—Dedicated to Ayu Utami
Pada sisik-sisik bintang, cerlang
Sinarnya jatuh di wajah tanah
Tetapi serbuk yang benderang
Dan serbuk bintang memeluk kekal
—Hoeda Manis, The Divine Melody
Pada malam-malam tak terhitung, orang-orang menunggu bintang jatuh—dan Neil Gaiman menggambarkan bintang jatuh adalah sesosok putri. Desa Tembok, kata Neil Gaiman, adalah tempat di mana batas khayal dan nyata menjadi kabur, karena seseorang dapat memasuki desa di balik dinding, dan kemudian memasuki dunia yang sama sekali baru. Yang khayal di dunia nyata menjadi faktual di sana.
Yang mungkin tidak diketahui banyak orang adalah fakta bahwa khayal dan faktual hanyalah soal pilihan—ia menjadi milik siapa pun yang menginginkannya, yang memilihnya. Seperti dalam “Stardust” yang diceritakan Neil Gaiman, seseorang dapat pergi meninggalkan tempat tinggalnya untuk memasuki desa asing di balik dinding, kemudian menjalani khayal-yang-dianggap-banyak-orang.
Desa Tembok—itulah sebutannya. Dan karena tertutup tembok, serta dijaga orang-orang bersenjata, tidak setiap orang berani masuk ke sana. Lebih dari itu, tidak setiap orang mau pergi ke sana.
Tetapi di balik Tembok itulah kehidupan yang luar biasa terhampar—tempat keajaiban terjadi, pelangi bernyanyi, dan bintang jatuh ke tanah. Di sana, sesuatu yang telah dimustahilkan menjadi kenyataan sehari-hari, dan khayal-impian adalah kebenaran yang terjadi. Orang-orang di luar Tembok tidak tahu orang-orang di dalam Tembok hidup dengan keajaiban.
Dan Tembok itu, seperti juga ada di sana, juga serupa yang ada di sini. Tembok itu dibangun oleh manusia yang tidak menginginkan seorang pun dari desa ini masuk ke sana. Berbahaya, kata Neil Gaiman. Tetapi dia bercanda. Kebenaran sesungguhnya adalah karena manusia ketakutan menyaksikan keajaiban, terlalu kerdil untuk melangkah di atas serbuk bintang.
Manusia membangun Tembok—dan Tembok itu berdiri kukuh dengan angkuh, menghalangi siapa pun yang ingin menerobosnya. Mereka menuliskan setumpuk aturan mengenai Tembok itu dan segala macam larangan untuk tidak menembusnya. Tetapi, kata Kahlil Gibran, “Hanya orang idiot dan para genius yang melanggar aturan manusia. Dan hanya merekalah yang paling dekat ke Hati Tuhan.”
Intinya adalah hati—tetapi Tembok itu tidak dibangun dengan hati, melainkan dengan nafsu yang naif, kebutaan yang daif. Mereka ketakutan jika siapa pun memasuki tempat-di-balik-Tembok, dan kemudian menjaga Tembok itu dengan para penjaga bersenjata—penjaga yang sama naif dan buta. Yang mereka lakukan hanya menjaga, berdiri seolah penguasa, kemudian memutuskan vonis atas siapa pun yang masuk ke sana.
Di dalam kebutaan serta kenaifan itulah hati dimakamkan. Ia menjadi musuh siapa pun yang membangun dan memihak Tembok itu—bongkah berhala yang seharusnya telah dimusnahkan demi kesadaran dan pencerahan. Tetapi tidak, para pembangunnya sama angkuhnya dengan Tembok yang telah dibangunnya. Begitu pun para pemujanya.
Manusia membangun Tembok—dinding pembatas antara “sini” dan “sana”, antara hitam dan putih, antara benar dan salah, antara “kita” dan “mereka”.
Yang ada di sini benar, dan yang masuk ke sana salah. Tetapi nilai siapakah yang digunakan dalam menakar keabsahannya? Nilai yang ada di sini, ataukah nilai yang ada di sana? Siapakah yang berhak menyatakan di sini benar dan di sana salah, padahal Tembok itu dibangun manusia yang tak pernah lepas dari kemungkinan bersalah…?
Bertanyalah kepada hati, kata Susanna Tamaro. Va dove ti porta il coure. Tetapi apakah Tembok itu dibangun dengan hati? Atau dengan logika? Atau bahkan jika Tembok itu dibangun dengan hati dan logika, mengapa harus dijaga dengan sebegitu kukuh agar manusia tak bisa memasukinya? Dan jika manusia tak boleh masuk ke sana, lalu apa atau siapakah manusia?
Di bilik-bilik keangkuhan yang buta itulah manusia bersembunyi, dengan bibir yang menyanyi tetapi hati tak pernah pasti. Mereka memilih, tapi tidak—bukan mereka yang memilih. Para pembangun Tembok itulah yang memberikan pilihan untuk mereka pilih, dan kemudian orang-orang berusaha percaya bahwa itulah pilihan mereka.
Dan di saat-saat hening… ketika sebagian kecil dari mereka memberi kesempatan kepada hati untuk berbicara, mereka kadang menemukan, dan tahu, bahwa jalan yang telah mereka pilih adalah kebohongan yang dipaksakan ke dalam diri. Tetapi mereka telah terpenjara di dalamnya, terikat oleh belenggu mayoritas dan suara teriakan massa. Mereka yang malang itu kemudian terpaksa menerima, dan menyadari bahwa ada sesuatu di balik Tembok… tetapi mereka tahu tidak akan dapat memasukinya hingga ajal tiba.
“Kita semua adalah korban, Anselmo,” tulis H.L. Dietrich dalam ‘A Final Destiny’, “Nasib kita ditentukan oleh bergulirnya dadu jagat raya, pengaruh rasi bintang, dan arah angin keberuntungan, yang diembuskan dari kincir angin para dewa.”
Dan di sini, kita semua adalah korban—makhluk-makhluk fana yang terus dijauhkan dari pencerahan untuk dapat memahami dirinya—bukan oleh Tuhan, tetapi oleh makhluk yang sama fananya. Di luar Tembok inilah kita hidup, bersama undang-undang yang dibuat oleh tangan-tangan manusia, setumpuk daftar aturan untuk vonis, “yang diembuskan dari kincir angin para dewa”.
Intinya adalah hati, tetapi undang-undang dan peraturan tak pernah ditulis dengan hati—ia ditulis dengan tinta kemungkinan dan aksara kewajaran.
Tetapi mungkin bagi siapa, dan wajar untuk siapa? Yang mungkin di sana tidak mungkin di sini, sebagaimana yang wajar di sini belum tentu wajar di sana. Bintang jatuh, kata Neil Gaiman, adalah seorang putri. Tetapi siapa yang tahu kenyataan itu jika para pembuat undang-undang selamanya hidup di sini? Siapa yang menyadari bahwa kita semua dapat menyentuh serbuk bintang, jika Tembok besar dibangun sebagai penghalang?
Di sini, orang-orang menunggu bintang jatuh—setiap malam. Di sana, orang-orang melangkah bersama bintang jatuh—setiap malam. Di bawah langit yang sama, ada dua tempat yang berbeda, visi dan hati yang berbeda, tetapi Tembok dibangun untuk membutakan semua mata kita—dan mereka akan mencungkil mata siapa pun yang mencoba terbuka.
Jadi benarlah solilokui Rumi saat ia menari, bahwa “kita terlahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam mimpi, dan kita mati sebelum sempat terbangun.” Orang-orang di luar Tembok adalah mata yang tertidur, atau bermimpi—dan orang-orang yang melangkah ke dalam Tembok mulai terbangun, tetapi dihadang wajah-wajah keangkuhan, sederet janji dan ancaman.
Intinya adalah hati. Terpujilah hati yang memilih.
Terpujilah hati yang memilih—meski pilihan itu bertentangan dengan suara mayoritas, menembus Tembok keangkuhan, mendendangkan kesendirian…
Oh, terberkatilah hati. Terberkatilah hati yang memilih.
Selamat ulang tahun, Aunt Ayu Utami.
Semoga selalu dalam limpahan kasih Tuhan,
semoga selalu diberkati ketetapan hati.
Dengan hormat dan kasih,
Hoeda Manis
Pada sisik-sisik bintang, cerlang
Sinarnya jatuh di wajah tanah
Tetapi serbuk yang benderang
Dan serbuk bintang memeluk kekal
—Hoeda Manis, The Divine Melody
Pada malam-malam tak terhitung, orang-orang menunggu bintang jatuh—dan Neil Gaiman menggambarkan bintang jatuh adalah sesosok putri. Desa Tembok, kata Neil Gaiman, adalah tempat di mana batas khayal dan nyata menjadi kabur, karena seseorang dapat memasuki desa di balik dinding, dan kemudian memasuki dunia yang sama sekali baru. Yang khayal di dunia nyata menjadi faktual di sana.
Yang mungkin tidak diketahui banyak orang adalah fakta bahwa khayal dan faktual hanyalah soal pilihan—ia menjadi milik siapa pun yang menginginkannya, yang memilihnya. Seperti dalam “Stardust” yang diceritakan Neil Gaiman, seseorang dapat pergi meninggalkan tempat tinggalnya untuk memasuki desa asing di balik dinding, kemudian menjalani khayal-yang-dianggap-banyak-orang.
Desa Tembok—itulah sebutannya. Dan karena tertutup tembok, serta dijaga orang-orang bersenjata, tidak setiap orang berani masuk ke sana. Lebih dari itu, tidak setiap orang mau pergi ke sana.
Tetapi di balik Tembok itulah kehidupan yang luar biasa terhampar—tempat keajaiban terjadi, pelangi bernyanyi, dan bintang jatuh ke tanah. Di sana, sesuatu yang telah dimustahilkan menjadi kenyataan sehari-hari, dan khayal-impian adalah kebenaran yang terjadi. Orang-orang di luar Tembok tidak tahu orang-orang di dalam Tembok hidup dengan keajaiban.
Dan Tembok itu, seperti juga ada di sana, juga serupa yang ada di sini. Tembok itu dibangun oleh manusia yang tidak menginginkan seorang pun dari desa ini masuk ke sana. Berbahaya, kata Neil Gaiman. Tetapi dia bercanda. Kebenaran sesungguhnya adalah karena manusia ketakutan menyaksikan keajaiban, terlalu kerdil untuk melangkah di atas serbuk bintang.
Manusia membangun Tembok—dan Tembok itu berdiri kukuh dengan angkuh, menghalangi siapa pun yang ingin menerobosnya. Mereka menuliskan setumpuk aturan mengenai Tembok itu dan segala macam larangan untuk tidak menembusnya. Tetapi, kata Kahlil Gibran, “Hanya orang idiot dan para genius yang melanggar aturan manusia. Dan hanya merekalah yang paling dekat ke Hati Tuhan.”
Intinya adalah hati—tetapi Tembok itu tidak dibangun dengan hati, melainkan dengan nafsu yang naif, kebutaan yang daif. Mereka ketakutan jika siapa pun memasuki tempat-di-balik-Tembok, dan kemudian menjaga Tembok itu dengan para penjaga bersenjata—penjaga yang sama naif dan buta. Yang mereka lakukan hanya menjaga, berdiri seolah penguasa, kemudian memutuskan vonis atas siapa pun yang masuk ke sana.
Di dalam kebutaan serta kenaifan itulah hati dimakamkan. Ia menjadi musuh siapa pun yang membangun dan memihak Tembok itu—bongkah berhala yang seharusnya telah dimusnahkan demi kesadaran dan pencerahan. Tetapi tidak, para pembangunnya sama angkuhnya dengan Tembok yang telah dibangunnya. Begitu pun para pemujanya.
Manusia membangun Tembok—dinding pembatas antara “sini” dan “sana”, antara hitam dan putih, antara benar dan salah, antara “kita” dan “mereka”.
Yang ada di sini benar, dan yang masuk ke sana salah. Tetapi nilai siapakah yang digunakan dalam menakar keabsahannya? Nilai yang ada di sini, ataukah nilai yang ada di sana? Siapakah yang berhak menyatakan di sini benar dan di sana salah, padahal Tembok itu dibangun manusia yang tak pernah lepas dari kemungkinan bersalah…?
Bertanyalah kepada hati, kata Susanna Tamaro. Va dove ti porta il coure. Tetapi apakah Tembok itu dibangun dengan hati? Atau dengan logika? Atau bahkan jika Tembok itu dibangun dengan hati dan logika, mengapa harus dijaga dengan sebegitu kukuh agar manusia tak bisa memasukinya? Dan jika manusia tak boleh masuk ke sana, lalu apa atau siapakah manusia?
Di bilik-bilik keangkuhan yang buta itulah manusia bersembunyi, dengan bibir yang menyanyi tetapi hati tak pernah pasti. Mereka memilih, tapi tidak—bukan mereka yang memilih. Para pembangun Tembok itulah yang memberikan pilihan untuk mereka pilih, dan kemudian orang-orang berusaha percaya bahwa itulah pilihan mereka.
Dan di saat-saat hening… ketika sebagian kecil dari mereka memberi kesempatan kepada hati untuk berbicara, mereka kadang menemukan, dan tahu, bahwa jalan yang telah mereka pilih adalah kebohongan yang dipaksakan ke dalam diri. Tetapi mereka telah terpenjara di dalamnya, terikat oleh belenggu mayoritas dan suara teriakan massa. Mereka yang malang itu kemudian terpaksa menerima, dan menyadari bahwa ada sesuatu di balik Tembok… tetapi mereka tahu tidak akan dapat memasukinya hingga ajal tiba.
“Kita semua adalah korban, Anselmo,” tulis H.L. Dietrich dalam ‘A Final Destiny’, “Nasib kita ditentukan oleh bergulirnya dadu jagat raya, pengaruh rasi bintang, dan arah angin keberuntungan, yang diembuskan dari kincir angin para dewa.”
Dan di sini, kita semua adalah korban—makhluk-makhluk fana yang terus dijauhkan dari pencerahan untuk dapat memahami dirinya—bukan oleh Tuhan, tetapi oleh makhluk yang sama fananya. Di luar Tembok inilah kita hidup, bersama undang-undang yang dibuat oleh tangan-tangan manusia, setumpuk daftar aturan untuk vonis, “yang diembuskan dari kincir angin para dewa”.
Intinya adalah hati, tetapi undang-undang dan peraturan tak pernah ditulis dengan hati—ia ditulis dengan tinta kemungkinan dan aksara kewajaran.
Tetapi mungkin bagi siapa, dan wajar untuk siapa? Yang mungkin di sana tidak mungkin di sini, sebagaimana yang wajar di sini belum tentu wajar di sana. Bintang jatuh, kata Neil Gaiman, adalah seorang putri. Tetapi siapa yang tahu kenyataan itu jika para pembuat undang-undang selamanya hidup di sini? Siapa yang menyadari bahwa kita semua dapat menyentuh serbuk bintang, jika Tembok besar dibangun sebagai penghalang?
Di sini, orang-orang menunggu bintang jatuh—setiap malam. Di sana, orang-orang melangkah bersama bintang jatuh—setiap malam. Di bawah langit yang sama, ada dua tempat yang berbeda, visi dan hati yang berbeda, tetapi Tembok dibangun untuk membutakan semua mata kita—dan mereka akan mencungkil mata siapa pun yang mencoba terbuka.
Jadi benarlah solilokui Rumi saat ia menari, bahwa “kita terlahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam mimpi, dan kita mati sebelum sempat terbangun.” Orang-orang di luar Tembok adalah mata yang tertidur, atau bermimpi—dan orang-orang yang melangkah ke dalam Tembok mulai terbangun, tetapi dihadang wajah-wajah keangkuhan, sederet janji dan ancaman.
Intinya adalah hati. Terpujilah hati yang memilih.
Terpujilah hati yang memilih—meski pilihan itu bertentangan dengan suara mayoritas, menembus Tembok keangkuhan, mendendangkan kesendirian…
Oh, terberkatilah hati. Terberkatilah hati yang memilih.
Selamat ulang tahun, Aunt Ayu Utami.
Semoga selalu dalam limpahan kasih Tuhan,
semoga selalu diberkati ketetapan hati.
Dengan hormat dan kasih,
Hoeda Manis