Kamis, 23 Mei 2013

Lonte

Masalah kita, persepsi tidak hanya terbentuk karena
suatu materi atau sistem nilai, tetapi juga dapat dimanipulasi.
@noffret 


Di Twitter, pernah ada twitwar yang berdarah-darah antara seorang cewek dengan seorang cowok. Twitwar itu sangat ramai dan berlangsung sampai berhari-hari, hingga saya—yang bisa dibilang cupu di Twitter—ikut mengetahuinya. Kedua pihak saling menyerang, saling mengumpat, saling mengata-ngatai, sementara “supporter” mereka memberi dukungan lewat mention atau me-retweet umpatan-umpatan mereka.

Sekali lagi, twitwar itu sangat berdarah-darah, hingga umpatan “Dasar lonte!” muncul berkali-kali, yang ditujukan sebagai serangan ke pihak cewek. Sebegitu fasihnya si cowok menyebut kata itu, dan begitu seringnya kata itu muncul dalam makiannya, hingga saya pikir orang yang menjadi follower si cowok akan percaya kalau si cewek yang dimakinya memang pantas disebut begitu.

Karena penasaran, saya pun menelusuri akar peperangan mereka di Twitter, ingin tahu apa penyebab hingga kedua orang itu berperang sampai begitu parah.

Saya membaca timeline si cowok, juga timeline si cewek, berharap bisa menemukan akar masalah mereka. Di timeline si cowok, saya tidak bisa menemukan akar yang saya cari. Di timeline itu buntu—transkripnya tidak lengkap—dan twitwar itu muncul sekonyong-konyong. Artinya, si cowok telah menghapus akar peperangan mereka di timeline-nya, apa pun alasannya. 

Lalu saya beralih ke timeline si cewek. Di timeline si cewek, transkripnya lengkap. Dari awal sebelum twitwar terjadi, sampai twitwar itu meletus, semuanya masih ada, dan siapa pun bisa membacanya untuk mengetahui akar masalah mereka. Bahkan, di timeline si cewek juga ada RT (reply to/retweet yang menggunakan copy-paste dan dilengkapi komentar) terhadap isi tweet si cowok yang telah dihapus dari timeline si cowok.

Jadi, berdasar transkrip di timeline—juga dari cerita yang saya dapat dari para “supporter” twitwar itu—peperangan di Twitter itu dimulai dari pernyataan cinta si cowok kepada si cewek. (Sepertinya mereka telah saling kenal di luar Twitter). Kedengarannya remeh, eh? Tetapi dari hal remeh itulah peperangan yang sangat mengerikan sekaligus memalukan terjadi di Twitter, hingga siapa pun bisa mengetahuinya.

Si cowok menyatakan cinta pada si cewek, namun si cewek tidak menanggapi. Karena si cewek tidak memberi tanggapan, si cowok meminta jawaban via Twitter. Si cewek tetap tidak menanggapi. Si cowok terus meminta, hingga terkesan memaksa. Si cewek jadi terganggu, dan kemudian menulis tweet yang mungkin bikin si cowok tersinggung. Lalu perang dimulai. Dari saling sindir hingga saling maki. Setelah itu, timeline mereka berubah menjadi arena perang yang berdarah-darah.

Orang-orang di Twitter yang mengetahui twitwar itu pun penasaran, dan beberapa ada yang bertanya pada si cowok, “Kenapa, bro?”

Si cowok, dengan gaya tanpa dosa, menjawab, “Dia mencaci maki saya!”

Tetapi dia tidak menjelaskan mengapa si cewek sampai “mencaci maki dirinya” sebagaimana yang dikatakannya. Dengan cara itu, dan dengan segala penjelasan versinya, dia jadi tampak sebagai pihak yang benar, dan si cewek ada di pihak yang salah.

Kalian paham yang saya maksudkan...? Si cowok telah mengorupsi rangkaian peristiwa peperangan mereka. Dengan kata lain, dia tidak menyebutkan awal masalah yang membuat si cewek “mencaci maki dirinya”, dan membuat kesan kalau dirinya hanyalah korban tak bersalah dalam peperangan itu. Hal itu juga terbukti dari rangkaian tweet di timeline-nya yang telah ia hapus, yang merupakan awal peperangan mereka.

Jika dia memang adil, mestinya dia jujur menyebutkan bahwa akar masalah mereka berawal dari pernyataan cintanya yang tidak ditanggapi si cewek. Tapi tidak—dia tidak menyebutkan fakta itu—dia mengorupsi kebenaran yang seharusnya ia katakan, dan menampilkan dirinya seolah korban yang tak bersalah.

Inilah akar segala macam masalah, pertengkaran, kebencian, permusuhan, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Korupsi kebenaran. Karena orang mengorupsi kebenaran, dan tidak mau mengakui kesalahan dirinya, tapi justru mengesankan dirinya sebagai korban yang tak bersalah. Padahal, setiap kali pertengkaran terjadi di bawah langit, pertengkaran itu terjadi karena sebab, dan kita harus menelusuri akar penyebabnya untuk benar-benar tahu mana yang benar dan mana yang salah.

Semula, dalam twitwar itu, si cewek lebih memilih diam, tidak menanggapi caci-maki si cowok. Mungkin, pikirnya, orang akan tahu siapa yang benar dan siapa yang salah dengan hanya membaca timeline mereka, sehingga dia tak mau repot-repot menanggapi ajakan twitwar si cowok. Tetapi, setelah si cowok berkali-kali memaki “Lonte!”, si cewek jadi meradang. Dia pun balas memaki, dan twitwar terjadi.

Tetapi telah terjadi korupsi kebenaran di sini. Si cowok telah menghapus tweet di timeline-nya, yang merupakan asal muasal twitwar mereka. Akibatnya, orang-orang yang tidak tahu (dan tidak mau repot menelusuri akar masalah mereka) akan mengira bahwa si ceweklah yang bersalah, sedang si cowok hanya korban. Hal itu terlihat dari para supporter si cowok (yang jauh lebih banyak) yang ikut memaki si cewek dengan umpatan yang sama, “Yeah, dasar lonte!”

Sekarang, tanpa bermaksud menjadi hakim, mari kita dudukkan persoalan, agar kita sama-sama tahu betapa bahayanya korupsi kebenaran.

Berdasarkan kronologi lengkap di timeline, beginilah yang terjadi. Si cowok menyatakan cinta pada si cewek. Si cewek tidak menanggapi. Tanpa kepekaan, si cowok terus meminta tanggapan, hingga terkesan memaksa.

Karena merasa terganggu, si cewek menyindir perilaku si cowok. Tapi si cowok tak peduli, bahkan makin menjadi-jadi. Si cewek mendiamkan. Karena merasa dicueki, si cowok tersinggung, lalu mulai memaki. Si cewek masih berdiam diri, tak menanggapi. Si cowok mungkin makin panas, hingga keluar umpatan “Lonte!” berkali-kali. Si cewek tak terima diumpat seperti itu, lalu meradang, dan twitwar terjadi.

Berdasarkan kronologi tersebut, siapakah yang bersalah? Mungkin keduanya sama-sama bersalah. Tetapi si cowok jauh lebih bersalah, karena dia mengorupsi kebenaran. Dia menghapus tweet di timeline-nya yang menjadi penyulut pertengkaran mereka, dan—ketika ditanya mengapa pertengkaran itu terjadi—dia tidak menjelaskan masalahnya secara utuh, selain hanya menyebut, “Dia mencaci maki saya!”

Padahal, jika kita mau jujur pada diri sendiri, sebenarnya siapa yang lebih dulu bikin gara-gara? Cowok yang sakit hati karena cintanya ditolak, ataukah cewek yang marah karena dimaki lonte?

Jatuh cinta dan patah hati adalah hal biasa—begitu pula diterima atau sebaliknya. Sakit hati dan bersikap norak karena ditolak adalah perilaku kampungan. Memaki-maki cewek sebagai lonte hanya karena dicueki sungguh keterlaluan. Dan, di atas semuanya itu, mengorupsi kebenaran adalah cara ampuh menyalakan api neraka yang padam.

Oh, well, setiap orang menyimpan api neraka di dalam dirinya, sebagaimana setiap orang menyimpan teduh surga di dalam dirinya. Api itu padam, dan teduh itu tersimpan. Tinggal bagaimana kita memperlakukan orang lain, itu akan menyalakan api neraka miliknya, atau membukakan keteduhan surga di dalam hatinya. Setiap manusia bukan malaikat, meski juga bukan iblis. Tetapi ia bisa lebih mulia dibanding malaikat atau lebih mengerikan dibanding iblis, tergantung sikap dan perilaku kita pada mereka.

Jadi, kawan-kawan, setiap kali kita mendengar orang menjelek-jelekkan orang lain, setiap kali kita melihat orang memburuk-burukkan orang lain, tak perlu buru-buru percaya. Bisa jadi orang yang dijelek-jelekkan dan diburuk-burukkan itulah yang benar, dan yang menjelek-jelekkan itulah yang salah. Bisa jadi orang yang menjelek-jelekkan itu telah mengorupsi kebenaran yang seharusnya kita dengar, dan menampilkan dirinya seolah korban yang tak bersalah.

Setiap kali terjadi pertengkaran dan permusuhan di bawah langit, selalu ada akar penyebab, awal mula pencetusnya. Orang tidak akan membenci tanpa sebab, orang tidak akan mencaci-maki tanpa provokasi. Menjelek-jelekkan dan memburuk-burukkan orang lain dengan cara mengorupsi kebenaran adalah perilaku yang sangat menjijikkan. Lebih menjijikkan lagi jika hal itu dilakukan di belakang punggung orang yang dijelek-jelekkannya. Oh, well, itulah perilaku lonte yang sesungguhnya.

 
;