Rabu, 10 November 2010

Metallica di Lebak Bulus (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Secara manusiawi, orang akan memberi maaf jika mendengar ucapan tulus, “Aku salah, maafkan aku.” Karenanya, dalam maaf, yang lebih penting adalah meminta maaf daripada memberi maaf. Orang pasti akan memberi maaf jika diminta secara tulus. Tetapi untuk meminta maaf secara tulus itulah kita sering kali terlalu angkuh dan lebih menuhankan ego kita sendiri. Maaf mungkin sulit untuk dimulai dari memberi. Tetapi ia akan lebih sulit lagi jika tidak dimulai dari meminta.

Kalau saja Metallica meminta maaf kepada masyarakat Indonesia atas insiden Lebak Bulus, terlepas apa pun kesalahan mereka, maka masyarakat Indonesia pun pasti akan legawa memaafkannya. Tetapi, tidak, Metallica terlalu angkuh—sama angkuhnya dengan kebanyakan manusia dalam hal meminta maaf. Sekali lagi, maaf mungkin sulit untuk dimulai dari memberi. Tetapi ia akan lebih sulit lagi jika tidak dimulai dari meminta.

Jika ada persoalan besar umat manusia di zaman ini, maka persoalan ‘maaf’ adalah salah satunya.

Lihatlah sekeliling kita. Lihatlah saudara-saudara kita, sahabat, dan kawan-kawan kita. Atau, lebih baik lagi, lihatlah diri kita sendiri. Masih mampukah kita untuk rendah hati, mengakui kesalahan sendiri, dan kemudian mengulurkan tangan untuk minta dimaafkan—tanpa harus menunggu lebaran? Masih mampukah kita untuk berbesar hati, memaklumi khilaf manusiawi, dan kemudian tersenyum untuk memaafkan—tanpa harus menunggu lebaran?

Inilah persoalan besar manusia, di zaman ini. Hanya untuk menyatakan satu kata ‘maaf’, kita membutuhkan waktu sampai satu tahun. Akibatnya, ‘maaf’ hanya sekadar menjadi tradisi—tidak kurang, tidak lebih. Ia hanya pemanis bibir di saat pertemuan lebaran, sekadar kata-kata tanpa hati, dan kemudian kita menganggap semuanya telah selesai.

Urusan maaf adalah urusan hati—ia berhubungan dengan ketulusan hati. Jika maaf hanya bernilai tradisi, yang pengungkapan dan pemberiannya menunggu waktu setahun sekali, ia tak lebih dari sekadar tawa haha-hihi. Tidak, maaf seharusnya tidak sekadar itu, tidak hanya sebatas itu.

Ada perbedaan mendasar antara permintaan maaf normatif, dan permintaan maaf personal. Permintaan dan pemberian maaf yang bisa dilakukan pada waktu-waktu tertentu (semisal lebaran) adalah maaf normatif—suatu permintaan maaf yang hanya ‘sekadar’ etika antar manusia. Ini adalah jenis maaf yang diminta dan diberikan bukan karena adanya suatu kesalahan tertentu, melainkan karena etika kemanusiaan.

Misalnya, permintaan dan pemberian maaf antara blogger dengan pembacanya, antara koran dengan pelanggannya, antara suatu lembaga dengan para kliennya, atau semacamnya. Ini jenis-jenis permintaan maaf normatif, yang dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu, semisal lebaran.

Tetapi ada jenis maaf yang tidak dapat diminta dan diberikan seenaknya sendiri seperti itu—tidak juga pada waktu lebaran—yakni permintaan maaf yang bersifat personal. Kalau kita menusuk perut seseorang dengan pisau, dan kemudian menyadari bahwa kita bersalah, kita tidak bisa menunggu lebaran hanya untuk meminta maaf kepadanya. Karena ini bukan urusan maaf yang normatif. Ini urusan maaf yang personal—secara pribadi antara kita dan orang itu.

Begitu pula dengan bentuk tusukan lain—semisal ucapan, atau kata-kata yang mungkin menyakitkan. Jika seseorang sakit hati atas ucapan kita, atau perbuatan kita, kita tidak bisa menunggu datangnya lebaran untuk meminta maaf kepadanya. Begitu kita menyadari kesalahan itu, atau begitu kita diingatkan atas kesalahan itu, di waktu itu pulalah kita seharusnya merendahkan hati untuk dapat berkata, “Aku telah bersalah kepadamu. Maafkan aku.”

Lebaran memang waktu yang ideal untuk meminta maaf—tetapi hanya maaf yang normatif. Jika kita sama-sama tidak tahu apa kesalahan kita, maka kita dapat bermaaf-maafan di hari lebaran.

Tetapi jika kita nyata-nyata telah bersalah, atau nyata-nyata orang lain telah sakit hati atas perbuatan kita, maka maaf pada waktu lebaran saja tidak cukup. Maaf personal juga membutuhkan waktu yang lebih personal. Kita telah dhalim jika berbuat salah pada seseorang, tetapi menunggu lebaran hanya untuk meminta maafnya.

Kata Roberto Assagioli, “Tanpa maaf, dunia akan dikuasai oleh lingkaran setan, dendam, dan kebencian.” Karenanya, maaf adalah urusan besar manusia, karena ialah yang menyelenggarakan kehidupan manusia sebagaimana nilainya. Manusia disebut manusia karena ia hidup dengan cara manusia. Dan salah satu cara hidup manusia adalah kerendahan hati untuk meminta maaf ketika bersalah, tanpa harus menunggu waktu apa pun.

Biarkan lebaran datang dan pergi. Tetapi jangan gantungkan maaf kita pada waktu yang hanya datang sesekali. Marilah kita saling meminta dan memberi maaf di waktu lebaran, tetapi marilah kita juga saling meminta dan memberi maaf kapan pun, di mana pun, pada siapa pun, tanpa harus tergantung pada lebaran. Karena maaf adalah urusan hati—dan bukan sekadar tradisi setahun sekali.

Maafkanlah saya. Setulusnya.

 
;