—Konrad Heiden, dalam Pengantar Mein Kampf
Buku ini lahir dari kegiatan iseng-iseng gw nulis jurnal harian yang gw tulis di internet, atau yang sekarang bahasa gaulnya: blog. Pertama, tujuannya hanya sebagai tempat cerita tentang kehidupan gw yang kayaknya kok gak ada normal-normalnya… Eh, lama kelamaan kok banyak yang suka baca kisah idup gw yang aneh bin aneh saibun, banyak yang bilang lucu…
—Raditya Dika, dalam Pengantar Kambing Jantan
Di Indonesia, ada seorang cowok bernama Raditya Dika, yang menulis buku berjudul Kambing Jantan. Di Jerman, ada seorang cowok bernama Adolf Hitler, yang menulis buku berjudul Mein Kampf.
Apa hubungannya…?
Sabar, biar saya jelaskan pelan-pelan.
Raditya Dika dulu. Cowok ini pada mulanya menuliskan catatan-catatan hariannya di blog, yang kemudian dikumpulkan dan dibukukan menjadi blook (buku adaptasi blog) yang diberi judul Kambing Jantan. Seperti yang kita tahu, buku ini menciptakan tawa dan kegembiraan bagi banyak orang. Para pembaca Kambing Jantan mendapatkan hiburan yang segar, sekaligus orisinal. Eloknya, Raditya Dika menciptakan tawa kegembiraan bagi banyak orang itu dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan humornya.
Nah, sekarang tentang Adolf Hitler. Cowok ini menuliskan draf bukunya selama berada di penjara, yang kemudian menjadi sebuah buku yang luar biasa tebal, berjudul Mein Kampf. Seperti yang juga kita tahu, buku inilah yang kemudian menjadi ‘kitab terkutuk’ yang menciptakan bencana di dunia, dan menciptakan badai kematian berjuta manusia. Bejatnya, Adolf Hitler menciptakan banjir darah yang luar biasa besar di muka bumi ini hanya karena keangkuhannya.
Jika Raditya Dika menulis bukunya dengan semangat menertawakan diri sendiri, Adolf Hitler menulis bukunya dengan semangat keangkuhan karena terlalu serius menilai diri sendiri.
Apa sebenarnya yang terjadi dengan Adolf Hitler? Hitler, dalam perspektif psikologi, adalah pengidap megalomaniac—sebentuk keangkuhan, suatu perasaan menganggap diri maha penting, dan menilai orang lainnya sampah tak berguna. Adolf Hitler adalah tipe orang yang terlalu serius menilai dirinya sendiri.
Dia menilai dirinya sedemikian tinggi, sebegitu tingginya hingga orang lain di matanya tak bernilai apa-apa. Bagi Hitler, yang paling penting di dunia ini adalah dirinya… dan persetan dengan orang lain! Dalam bahasa yang kasar, Hitler adalah orang yang ingin selalu menjadi ‘Yang Terpenting’, meski untuk itu dia harus menginjak dan merendahkan orang lain. Terlalu serius menilai dirinya sendiri—itulah Hitler.
Pada suatu hari, Hitler membutuhkan sopir baru, karena sopirnya yang biasa sedang sakit dalam waktu yang lama. Nah, untuk memperoleh sopir baru ini, Hitler sampai mewawancarai tiga puluh orang calon. Kemudian, dia memilih satu di antara mereka—bukan yang paling pintar, tetapi yang paling pendek. Sebegitu pendeknya sopir baru ini, sampai-sampai dia harus meletakkan bantalan khusus di bawah jok tempat duduknya, agar tangannya bisa menggapai setir.
See…? Hitler memilih orang ini, semata-mata dengan tujuan agar dia tampak lebih menonjol, terlihat lebih hebat, dibanding sopirnya! Ia ingin kelihatan lebih besar dan lebih baik, meski untuk itu dia harus merendahkan orang lain. Hitler terlalu terobsesi dengan dirinya sendiri—dia terlalu serius menilai dirinya sendiri.
Terlalu serius menilai diri sendiri—inilah awal mula segala macam persoalan di muka bumi ini. Tidak di Barat tidak di Timur, segala bentuk perselisihan antarkawan sampai peperangan antarnegara, semuanya dipicu karena perasaan itu—karena orang terlalu serius menilai dirinya sendiri. Dan Perang Dunia pun pecah serta menciptakan banjir darah, salah satunya karena Adolf Hitler terlalu serius menilai dirinya sendiri.
Jika ada pelajaran penting di dunia ini namun nyaris tak pernah diajarkan di kampus mana pun, maka itu adalah “pelajaran untuk tidak terlalu serius menilai diri sendiri”. Kemampuan untuk dapat menertawakan diri sendiri adalah suatu kemampuan yang langka, sekaligus pelajaran yang penting. Ketika orang terlalu serius menilai dirinya sendiri, maka tinggal selangkah lagi ia menuju mutasi menjadi iblis.
Bukalah buku-buku sejarah, dan pelajari biografi para diktator atau para penjahat kemanusiaan. Semua diktator dan para bajingan besar yang pernah berdiri dengan angkuh di atas bumi ini adalah orang-orang yang terlalu serius menilai dirinya sendiri—sejak Napoleon, sampai Pol Pot, sampai Stalin, Hitler, Baby Doc Duvalier, Idi Amin, Manuel Noriega, Shah Iran—sebut yang lainnya. Mereka semua, tanpa kecuali, adalah orang-orang yang terlalu serius menilai dirinya sendiri.
Dan orang-orang seperti mereka tidak pernah mati. Di dunia ini, ada banyak orang yang terlalu serius menilai dirinya sendiri, tidak mampu menertawakan diri sendiri, sehingga keberadaan mereka selalu saja menciptakan masalah bagi orang lainnya. Para teroris—dari kelas kampungan sampai teroris internasional—juga terdiri dari orang-orang yang terlalu serius menilai dirinya sendiri. Bagi mereka, yang paling benar dan paling suci adalah diri sendiri, sedang orang lain sampah kotor semua.
Terlalu serius menilai diri sendiri—inilah penyakit paling berbahaya di dunia ini.
Berabad-abad yang lalu, sebelum saya menulis catatan ini, ada seorang filsuf di Romawi, bernama Marcus Aurelius. Orang ini adalah filsuf terbesar dan paling hebat dalam sejarah kekaisaran Romawi, yang kehebatannya mungkin hanya dapat ditandingi Socrates di Yunani.
Karena reputasi kehebatannya yang luar biasa, Marcus Aurelius selalu menjadi pusat perhatian orang di mana pun. Kemana saja Marcus Aurelius melangkah, selalu ada orang-orang yang membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan.
Nah, sebijak dan searif apa pun, Marcus Aurelius menyadari bahwa dia manusia biasa. Karenanya, dia pun menyadari bahwa jika terus-menerus mendapatkan penghormatan semacam itu, lama-lama dia pun akan angkuh dan takabur.
Karena kesadaran itu pula, Marcus Aurelius kemudian menyewa seseorang yang ia minta untuk selalu mendampinginya kemana pun ia pergi. Jadi, semenjak itu, kemana pun Marcus Aurelius melangkah, ada seorang lelaki yang selalu menjajari langkahnya. Fungsinya bukan sebagai pengawal. Tetapi, sesuai intruksi Marcus Aurelius sendiri, orang itu dimintanya untuk selalu berbisik, “Kau bukan siapa-siapa, Marcus… Kau bukan siapa-siapa…”
Bayangkan, hanya untuk tetap menjaga dirinya agar selalu rendah hati, Marcus Aurelius sampai membayar orang, agar selalu mengingatkan dirinya bahwa “dia bukan siapa-siapa”. Sosok bijak ini tidak ingin dirinya sampai terlalu serius menilai diri sendiri. Dia ingin tetap menjadi “bukan siapa-siapa”.
Pelajaran tentang rendah hati itu penting. Tetapi sama pentingnya adalah pelajaran untuk tidak terlalu serius menilai diri sendiri. Ini adalah tentang kesadaran bahwa kita manusia biasa—sama biasanya dengan manusia lain. Karena manusia biasa, sesekali kita pun bisa salah, bisa keliru, bisa khilaf, bisa kalah, juga bisa melakukan hal-hal bodoh dan konyol yang bisa kita tertawakan.
Ketika orang mampu menilai diri sendiri dengan tidak terlalu serius, maka dia akan dapat melihat kekonyolan, bahkan kebodohannya, yang dapat ia tertawakan sendiri. Dan ketika orang dapat menertawakan diri sendiri, maka dia pun akan menyadari bahwa dia tidak berbeda dengan orang lainnya, sebagaimana orang lain pun tak berbeda dengan dirinya. Pada akhirnya, dia pun akan lebih sibuk memperbaiki diri, dan bukannya sibuk mengurusi kekurangan orang lain.
Adolf Hitler tidak memiliki hal itu. Begitu pula para bajingan dan diktator lainnya. Mereka terlalu serius menilai dirinya sendiri, terlalu tinggi dan terlalu angkuh menilai dirinya sendiri, sehingga cenderung menganggap dirinya manusia setengah dewa, sekaligus menilai orang lainnya tak berharga.
Karenanya, Adolf Hitler—atau siapa pun yang mirip dengannya—seharusnya membaca Kambing Jantan, agar mereka belajar untuk dapat rendah hati, untuk dapat menertawakan diri sendiri, dan tidak terlalu serius lagi menilai diri sendiri. Pelajaran untuk dapat menertawakan diri sendiri adalah pelajaran penting yang seharusnya dipelajari semua orang, sebelum dia mampu menertawakan orang lain.
“Kalau kau suka mengolok-olok orang,” kata para filsuf, “jadikanlah dirimu sebagai bahan olok-oloknya.”
Tepat seperti itulah yang dilakukan Raditya Dika dalam Kambing Jantan. Dia tidak menjadikan orang lain sebagai korbannya, tetapi menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan humornya. Dibutuhkan tidak saja kerendahan hati untuk dapat melakukan hal semacam itu, tetapi juga sebentuk kearifan untuk tidak terlalu serius menilai diri sendiri.
Karenanya pula, Raditya Dika mungkin tidak perlu membaca Mein Kampf, tetapi Adolf Hitler—atau siapa pun yang mirip dengannya—perlu membaca Kambing Jantan.