Pdkt sama meneror itu terkadang beda tipis.
—@klaravirencia
—@klaravirencia
“Dijauhi orang yang dicintai, atau didekati orang yang dibenci?” Pertanyaan itu menjadi bahan percakapan saya dengan beberapa teman yang biasa nyangkruk bareng.
Seminggu yang lalu, saya dan empat cowok lain ngobrol-ngobrol sampai larut malam di kafe langganan, dan kemudian Rinto—teman kami—mengajukan pertanyaan itu, “Menurut kalian, lebih baik mana; dijauhi orang yang dicintai, atau didekati orang yang dibenci?”
Itu situasi dilematis. Tentu saja, idealnya, didekati orang yang dicintai dan dijauhi orang yang dibenci. Tapi jika opsinya seperti di atas, kira-kira manakah yang lebih baik?
Sebagai manusia yang tak lepas dari kekeliruan dan kesalahan, kadang-kadang kita berselisih dengan orang lain, apa pun alasan dan bentuknya, dan dari perselisihan itu kadang timbul kebencian. Itu sesuatu yang manusiawi, karena cinta dan benci adalah naluri dasar manusia, orang per orang.
Mungkin memang ada orang yang mampu menghilangkan kebencian dari dalam dirinya, tapi sepertinya kita belum termasuk orang istimewa semacam itu—setidaknya saya dan empat kawan saya. Jadi, ketika Rinto mengajukan pertanyaan itu, kami pun jadi mikir. Mana yang lebih baik; didekati orang yang dibenci, atau dijauhi orang yang dicintai?
Kami pun lalu mengajukan jawaban, serta alasan-alasannya. Satu per satu menceritakan latar belakang jawaban kami, yang ditunjang kisah-kisah yang pernah kami alami. Ada yang menceritakan tentang kawannya, keluarganya, sampai pacarnya, yang semuanya berhubungan dengan perasaan benci dan cinta, serta efek didekati atau dijauhi keduanya.
Saya juga ikut “urun rembug” dengan memberi jawaban versi saya, yang ditunjang pengalaman yang saya alami atas hal itu. Dalam hal ini, jika saya harus memilih dijauhi orang yang dicintai atau didekati orang yang dibenci, maka saya akan memilih dijauhi orang yang dicintai.
Sebenarnya, saya ingin sekali menuliskan semua jawaban serta kisah-kisah teman saya dalam catatan ini, yang berhubungan dengan pertanyaan dilematis di atas, namun itu privasi mereka. Karenanya, agar tidak melanggar privasi mereka, saya hanya akan menuliskan jawaban serta kisah saya sendiri di sini. Karena jawaban ini dilatarbelakangi kisah yang saya alami, tentu saja jawabannya bisa subjektif.
Mengapa saya lebih memilih dijauhi orang yang dicintai, daripada didekati orang yang dibenci? Karena, bagi saya, didekati orang yang dibenci sangat menguras emosi. Efeknya jauh lebih buruk daripada dijauhi orang yang dicintai.
Sebagai cowok, terus terang saja, kadang-kadang saya merasa gagal. Karena, bukannya sering pedekate sama cewek, saya justru lebih sering dipedekate oleh cewek.
Sejujurnya—demi Tuhan dan demi para malaikat yang suci—saya tidak mempermasalahkan kalau ada cewek yang pedekate sama cowok. Sama tidak masalahnya ketika cowok pedekate sama cewek. Itu hal yang lumrah, biasa, dan umum terjadi di kalangan anak-anak muda seperti kita. Yang kadang jadi masalah adalah cara pedekatenya.
Kadang-kadang cowok pedekate ke cewek dengan wajar, namun ada pula yang sangat agresif sampai terkesan meneror, sehingga membuat tidak nyaman.
Kenyataan semacam itu juga terjadi ketika pihak cewek yang pedekate ke cowok—setidaknya, itulah yang kadang saya alami. Dari situlah, biasanya, saya akan jaga jarak dan mundur perlahan-lahan. Jika si cewek tetap tidak paham bahwa saya jaga jarak, saya akan menutup diri darinya. Jika saya sudah menutup diri darinya namun dia terus agresif, tentu wajar kalau saya kemudian merasa terganggu, dan... dari situlah kadang kebencian mulai muncul.
Rumus pedekate yang saya pahami: Dekatilah selama orang yang didekati masih terlihat nyaman. Jika orang yang kita dekati mulai terlihat tidak nyaman—dalam apa pun bentuknya—berhentilah. Karena, jika kita meneruskan usaha kita, bisa jadi dia akan terganggu dan akan membenci kita.
Dulu, waktu masih kuliah, dan masih aktif dalam kehidupan sosial, saya kadang tahu ada cewek yang pedekate ke saya. Tidak masalah—itu hal biasa. Selama pedekate dilakukan dengan wajar dan tidak mengganggu, semua orang tetap merasa nyaman. Bahkan, saya pun tetap menjalin pertemanan dengan cewek-cewek itu, tetap say hello kalau ketemu, tetap membalas SMS-nya dengan manis, tetap asyik cekikikan di telepon kalau mereka menelepon.
Tetapi, kalau pedekate sudah masuk ke tahap yang tidak wajar hingga sampai mengganggu, saya pun akan mulai jaga jarak. Jika mereka meneruskan langkah, saya akan menutup diri. Jika saya sudah menutup diri dan mereka tak peduli, dan terus mengganggu, dari situlah biasanya kebencian mulai muncul.
Oh, well, saya manusia biasa, sama biasanya seperti orang-orang lainnya. Saya punya perasaan, punya emosi, punya hak untuk memiliki privasi dan kenyamanan. Sebagaimana orang lain bisa meledak jika terus diganggu, saya pun begitu. Sebagaimana orang lain bisa membenci orang yang seenaknya melanggar privasinya, saya pun begitu. Semut yang kecil pun akan menggigitmu kalau ia diganggu.
Nah, ketika emosi sudah tersulut akibat terus-menerus diganggu, reaksi saya tak jauh beda dengan orang lainnya. Saya akan meledak, dan lepas kendali. Saya akan menyatakan pada orang yang menganggu, bahwa saya sangat terganggu olehnya, bahwa sebaiknya ia menyingkir dari hidup saya. Kadang-kadang saya menyatakan itu melalui sindiran, kadang-kadang pula secara terus terang jika ia sudah sangat keterlaluan.
Sekali lagi, saya orang biasa, dengan segala hal yang biasa, juga dengan emosi dan perasaan yang biasa. Kalau kita menguras emosi seseorang hingga ia hilang kesabaran, ia pun akan menyemburkan semua kemarahannya kepada kita. Ketika itu terjadi, perasaan yang semula netral bisa berubah menjadi kebencian.
Cinta dan benci adalah emosi kuat manusia. Dan, dalam hal ini, saya lebih memilih dijauhi orang yang saya cintai daripada didekati orang yang saya benci. Ketika kita dijauhi orang yang dicintai, masalahnya selesai. Setidaknya, kita bisa menganggap masalahnya sudah selesai. Kita mencintai seseorang, dan dia menjauhi kita. Enough. Tidak masalah.
Bahkan, ketika dijauhi orang yang kita cintai, kadang-kadang kita mulai mengenal sisi baik dalam diri kita yang sebelumnya tidak kita kenali. Pada waktu-waktu itulah kita mulai mengenal kerinduan, mulai belajar cara melihat sisi baik orang lain (orang yang kita cintai), juga mulai belajar menahan diri, mengendalikan emosi, serta cara menghargai orang lain. Artinya, dijauhi orang yang kita cintai kadang memberikan efek positif. Setidaknya bagi saya.
Sebaliknya, didekati orang yang dibenci sangat menguras emosi. Dan ketika itu terjadi, efek yang ditimbulkan juga destruktif. Pada waktu-waktu itulah kita mengenali sisi-sisi negatif pada diri kita, yang mungkin semula tidak kita kenali. Akibat terganggu oleh orang yang kita benci, kita mulai melihat kejelekan orang lain (orang yang kita benci), dan mulai kesulitan mengendalikan emosi akibat terus terganggu olehnya.
Dalam sisi sebaliknya, kita juga akan bisa melihat seperti apa sesungguhnya orang yang telah pedekate, atau yang telah menyatakan cinta kepada kita. Jika seseorang pedekate ke kita, atau menyatakan cinta kepada kita, kemudian kita menolaknya, kita akan bisa melihat seperti apa asli orang itu. Jika dia tetap menyatakan hal-hal baik tentang kita, maka kita bisa yakin dia memang orang baik, dan bisa jadi kita akan bersimpati kepadanya.
Sebaliknya, jika dia kemudian menjelek-jelekkan kita, mengumbar kemarahannya di mana-mana, memburuk-burukkan kita pada siapa pun yang mau mendengarnya, maka kita pun bisa menilai seperti apa sesungguhnya pribadinya, dan—tentu saja—kita akan bersyukur karena telah menjauh dari orang semacam itu.
Sekali lagi, inilah rumus pedekate yang saya pahami: Dekatilah selama orang yang didekati masih terlihat nyaman. Jika orang yang kita dekati mulai terlihat tidak nyaman—dalam apa pun bentuknya—berhentilah. Karena, jika kita meneruskan usaha kita, bisa jadi dia akan terganggu dan justru akan membenci kita.
Dan didekati orang yang dibenci, bagi saya, jauh lebih buruk daripada dijauhi orang yang dicintai.