Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Karena insiden itu, masyarakat Indonesia—melalui media massa—meminta Metallica untuk meminta maaf akibat kerusuhan yang telah ditimbulkan konsernya. Tetapi, hingga hari ini, hingga saya menuliskan kisah ini, Metallica tidak pernah memenuhi permintaan itu—mereka tidak pernah meminta maaf.
Sekarang, sambil menulis kisah ini, saya bertanya-tanya dalam hati, salahkah masyarakat Indonesia meminta Metallica untuk minta maaf? Dan, salahkah Metallica jika mereka tetap kukuh tidak mau meminta maaf?
Dari sudut pandang masyarakat Indonesia, Metallica telah menjadi biang kerusuhan, karena konser mereka di Lebak Bulus mengakibatkan kerugian massal yang diderita orang-orang tak bersalah, dan karena itu mereka menuntut agar Metallica meminta maaf.
Tetapi, dari sudut pandang Metallica, tentunya mereka bisa dengan kukuh bertanya, “Apa salah saya?”
Secara objektif—sekali lagi, secara objektif—Metallica memang sulit disalahkan. Mereka datang ke Jakarta karena diundang, dan tugas mereka hanya sebatas konser di atas panggung, sebagai bagian kerja profesional mereka sebagai group musik rock. Manajemen mereka, sehebat apa pun, tentunya tidak bisa menjamin bahwa acara konser itu akan bebas dari kemungkinan kerusuhan. Jika akhirnya kerusuhan timbul karena dipicu kurangnya persediaan tiket dan kapasitas stadion, maka tentu itu bukan salah Metallica.
Maaf—dan permintaan maaf—inilah yang menjadi inti masalah dari kerusuhan yang terjadi pada waktu konser Metallica di Lebak Bulus. Ketika akhirnya manajemen Metallica mengumumkan bahwa mereka tidak akan meminta maaf atas hal itu, masyarakat Indonesia pun geram, dan mengutuk Metallica. Karena maaf—karena mereka tak mau meminta maaf.
Dan, lebih dari itu, karena masyarakat Indonesia sendiri juga tidak mau memaafkan Metallica.
Di dalam hidup manusia, ucapan dan kata maaf sesungguhnya diciptakan sebagai semacam handyplast—ia menambal, menutup, sekaligus mengobati luka kecil yang terasa sakit. Ketika kulit tergores sesuatu dan mengeluarkan darah sehingga menimbulkan perih, handyplast berfungsi mengurangi sakit serta mengobatinya—meski perlahan. Bahkan maaf, sesungguhnya, lebih murah sekaligus mudah, dibanding handyplast. Ia tidak membutuhkan harga, tidak memerlukan biaya.
Tetapi tidak setiap orang dapat memaafkan, tidak setiap orang dapat mengucapkan kata maaf, atau meminta maaf. Tidak setiap orang dapat dengan mudah menyatakan, “Aku salah, maafkan aku.” Dan karena sulitnya meminta serta memberi maaf itu pulalah yang menjadikan manusia semakin tidak tampak seperti manusia. Mereka tidak lagi menyerupai makhluk yang dianugerahi hati, melainkan sosok angkuh, bertubuh batu, menuhankan diri.
Maaf sudah menjadi barang langka pada zaman ini. Sebegitu langkanya, sampai-sampai manusia membutuhkan waktu tertentu hanya untuk meminta maaf. Mereka menunggu sampai setahun, menanti datangnya lebaran, dan kemudian melakukan sesuatu yang seharusnya telah mereka lakukan pada waktu-waktu sebelumnya—meminta maaf. Hanya untuk berkata, “Maafkan aku, lahir dan batin,” kita menunggu sampai satu tahun!
Betapa mahalnya harga maaf. Dan, lebih menyedihkan lagi, betapa angkuhnya kemanusiaan kita.
Lanjut ke sini.
***
Karena insiden itu, masyarakat Indonesia—melalui media massa—meminta Metallica untuk meminta maaf akibat kerusuhan yang telah ditimbulkan konsernya. Tetapi, hingga hari ini, hingga saya menuliskan kisah ini, Metallica tidak pernah memenuhi permintaan itu—mereka tidak pernah meminta maaf.
Sekarang, sambil menulis kisah ini, saya bertanya-tanya dalam hati, salahkah masyarakat Indonesia meminta Metallica untuk minta maaf? Dan, salahkah Metallica jika mereka tetap kukuh tidak mau meminta maaf?
Dari sudut pandang masyarakat Indonesia, Metallica telah menjadi biang kerusuhan, karena konser mereka di Lebak Bulus mengakibatkan kerugian massal yang diderita orang-orang tak bersalah, dan karena itu mereka menuntut agar Metallica meminta maaf.
Tetapi, dari sudut pandang Metallica, tentunya mereka bisa dengan kukuh bertanya, “Apa salah saya?”
Secara objektif—sekali lagi, secara objektif—Metallica memang sulit disalahkan. Mereka datang ke Jakarta karena diundang, dan tugas mereka hanya sebatas konser di atas panggung, sebagai bagian kerja profesional mereka sebagai group musik rock. Manajemen mereka, sehebat apa pun, tentunya tidak bisa menjamin bahwa acara konser itu akan bebas dari kemungkinan kerusuhan. Jika akhirnya kerusuhan timbul karena dipicu kurangnya persediaan tiket dan kapasitas stadion, maka tentu itu bukan salah Metallica.
Maaf—dan permintaan maaf—inilah yang menjadi inti masalah dari kerusuhan yang terjadi pada waktu konser Metallica di Lebak Bulus. Ketika akhirnya manajemen Metallica mengumumkan bahwa mereka tidak akan meminta maaf atas hal itu, masyarakat Indonesia pun geram, dan mengutuk Metallica. Karena maaf—karena mereka tak mau meminta maaf.
Dan, lebih dari itu, karena masyarakat Indonesia sendiri juga tidak mau memaafkan Metallica.
Di dalam hidup manusia, ucapan dan kata maaf sesungguhnya diciptakan sebagai semacam handyplast—ia menambal, menutup, sekaligus mengobati luka kecil yang terasa sakit. Ketika kulit tergores sesuatu dan mengeluarkan darah sehingga menimbulkan perih, handyplast berfungsi mengurangi sakit serta mengobatinya—meski perlahan. Bahkan maaf, sesungguhnya, lebih murah sekaligus mudah, dibanding handyplast. Ia tidak membutuhkan harga, tidak memerlukan biaya.
Tetapi tidak setiap orang dapat memaafkan, tidak setiap orang dapat mengucapkan kata maaf, atau meminta maaf. Tidak setiap orang dapat dengan mudah menyatakan, “Aku salah, maafkan aku.” Dan karena sulitnya meminta serta memberi maaf itu pulalah yang menjadikan manusia semakin tidak tampak seperti manusia. Mereka tidak lagi menyerupai makhluk yang dianugerahi hati, melainkan sosok angkuh, bertubuh batu, menuhankan diri.
Maaf sudah menjadi barang langka pada zaman ini. Sebegitu langkanya, sampai-sampai manusia membutuhkan waktu tertentu hanya untuk meminta maaf. Mereka menunggu sampai setahun, menanti datangnya lebaran, dan kemudian melakukan sesuatu yang seharusnya telah mereka lakukan pada waktu-waktu sebelumnya—meminta maaf. Hanya untuk berkata, “Maafkan aku, lahir dan batin,” kita menunggu sampai satu tahun!
Betapa mahalnya harga maaf. Dan, lebih menyedihkan lagi, betapa angkuhnya kemanusiaan kita.
Lanjut ke sini.