dan kekecewaan serta kejengkelan mereka dengan cara yang amat mengerikan. Mereka memunguti batu-batu, besar dan kecil, dan menggunakannya untuk menghancurkan apa saja yang dapat diraih. Pada mulanya mereka melempari stadion, tetapi dinding stadion terlalu angkuh. Maka mereka pun mengarahkan serangannya pada sasaran yang lebih ‘empuk’.
Ratusan mobil yang diparkir berderet-deret di sekitar lokasi itu menjadi sasaran kemarahan mereka. Bunyi kaca pecah diiringi hamburan serpihan logam berdesing di sana-sini, dan orang-orang itu seperti makin kesetanan. Polisi-polisi yang berjaga di sana tidak mampu berbuat apa-apa menyaksikan amukan yang mengerikan itu, dan jumlah mereka pun jauh lebih sedikit dibanding massa yang marah.
Seiring suara konser dari dalam stadion, orang-orang yang marah itu pun menggelar ‘konsernya’ sendiri di luar stadion, dengan merusak apa saja yang dapat mereka rusak. Ketika akhirnya pasukan dalmas datang, aksi perusakan itu dapat dihentikan, tetapi kerugian yang telah terjadi mencapai milyaran. Orang-orang berhamburan melarikan diri, sebagian ada yang ditangkap—sementara di dalam stadion, konser terus berlangsung.
Lanjut ke sini.