Selasa, 02 November 2010

Eratus

Menjemput pusaran waktu, melintasi langit dan bumi. Merengkuh setiap pintu, membuang semua kunci. Aku terhempas dalam kabut bayang di akhir panjang penantian... yang pernah ada dalam janji, yang pernah tertanam dalam hati... yang kunanti.

Memejamkan mataku dalam hening, dalam kedamaian di ujung akhir hidup, seusai matahari redup. Katakan padaku apakah semuanya akan segera berakhir? Katakan padaku kemana semua akan mengalir? Katakan padaku setiap kata, setiap rasa, setiap nada... Aku mendengar nyanyian badai malaikat maut... dan satu lagi nama tertulis di laukhul mahfudz.

Menatapmu dalam napas terakhir, merengkuhmu dalam setiap tetes air. Aku mendengarmu melagukan nyanyian terindah yang ingin selalu kudengarkan, yang ingin selalu kudendangkan. Aku tak mampu mengatakan itu, karena kau pun tahu yang ingin kukatakan. Resapilah setiap detaknya, hayatilah setiap detiknya. Dan akan kaupahami bahwa akhir bukanlah akhir meski ini menjadi saat-saat yang terakhir. Menggenggam jemarimu untuk terakhir kali, terakhir kali... terakhir kali...

Melayang sejenak ke masa lalu. Memutar kembali rangkaian perjalanan hidup yang pernah tertulis di sini. Melewati setiap helai angan, dan merajut setiap butir mimpi. Aku kembali menyaksikan sekian juta tetes air mata yang pernah tumpah di malam-malam paling hening. Aku kembali mencium bau amis darah yang pernah pecah dalam kegelapan paling kering.

Aku kembali merasakan basahnya deru-debu keringat dalam perjalanan panjang yang kerontang, yang menusuk setiap butir pori di sela-sela aorta dan urat nadi. Aku kembali merasakan denyut hidup yang pernah kumiliki, aku kembali merasakan getaran cinta dan kebencian yang pernah kualami. Aku pernah ada di situ...

Dan bersamamu.

Melewati setiap jengkal waktu.

Aku pernah menyatakan kepadamu suatu waktu, setelah lama menantimu. Seperti daun yang gugur, melayang di udara, dihembus angin, terbang tanpa tujuan untuk kemudian jatuh di basahnya tanah, lalu hilang dan sirna, sementara setiap esok embun pagi kembali datang menerpa.

Dan kaki-kaki yang letih... Yang pernah berjalan hanya untuk menjemput kebahagiaan, yang pernah datang untuk menanyakan kapan bulan kembali bersinar. Menerjang malam-malam demi malam, kegelapan demi kegelapan, dihempas petir dan halilintar, lalu langit terbuka dan sejuta bidadari turun di sela-sela tangga pelangi. Kemudian pergi lagi...

Ada yang menunggu.

Tapi aku tak pernah tahu.

Memelukmu di sini, mendekapmu tanpa henti bersama bintang-bintang yang tak pernah menampakkan cahaya. Menulismu dalam setiap tarikan napas, dan satu lagi tinta putih tergores dalam kitab sang Raqib. Memaksaku untuk tersenyum, melagukan setiap helai daun-daun di bawah awan mendung. Menunggu keajaiban, menunggu mukjizat, menunggu kematian... Kematian demi kematian...

Aku pernah berteriak kepada langit, tapi langit tak butuh teriakanku. Aku pernah meminta dalam berjuta doa, tetapi doa kemudian hanya tertulis di partitur-partitur tua. Kehampaan merenggutku, merampas bagian-bagian hidup, jengkal demi jengkal, hingga aku kehilangan napas untuk hidup.

Aku pernah terjatuh pada tanah yang basah. Sendiri. Hanya bersama angin. Hanya bersama hening. Yang mencengkeram jiwaku untuk tetap tegar. Yang menarik tubuhku untuk kembali berjalan. Meski letih. Meski tertatih. Aku memaksa bibirku untuk terus bernyanyi. Dan aku menyenandungkan nyanyian hening... lingkaran hening... pusaran hening...

Seperti masa itu, angan kembali merayapi hari. Melintasi mimpi-mimpi buruk yang tak pernah berakhir... melewati kesedihan yang tak pernah terselesaikan. Dan satu lagi daun gugur, melayang di udara untuk kemudian jatuh di tanah yang basah, seperti dulu, di depan mataku. Satu lagi mimpi tercerabut dari dasar pusarannya, teronggok di dasar neraka bersama lainnya yang pernah ada. Kau sentuh aku. Kau sentuh jiwaku...

Kemudian bunga-bunga kembali layu. Sirna dari mewangi. Menamparku, merenggut kebahagiaan demi kebahagiaan yang pernah kubangun di mahligai kekosongan hati, untuk kemudian kubangun lagi. Ada berjuta bunga. Ada berjuta putik yang mekar. Ada berjuta bunga yang pernah bersemi di sini. Ada berjuta putik yang pernah berseri di sini. Tersenyum kepadaku... untuk kemudian menangis bersama langit yang mendung.

Hayatilah setiap mimpi, resapilah setiap kasih. Hayatilah sebagaimana aku pun selalu menghayati impianku. Resapilah sebagaimana aku pun selalu meresapi setiap detak jantung dan denyut nadiku. Tersenyumlah... Tersenyumlah sebagaimana aku pun tersenyum di antara setiap derai tangis dan air mataku. Dalam keheningan panjang... Dalam kesunyian tanpa kata-kata.

Berikan kepadaku air terakhir itu.

Bisikkanlah di telingaku, suaramu, nyanyian terindahmu. Temani aku menjumpai Kekasih yang Sejati, Cinta yang Abadi. Aku melihat... aku telah melihat... Aku melihat sesuatu yang indah. Dekaplah aku, Kekasih... dekaplah! Untuk semua yang pernah ada, untuk semua yang pernah kurasa, untuk semua yang pernah tercipta, kini kan kutinggalkan semuanya.

Rengkuhlah batinku... Hitunglah napasku... Dekaplah... dekaplah... antarkan aku melayang menuju akhir yang indah.

 
;