Senin, 01 November 2010

Batik: Sebuah Mozaik (2)



Saat ini, batik halus yang asli digarap tangan terlihat begitu indah dengan gambar-gambar yang bagus serta warna-warni cerah yang menyenangkan. Tentu saja itu tidak lepas dari kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang semakin maju. Gambar-gambar batik saat ini bisa diset di komputer, sementara obat untuk pewarnaannya telah tersedia dalam berbagai warna yang bisa dicampur dengan takaran dan ukuran tertentu, hingga dapat menghasilkan warna-warni yang baru sekaligus unik.

Tetapi sekian abad yang lampau, ketika batik masih merupakan ‘barang baru’, motif atau gambar-gambar batik masih sangat sederhana. Orang pada waktu itu biasanya menggunakan pemandangan alam untuk dijadikan motif batik mereka, itu pun digambar secara ‘lugu dan apa adanya’. Sementara itu, obat yang digunakan untuk mewarnai batik pada saat itu belum seperti pada masa sekarang. Karenanya, orang-orang pada masa dulu menggunakan getah-getah pohon atau akar-akaran tertentu untuk mewarnai batik karya mereka.

Harmen C. Verldheuisen, penulis buku “Batik Belanda 1840-1940”, menuturkan bahwa di pesisir utara, pada masa itu, proses mewarnai batik dilakukan dengan membubuhkan warna merah mengkudu (dari kulit akar pohon mengkudu—Morinda Citrifolia) sebagai warna pertama, yang kemudian ditumpangi warna nila (dari daun nila—Indigofera).

Proses penumpangan warna seperti ini biasanya akan menghasilkan warna-warna campuran. Sementara warna kuning biasanya diperoleh dari kayu tegerang (Cudrania Javanensis) atau dengan menggunakan kunir atau kunyit (Curcuma Domestica). Warna terakhir ini biasanya luntur saat dicuci. Ada pula warna merah soga yang diperoleh dari kulit pohon jambal (Pelthophorum Pterocarpa). Merah soga digunakan untuk menghasilkan nuansa warna kecokelatan, namun akan hilang setelah kain dicuci beberapa kali.

Bila melihat sejarahnya yang seperti itu, kita seperti diingatkan betapa proses pembuatan batik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menjadi seperti sekarang. Ada suatu jalan yang amat panjang yang telah ditempuh oleh kakek-nenek moyang kita di masa lampau ketika awal kalinya mereka merintis pembuatan kain yang kini menjadi salah satu industri internasional, sekaligus menjadi salah satu kebanggaan bangsa ini.

Saat ini, batik bisa dibuat secara sempurna—warna-warnanya bisa tampak begitu cerah dan tidak luntur saat dicuci, bahkan bisa digilapkan dengan adanya prada yang bisa membuat garis-garis batik seperti disepuh emas—namun pada sekian abad yang lampau, kakek-nenek moyang kita merintis pembuatan batik dengan keuletan, kesabaran, sekaligus kerja keras dan ketabahan yang amat panjang. Sungguh, batik bukan saja menjadi salah satu kebanggan, ia juga menjadi salah satu warisan bangsa yang menyimpan jalan sejarah yang amat mengagumkan.

Pada zaman sekarang, karena batik sudah menjadi salah satu industri dengan perusahaan-perusahaan besar sebagai produsennya, kain-kain batik pun telah mengenal labelisasi dari perusahaan produsennya, sebagai pengenal bahwa suatu kain batik diproduksi oleh suatu perusahaan. Perusahaan produsennya biasanya menempelkan stiker atau menerakan label tertentu sebagai tanda pengenal.

Namun dulu, ketika pertama kalinya kain batik mulai dijadikan industri, belum ada satu pun perusahaan yang khusus memproduksi kain batik. Pada waktu itu batik hanya menjadi industri perseorangan atau usaha keluarga. Karenanya, batik-batik yang dibuat pada masa itu pun belum mengenal pelabelan sebagai tanda pengenal seperti pada masa sekarang.

Baru pada sekitar tahun 1870-an, digunakanlah tanda tangan dari pengusaha batik bersangkutan untuk dijadikan semacam label pengenalan batik produksi mereka. Pelabelan dengan tanda tangan ini pertama kali ada di Pekalongan, dan dimulai oleh para wanita pengusaha Indo-Eropa, salah satunya adalah Von Franquemont.

Pembubuhan tanda tangan ini tidak saja bertujuan untuk membedakan produksi satu orang dengan orang lainnya, namun juga untuk menghindarkan peniruan-peniruan terhadap gambar desain batik yang mereka buat.

Sekali lagi, sejarah memperlihatkan dengan anggun betapa panjang perjalanan yang harus ditempuh oleh kain batik, hingga bisa menjadi seperti sekarang.

Perjalanan panjang yang harus ditempuh kain batik bukan hanya ada pada labelisasi atau tanda orisinalitas produksi itu tadi, tapi juga ada pada pola-pola atau coraknya. Saat ini, mungkin orang lebih mengenal batik dengan pola seno, atau corak Jawa Timuran, atau model Kalimantan. Tetapi dulu, ada pola-pola atau corak tertentu yang merupakan awal mula terbentuknya pola atau corak batik hingga seperti yang kita kenal sekarang ini.

Ada beberapa pola batik corak dulu yang sangat terkenal, salah satunya adalah batik model ‘dongeng’. Corak batik model ini konon diprakarsai oleh Von Franquemont yang kemudian banyak ditiru oleh wanita pengusaha lainnya. Corak ‘batik dongeng’ biasanya mengambil gambar berupa atribut-atribut atau figur-figur dari berbagai dongeng Eropa yang ditampilkan sebagai motif batik. Kadang pula mengambil dongeng Cina sebagai tema motif gambarnya.

Salah satu jenis batik dongeng yang sangat digemari pada akhir abad ke-19 adalah baik dongeng yang mengambil tema dari kisah “Roodkapje (Si Tudung Merah) dan Serigala”. Gambar dongeng ini terdapat pada sebagian besar sarung batik canting buatan perusahaan-perusahaan milik wanita Indo-Eropa pada waktu itu, yang sampai sekarang masih banyak yang terpelihara di beberapa museum.

Selain batik dongeng, ada pula motif batik lain yang juga terkenal pada masa itu, yang disebut motif ‘batik wayang’, yang menggunakan figur-figur wayang sebagai corak gambarnya dengan latar belakang gunung atau burung garuda.

Ada pula motif batik yang disebut ‘batik puisi’. Batik dengan motif ini biasanya menggunakan syair-syair tertentu sebagai ‘gambar’ batiknya. Syair yang tercantum di awal tulisan ini juga merupakan puisi yang terdapat pada salah satu motif ‘batik puisi’. Batik model ini biasanya juga menggunakan gambar-gambar tertentu yang berhubungan dengan isi puisi yang tertulis pada batik tersebut.

Perjalanan panjang yang telah ditempuh oleh batik dari sekian abad yang lampau hingga pada masa kini telah cukup untuk menyadarkan kita semua betapa kerajinan yang satu ini bukanlah kerajinan biasa—sebuah kerajinan yang berawal dari sebuah kota kecil, di sebuah negara yang masih terjajah, untuk kemudian menjadi salah satu ikon internasional, sekaligus menjadi salah satu kebanggaan bangsa.

Dan perjalanannya yang panjang selama berabad-abad itu telah pula membuktikan betapa batik mampu bertahan dalam segala zaman, tak pernah dapat disingkirkan oleh mode-mode baru yang terus bermunculan dari zaman ke zaman, dan ia akan terus ada di setiap zaman—mungkin dengan bentuk yang baru, dengan wajah yang baru, dengan warna-warni yang baru, namun tetap dengan sejarah yang sama.


*) Posting ini ditulis untuk menyambut acara Pekan Batik Nasional yang saat ini sedang berlangsung di Pekalongan. Tulisan ini juga dimuat di buku Pesona Batik: Warisan Budaya yang Mampu Menembus Ruang dan Waktu, yang diterbitkan Yayasan Kadin Indonesia.


 
;