Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Kalau contoh Nokia dianggap terlalu spesifik, lihatlah BlackBerry. Pada awal kemunculannya dulu, BB diakui sebagai ponsel paling hebat sekaligus paling dahsyat—dan kita pun rasanya menjadi orang paling keren di muka bumi kalau sudah dolanan BlackBerry. Tapi sekarang…? BlackBerry ‘biasa-biasa saja’. Mengapa? Jawabannya mutlak—karena sudah ada yang lebih hebat darinya!
Dalam ‘kultur’ BlackBerry sendiri, BB versi pertama selalu ‘dikalahkan’ versi kedua, lalu versi kedua ‘dikalahkan’ lagi oleh versi ketiga—dan begitu seterusnya. BlackBerry sendiri pun terus berubah, terus memperbarui diri. Karena mereka menyadari benar, bahwa jika mereka tak berubah, tak mau memperbarui diri, maka mereka akan segera punah.
Tak peduli Nokia, tak peduli BlackBerry, tak peduli manusia—semuanya akan punah tanpa adanya adaptasi terhadap zamannya. Seperti laju perkembangan ponsel yang durasinya amat cepat, begitu pula laju perkembangan kita, manusia. Diterima atau diingkari, kita sedang berpacu dengan kemajuan zaman yang cepatnya bukan alang kepalang. Durasi zaman ini bergerak seratus kali lebih cepat dibanding zaman dulu.
Karenanya, siapa pun yang ingin terus menjadi bagian dari zamannya, dia harus terus dapat beradaptasi. Dan bentuk adaptasi yang paling penting sekaligus paling beradab dalam hidup manusia, adalah tidak berhenti belajar. Siapa yang terus belajar, dia akan hidup. Siapa yang berhenti belajar, dia akan mati.
Oh, ini tidak bermaksud menakut-nakuti. Manusia memang akan terus bernapas (sebagai bukti bahwa ia masih hidup) meski mungkin tak pernah belajar. Tetapi orang semacam itu sudah tak bisa lagi dianggap hidup dalam skala nilai universal—ia hanya hidup secara fisikal, tetapi kemajuan zaman sudah menganggapnya ‘ketinggalan’. Dan, apakah hidup memang hanya sebatas dan sekadar itu—bernapas, makan, minum, dan semacamnya?
Jauh-jauh hari sebelum saya menulis catatan ini, Kahlil Gibran yang agung sudah menulis sebaris kalimat dalam bukunya yang paling menggelisahkan, The Madman. Di dalam buku itu, Gibran menulis, “Mereka sesungguhnya sudah mati, hanya saja belum menemukan orang yang menguburkannya.”
Pemikiran Gibran mendahului zamannya. Pada waktu kalimat itu tertulis pertama kali, orang-orang belum memahami apa maksudnya. Tetapi, sekarang, di zaman ini, kita tahu betul apa yang dimaksud Gibran dalam kalimat itu. Yakni mereka yang tidak pernah belajar (beradaptasi dengan zamannya) sesungguhnya sudah mati, hanya saja belum menemukan orang yang menguburkannya (karena masih tampak hidup dan bernapas).
Lanjut ke sini.
***
Kalau contoh Nokia dianggap terlalu spesifik, lihatlah BlackBerry. Pada awal kemunculannya dulu, BB diakui sebagai ponsel paling hebat sekaligus paling dahsyat—dan kita pun rasanya menjadi orang paling keren di muka bumi kalau sudah dolanan BlackBerry. Tapi sekarang…? BlackBerry ‘biasa-biasa saja’. Mengapa? Jawabannya mutlak—karena sudah ada yang lebih hebat darinya!
Dalam ‘kultur’ BlackBerry sendiri, BB versi pertama selalu ‘dikalahkan’ versi kedua, lalu versi kedua ‘dikalahkan’ lagi oleh versi ketiga—dan begitu seterusnya. BlackBerry sendiri pun terus berubah, terus memperbarui diri. Karena mereka menyadari benar, bahwa jika mereka tak berubah, tak mau memperbarui diri, maka mereka akan segera punah.
Tak peduli Nokia, tak peduli BlackBerry, tak peduli manusia—semuanya akan punah tanpa adanya adaptasi terhadap zamannya. Seperti laju perkembangan ponsel yang durasinya amat cepat, begitu pula laju perkembangan kita, manusia. Diterima atau diingkari, kita sedang berpacu dengan kemajuan zaman yang cepatnya bukan alang kepalang. Durasi zaman ini bergerak seratus kali lebih cepat dibanding zaman dulu.
Karenanya, siapa pun yang ingin terus menjadi bagian dari zamannya, dia harus terus dapat beradaptasi. Dan bentuk adaptasi yang paling penting sekaligus paling beradab dalam hidup manusia, adalah tidak berhenti belajar. Siapa yang terus belajar, dia akan hidup. Siapa yang berhenti belajar, dia akan mati.
Oh, ini tidak bermaksud menakut-nakuti. Manusia memang akan terus bernapas (sebagai bukti bahwa ia masih hidup) meski mungkin tak pernah belajar. Tetapi orang semacam itu sudah tak bisa lagi dianggap hidup dalam skala nilai universal—ia hanya hidup secara fisikal, tetapi kemajuan zaman sudah menganggapnya ‘ketinggalan’. Dan, apakah hidup memang hanya sebatas dan sekadar itu—bernapas, makan, minum, dan semacamnya?
Jauh-jauh hari sebelum saya menulis catatan ini, Kahlil Gibran yang agung sudah menulis sebaris kalimat dalam bukunya yang paling menggelisahkan, The Madman. Di dalam buku itu, Gibran menulis, “Mereka sesungguhnya sudah mati, hanya saja belum menemukan orang yang menguburkannya.”
Pemikiran Gibran mendahului zamannya. Pada waktu kalimat itu tertulis pertama kali, orang-orang belum memahami apa maksudnya. Tetapi, sekarang, di zaman ini, kita tahu betul apa yang dimaksud Gibran dalam kalimat itu. Yakni mereka yang tidak pernah belajar (beradaptasi dengan zamannya) sesungguhnya sudah mati, hanya saja belum menemukan orang yang menguburkannya (karena masih tampak hidup dan bernapas).
Lanjut ke sini.