Selasa, 02 November 2010

Hoho, Saya juga Sering Ditolak, lho…

Tulis! Jangan dengarkan siapa pun yang mencoba
menahanmu. Tulis! Jangan berkecil hati oleh penolakan,
karena akan ada banyak penolakan.
Caprice Crane


Catatan ini berhubungan dengan penjelasan saya mengenai pengiriman naskah ke penerbit, dan perihal penolakan penerbit atas suatu naskah. Banyak teman yang berkirim email dan menanyakan apakah naskah saya juga pernah ditolak penerbit.

Hoho, saya juga sering mengalami penolakan, kok. Saya katakan “sering”, karena penolakan yang pernah saya terima bukan hanya satu dua kali, tapi puluhan kali.

Oh, mungkin kalian tidak percaya—tapi biar saya ceritakan faktanya.

Melihat jumlah buku saya yang sudah terbit sekarang ini, mungkin kalian berpikir kalau jalan saya mulus tanpa hambatan, benar? Jangankan para pembaca, bahkan teman-teman sesama penulis pun mengaku “iri” dengan jumlah buku saya yang telah terbit. Ada lebih dari 20 buku saya yang telah terbit, dan mereka bilang sungguh sulit untuk dapat mencapai jumlah itu.

Nah, sekarang saya mau mengaku, penolakan yang pernah saya terima jumlahnya dua kali lipat dari buku saya yang telah terbit!

Kalau dihitung-hitung, saya sudah menerima lebih dari 40 kali penolakan. Memang ada kalanya satu naskah langsung mulus—dalam arti langsung diterima untuk diterbitkan. Tetapi banyak naskah lain yang harus mengalami penolakan berkali-kali terlebih dulu untuk kemudian sampai di penerbit yang tepat—hingga kemudian berhasil terbit.

Karena banyaknya penolakan yang pernah saya alami, lama-lama saya pun jadi “kebal” dengan penolakan. Hoho, dulu, waktu masih belajar menulis dan baru beberapa kali mengirim naskah ke penerbit, saya bisa garuk-garuk aspal kalau naskah saya ditolak. Tetapi, sekarang, jika saya mengirimkan naskah dan kemudian ditolak penerbit, saya bisa enjoy menertawakannya!

Jadi, kalau kalian bertanya apakah saya pernah ditolak penerbit, maka jawabannya bukan pernah lagi, tapi sering! Dan saya pikir itu bukan aib, jadi saya akan menceritakannya kepada kalian.

Semoga cerita ini dapat memotivasi teman-teman yang ingin mengirimkan naskah ke penerbit tapi takut ditolak, juga dapat menumbuhkan semangat kembali teman-teman yang terlanjur “patah hati” karena telah mengalami penolakan atas naskahnya.

Seperti yang sudah saya singgung di atas, penolakan yang pernah saya terima jumlahnya banyak sekali, jadi akan sangat bertele-tele jika saya harus menceritakannya satu per satu. Karenanya, sekarang saya hanya akan menceritakan satu penolakan paling “spektakuler” yang pernah saya alami. Ini adalah kisah penolakan yang kelak akan memberikan pelajaran kepada saya, bahwa satu-satunya cara paling tepat menghadapi penolakan adalah menertawakannya!

Waktu itu tahun 2000, dan saya masih remaja. Saya punya ide menulis sebuah buku remaja yang cerdas, lain dari yang lain, sekaligus tidak terikat tren. Ide ini muncul karena saya tidak puas dengan buku-buku remaja yang waktu itu telah ada di pasaran. Saya pikir, jika saya yang remaja merasa tidak puas dengan kebanyakan buku remaja masa itu, maka tentunya ada sekian banyak remaja lain yang juga tidak puas seperti saya.

Dari situlah kemudian saya mulai merumuskan bentuk buku yang saya impikan. Berbeda dengan kebanyakan buku remaja waktu itu, saya membahas persoalan-persoalan yang cukup berat dalam kehidupan remaja, khususnya dalam bidang pengembangan diri. Dan agar materi dalam buku ini benar-benar unik, saya pun menulisnya dengan menggunakan analogi.

Saya percaya bahwa analogi adalah bentuk atau cara penyampaian yang paling efektif dalam pembahasan persoalan-persoalan yang berat atau rumit. Jika model teori konvensional sulit menjelaskan sesuatu, analogi akan mampu memberikan pemahaman yang lebih langsung sekaligus lebih menancap dalam benak pembaca. Dan agar buku itu tidak membosankan saat dibaca dan dipelajari, saya pun memecah-mecah materi buku itu dalam bab-bab yang pendek.

Selama enam bulan saya mengerjakan naskah buku itu, dan hasilnya adalah sebuah naskah dengan 54 bab yang sebagian besarnya berupa analogi. Lima puluh empat bab itu membahas persoalan-persoalan dunia remaja—dari soal sekolah, pergaulan, cita-cita, masalah cinta, sampai tuntunan menjalani hidup. Intinya adalah pengembangan diri.

Sampai di sini mungkin kalian sudah menduga buku apa yang saya maksud.

Benar, naskah yang saya ceritakan ini adalah cikal-bakal sebuah buku yang kelak akan berjudul “Gapailah Impianmu”. Kalau kau sudah membaca buku ini, maka sekarang saya ingin menyatakan kepadamu bahwa naskah buku itu telah mengalami penolakan sebanyak 12 kali sebelum kemudian menjadi buku dan sampai di tanganmu. Tapi karena post ini sudah cukup panjang, saya akan menceritakannya di post selanjutnya.

Lanjut ke sini.

 
;