Aku menulis untuk masa setelah aku tiada di dunia ini.
—Anne de Noailles
—Anne de Noailles
Nederland, Belanda, 1929.
Perang Dunia II sedang berkecamuk dengan dahsyat. Saat itu Belanda tengah dikuasai oleh Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler yang kejam. Tentara Nazi yang menduduki Belanda tersebut melakukan gerakan penangkapan besar-besaran terhadap warga keturunan Yahudi untuk dikirim ke kamp-kamp konsentrasi. Gerakan ini kelak akan dicatat oleh sejarah sebagai peristiwa Holocaust (pembasmian orang Yahudi oleh tentara Nazi).
Tepat pada tanggal 12 Juni 1929, lahir seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Anne Frank, buah cinta dari pasangan Belanda, Otto Frank dan Edith Frank-Hollander. Bayi perempuan ini lahir di tengah kecamuk perang dunia dan dalam ancaman maut pasukan Nazi.
Tiga belas tahun kemudian, 1942, bayi perempuan itu telah merayakan hari ulang tahunnya yang ke-13 tahun. Di hari ultahnya itu dia mendapatkan hadiah sebuah buku harian. Saat itu, dia sama sekali tidak menyadari bahwa kelak namanya akan dikenang abadi berkat buku harian itu.
Sementara Perang Dunia II belum juga reda. Dan karena terdesak oleh politik akibat kebijakan anti-semitisme yang diterapkan Adolf Hitler beserta Nazi-nya, maka pada tanggal 6 Juli 1942 Anne Frank sekeluarga bersembunyi di Achterhuis, Rumah Belakang, dan terisolasi dari dunia luar.
Selama dua tahun lebih mereka hidup dalam ketakutan, ketegangan, dan kebosanan, sementara mereka tak berani sedikit pun meninggalkan tempat persembunyian yang terisolasi itu. Karena sedikit saja keberadaan mereka tercium oleh tentara Nazi, nyawa mereka sekeluarga akan segera melayang.
Dan selama dalam persembunyian itu pula, Anne menulis apa saja yang ia pikirkan, ia rasakan, dan yang ia alami. Semuanya ia tulis dalam buku harian yang ia dapatkan sebagai hadiah ulang tahunnya itu.
Yang terutama membuatku cemas, lebih dari yang bisa aku katakan, adalah kenyataan bahwa kami tak boleh keluar. Aku selalu takut tempat persembunyian kami ditemukan dan kami ditembak. Semua itu sungguh bayangan yang tidak menyenangkan.
Hebatnya, dalam keadaan seperti itu pun, Anne tidak cuma mengeluh dan memikirkan dirinya sendiri. Dia juga teringat teman-temannya di luar sana. Jangankan bersembunyi di tempat yang ‘nyaman’ seperti dirinya, makan pun mereka sangat kesulitan.
Jika di Nederland saja sudah sebegini buruk, bagaimana pula kehidupan orang-orang yang diangkut ke daerah-daerah lain yang jauh dan masih terbelakang? Kami menduga sebagian besar mereka dibunuh. Radio Inggris menyiarkan, mereka dibunuh di kamar gas. Mungkin itu cara membunuh yang paling cepat. Aku benar-benar ngeri…
Karena itulah, Anne juga menulis protes keras di buku hariannya.
Mengapa setiap hari jutaan uang dikeluarkan untuk biaya perang, tapi tidak satu sen pun untuk ilmu kedokteran, untuk seniman, dan untuk orang-orang miskin? Kenapa orang harus mati kelaparan, padahal di bagian lain dunia ini makanan berlimpah hingga membusuk? O, mengapa manusia sedemikian gila?
Pada tanggal 1 Agustus 1944, Anne menulis untuk kali terakhir di buku harian kesayangannya itu. Karena tiga hari kemudian, 4 Agustus 1944, dia beserta seluruh keluarganya yang bersembunyi di Rumah Belakang ditangkap. Entah, siapa yang telah mengkhianati mereka.
Anne, ibu, dan kakaknya (Margot Frank) akhirnya tewas di kamp konsentrasi Nazi. Sementara Otto Frank, ayah Anne, yang dibuang secara terpisah, ‘terselamatkan’ oleh keadaan yang semakin berkembang menjadi lebih baik, yaitu meredanya Perang Dunia. Ia kemudian dibebaskan oleh tentara Rusia pada akhir Januari 1945. Ayah Anne inilah yang kemudian berusaha keras dan berhasil menerbitkan buku harian Anne pada tahun 1947. Bahkan kemudian buku itu disandiwarakan dan difilmkan.
Padahal, meski kemudian akhirnya mencita-citakan, pada awalnya Anne Frank tak pernah membayangkan, apalagi menduga, bahwa kelak jutaan orang di dunia akan membaca dan menikmati catatan-catatannya. Sebagaimana yang ia tulis di buku hariannya,
Bagi orang sepertiku, menulis catatan dalam buku harian merupakan suatu pengalaman tersendiri. Bukan hanya karena aku belum pernah menulis sesuatu, melainkan juga ada kekhawatiran pada suatu hari nanti, aku atau orang lain sama sekali tidak tertarik membaca tulisan seorang gadis berusia tiga belas tahun.
Tapi begitulah, Anne benar-benar salah duga. Sejak diterbitkan, buku itu seperti menjadi ‘bacaan wajib’ bagi siapa pun yang peduli pada nasib anak-anak dan masa depan manusia di tengah-tengah ‘permusuhan yang sering kali tidak masuk akal’—saling bunuh hanya karena perbedaan warna kulit, etnis, atau karena haluan politik.
Buku harian yang ditulis Anne Frank tersebut kini telah diterjemahkan oleh hampir seluruh bahasa di dunia, dan telah memberi kontribusi besar bagi perdamaian umat manusia. Buku itu semacam jeritan polos anak manusia yang tidak mampu memahami ‘kesibukan’ dan ‘kebodohan’ orang-orang dewasa.
*) Kata-kata yang dicetak miring diambil dan diterjemahkan dari buku harian Anne Frank (The Diary of a Young Girl: The Definitive Edition, terbitan Anchor Book Doubleday, 1995).