Rabu, 15 Mei 2019

Kisah Si Bedebah

Ngobrol sama bocah.

Aku: Howone semromong.
Dia: Semromong kabeh, sak dunyo.
Aku: Yo ora sak dunyo. Antartika wae mesti tetep adem.
Dia: Uhm... Antartika kuwi opo?
Aku: Antartika kuwi Kutub Selatan.
Dia: Ooh. Lha nang kono, agamane opo, kok iso adem?

Percakapan pun terhenti.


Di lingkungan tempat saya tinggal, ada lelaki yang populer dengan sebutan Si Bedebah. Saya tidak perlu menyebutkan nama aslinya, tapi orang-orang menyebutnya Bedebah.

Bedebah adalah lelaki berusia 35-an, dan tergolong “kurang genap” pikirannya. Maksud saya begini. Andai kapasitas otak yang dimiliki orang-orang normal/waras adalah 100 persen, maka kapasitas otak Bedebah mungkin sekitar 70-80 persen. Jadinya kurang genap atau kurang penuh.

Karena kondisi itu pula, Bedebah menunjukkan perilaku yang berbeda dengan umumnya orang lain yang kapasitas otaknya genap atau benar-benar penuh—atau, dengan kata lain, waras/normal. Sebenarnya, Bedebah juga bisa disebut waras atau normal, tapi ya itu tadi... kurang genap—kalau kau paham maksud saya.

Semua orang di lingkungan saya tinggal mengenal Bedebah. Karena dia sosok yang ramah pada siapa saja. Bukan hanya ramah, dia bahkan memiliki kemampuan berkomunikasi dengan siapa pun—dari anak-anak sampai orang tua, dari pejabat kelurahan sampai masyarakat biasa—bahkan bisa langsung akrab dengan orang asing mana pun yang ditemuinya.

Seiring perjalanan waktu, saya pun tahu kalau Bedebah “kurang genap”. Hal itu saya tahu dari para tetangga, juga dari interaksi yang terjadi antara saya dengannya. Dalam hal itu, saya tidak mempermasalahkan kondisi Bedebah. Dia orang baik, tidak pernah mengganggu atau membuat masalah, dan itu saja sudah cukup.

Bahkan, sejujurnya, saya sering iri campur kagum pada kemampuan Bedebah dalam menjalin interaksi dengan orang lain. Dia seperti tak punya rasa canggung atau ragu-ragu saat menyapa siapa pun, sehingga bisa berkomunikasi dengan siapa saja, dengan mudah. Karena hal itu pula, orang-orang pun selalu “welcome” setiap kali melihat Bedebah, karena menganggapnya orang ramah.

Itu benar-benar kemampuan yang tidak saya miliki, yang sangat ingin saya miliki. Kadang-kadang, saat melihat Bedebah sedang asyik mengobrol dengan seseorang, dan mereka tampak tertawa-tawa, saya membayangkan untuk mengurangi kapasitas otak saya agar “kurang genap” seperti dirinya—entah bagaimana caranya.

Sore hari, kalau pas selo, saya kadang duduk di depan rumah sambil udud, dan kadang Bedebah lewat. Biasanya, kalau melihat saya di depan rumah, dia akan berhenti, lalu mengajak saya mengobrol. Dia pernah tanya, “Kamu tinggal sendirian di rumah besar kayak gini, pasti sering lihat penampakan, ya?”

Saya menjawab, “Nggak pernah.”

Dia menunjukkan ekspresi tidak percaya. “Ah, yang bener? Pasti sering lihat penampakan!”

“Nggak pernah,” saya menegaskan.

“Ah, bohong. Pasti sering!”

Dia terus memaksa agar saya mengakui sering melihat penampakan, meski saya tetap kukuh mengatakan tidak pernah.

Ketika itu, ada tetangga-tetangga yang juga lewat di depan rumah saya. Dan setiap kali ada tetangga lewat, Bedebah akan menghentikannya, lalu berkata pada si tetangga, “Eh, tahu nggak, ternyata Hoeda sering melihat penampakan di rumahnya!”

Si tetangga, yang tahu siapa Bedebah, biasanya cuma tertawa atau menyetujui apa pun yang dikatakan Bedebah. Ada pula yang sengaja—meminjam istilah Jawa—ngonggrong, dengan maksud agar Bedebah makin semangat menjelaskan ceritanya. Dan dia terus melakukan hal itu setiap kali ada tetangga lewat, tak peduli pria maupun wanita. Hanya dalam waktu singkat, orang sekampung tahu kalau saya “sering melihat penampakan di rumah”.

Benar-benar bedebah!

Percakapan soal “melihat penampakan” itu terjadi beberapa tahun lalu. Saya pikir, dia sudah lupa dengan hal itu. Ternyata tidak! Tempo hari, waktu ada tukang batu di rumah saya yang merenovasi ruangan buku, Bedebah datang. Dia melihat-lihat para tukang bekerja, memperhatikan ruangan di rumah saya, lalu bertanya dengan tanpa dosa, “Jadi, di mana kamu biasanya melihat penampakan?”

Sekarang saya paham kenapa dia disebut Bedebah!

Tampaknya, setiap orang di lingkungan saya punya kisah masing-masing terkait Si Bedebah, seperti yang saya alami. Dan hal itu, mungkin, yang membuat kami punya semacam “ikatan emosional” dengan Bedebah—suatu perasaan yang tidak kami miliki pada sembarang orang. Berinteraksi dengan Bedebah artinya menghadapi kemungkinan mengejutkan yang bisa membuat kami cekikikan, meski kemungkinan itu benar-benar bedebah.

Seperti yang saya alami kemarin malam. Bersama para tetangga, saya salat tarawih di musala. Bedebah juga tarawih di sana, meski dia sering terlihat keluar masuk musala dengan santai, seolah musala itu miliknya.

Kemarin malam, usai tarawih rampung, saya buru-buru pulang, karena dikabari ada tamu yang menunggu di depan rumah. Jadi, saya langsung keluar musala begitu salat witir selesai, sementara jemaah yang lain masih duduk di musala, membaca doa kamilin (doa usai tarawih).

Di depan musala, dengan agak buru-buru, saya memakai sandal yang saya pikir milik saya, karena bentuknya sama dengan sandal yang saya pakai ke musala. Tetapi, saat sampai di gerbang musala, saya merasa sandal itu bukan milik saya—rasanya berbeda dengan sandal yang biasa saya pakai. Saya pun berhenti, dan memperhatikan sandal itu. Akhirnya saya yakin, itu bukan sandal saya, meski bentuknya sama. Lalu saya berbalik masuk lagi, bermaksud mengganti sandal yang benar.

Ketika saya berbalik dan sedang melangkah menuju tempat sandal, Bedebah kebetulan juga baru sampai di sana. Ketika melihat saya berdiri di tempat sandal, dia bertanya dengan nada prihatin, “Waduh, kamu baru datang, ya? Sayang sekali, tarawihnya sudah selesai.”

Saya, yang sedang sibuk mencari sandal, belum sempat menyahut ucapannya.

Dan Bedebah melanjutkan, “Apa kita perlu minta imamnya mengulang tarawih, biar kamu bisa salah tarawih?”

Sebelum sempat saya mengatakan apa pun, Bedebah sudah nyelonong ke pintu musala, dan berkata dengan lantang—seolah dia si pemilik musala, “Ini Hoeda minta tarawihnya diulang, soalnya dia baru datang.”

Serentak, orang-orang di musala menengok ke arah saya yang sedang berdiri di tengah-tengah hamparan sandal.

Saya merasa ingin mati detik itu juga.

 
;