Senin, 20 Mei 2019

Perempuan-Perempuan Perkasa di Korea

Perempuan mungkin diciptakan ketika langit sedang hujan, 
atau ketika angin cemburu pada hening rembulan.


Kalau keluyuran ke Korea Selatan, jangan hanya menyusuri pusat kota sambil berharap ketemu oppa. Sambagilah salah satu tempat terindah dan paling syahdu di Korea Selatan, bernama Cheju Do. Itulah tempat paling makmur dan paling aman di Korea Selatan, dengan penduduk yang ramah-tamah. Saking makmurnya, di sana tidak ada pengemis, dan tidak ada kejahatan.

Cheju Do atau Pulau Cheju adalah pulau yang terletak di ujung selatan Korea Selatan. Sebagai pulau vulkanik, Pulau Cheju menyimpan jejak lava berusia sekitar 2 juta tahun, yang kini mewujud dalam pemandangan luar biasa. Di tengah pulau ada gunung tertinggi di Korea, yakni Mount Halla (1.950 meter di atas permukaan laut). Dari puncaknya, kita bisa menatap seluruh pulau yang hanya seluas 1.845 km persegi.

Di sekitar lereng, berbagai flora tumbuh, sementara hewan-hewan berkeliaran bebas dan berdekatan dengan manusia, seolah di kebun binatang. Sementara di kaki gunung, padang rumput menghampar luas, dengan hewan-hewan ternak digembalakan.

Di bawah, terdapat pantai yang bersih dan indah, dan di pantai itulah perempuan-perempuan paling perkasa di dunia menunjukkan kehebatannya.

Di Pulau Cheju, patriarki sudah lama mati.

Pencari nafkah di Pulau Cheju adalah perempuan, dan mereka mencari nafkah dengan cara yang sangat indah, memukau, sekaligus berbahaya. Setiap hari, perempuan-perempuan di sana menyelam ke dasar laut yang jernih untuk menangkap abalone, sejenis siput laut bercangkang keras, yang merupakan seafood paling mahal di dunia.

Sekadar FYI, abalone adalah makanan laut langka yang sangat bernilai, lebih mahal dari lobster bahkan kaviar! Masakan abalone biasa disantap para miliuner di Asia, semacam lobster di Eropa.

Di Pulau Cheju, abalone hidup di dasar laut, dan para perempuan “memanen” abalone dengan menyelami lautan. Dalam proses penyelaman itu, mereka hanya berbekal baju selam karet, goggle (kacamata selam), keranjang di bahu, dan sekop mini di tangan. Tanpa alat bantu pernapasan, tapi perempuan-perempuan itu bisa bertahan di dalam air hingga 3 menit.

Biasanya, mereka bekerja secara kelompok, 3-4 orang, yang menyebar di beberapa titik lokasi. Setelah lokasi pencarian ditentukan, mereka pun menyelam ke kedalaman 12-20 meter di bawah laut, dan mulai mencari abalone. Gerakan mereka sangat lincah, liat, dan—tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan, kecuali—perkasa. Di permukaan laut yang sangat jernih, perempuan-perempuan itu bisa disaksikan “menari” di kedalaman laut, seolah mereka bisa bernapas di sana.

Kalian mungkin membayangkan mereka perempuan-perempuan muda yang memang bertubuh kuat, liat, dan lentur? Salah!

Perempuan-perempuan penyelam di Pulau Cheju, yang mampu menyelam hingga tiga menit tanpa alat bantu pernapasan, rata-rata berusia 50 tahun ke atas. Sebagian mereka bahkan ada yang berusia 60 bahkan 70 tahun! Karena itulah, tidak ada kata yang lebih tepat digunakan, selain “perkasa”. Dalam bahasa lokal, mereka disebut Haenyo.

Di kedalaman laut, mereka mencari abalone dengan sekop mini yang mereka bawa. Abalone yang tertangkap lalu dimasukkan ke keranjang di punggung mereka.

Meski mungkin terdengar mudah, kenyataannya mencari abalone di dalam laut bukan pekerjaan mudah. Pertama, abalone sulit ditemukan, karena langka. Kedua, abalone adalah hewan laut yang sangat berbahaya. Jika salah memegangnya, cangkang abalone akan menutup dengan cepat, dan menjepit tangan. Terjepit cangkang abalone bisa menimbulkan cacat seumur hidup, bahkan kematian.

Karenanya, menyelam untuk mencari abalone tidak hanya membutuhkan kekuatan dan kelincahan, tapi juga keterampilan. Karena itu pula, sajian abalone di restoran-restoran elite harganya luar biasa mahal.

Rata-rata, para perempuan di Pulau Cheju menyelam sekitar 3-4 jam setiap hari, dan mereka melakukannya sekitar 7-10 hari dalam sebulan. Di luar waktu-waktu itu... apa yang mereka lakukan? Macam-macam, ada yang mengelola kafe, restoran, hotel, dan berbagai usaha lain. Sebagian mereka bahkan memiliki vila-vila indah yang biasa digunakan untuk bersantai.

Jangan salah, perempuan-perempuan penyelam itu kaya-raya, dan menjadi warga terhormat di Korea Selatan. Rumah mereka rata-rata luas dan mewah di pusat kota, meski mereka tinggal di tepi pantai. Rata-rata mereka juga punya bisnis yang memungkinkan keluarga mereka berkelimpahan, dan anak-anak mereka mengenyam pendidikan sampai tinggi.

Jika para perempuan itu bekerja sedemikian keras, lalu ke mana para laki-laki yang menjadi suami mereka? Para suami berdiam di rumah, mengurus rumah tangga, dari memasak sampai membersihkan rumah! Karena itulah, seperti yang disebut tadi, patriarki sudah lama mati di Pulau Cheju.

Sekian abad yang lalu, Korea Selatan menjadi negara yang sangat patriarkis. Kaum laki-laki ditempatkan sebegitu tinggi, sementara kaum perempuan ditempatkan sedemikian rendah. Upah pekerja laki-laki sangat besar, upah pekerja perempuan sangat kecil. Laki-laki juga mendapat berbagai fasilitas—misal layanan publik—yang tidak didapat perempuan. Lebih dari itu, pajak yang ditetapkan pada kaum laki-laki jauh lebih tinggi, dibanding pajak yang ditetapkan pada perempuan.

Karena harus membayar pajak sangat tinggi, kaum laki-laki di Korea Selatan seperti berlari dalam tong setan, hanya berputar-putar tapi tak sampai ke mana pun. Semakin banyak penghasilan mereka, pajak mereka semakin besar. Akibatnya, penghasilan bersih mereka sangat minim, dan hal itu berakibat pada sulitnya memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Di sisi lain, perempuan hanya dikenai pajak yang kecil. Karenanya, meski penghasilan mereka lebih kecil, tapi hasil yang diperoleh (penghasilan bersih) lebih besar daripada laki-laki.

Sekian abad yang lalu, banyak laki-laki di Pulau Cheju yang bekerja sebagai nelayan. Karena harus membayar pajak yang besar, istri mereka pun berinisiatif mencari uang tambahan, dengan cara menyelam ke laut, mencari berbagai hasil laut yang bisa dijual. Belakangan, hasil yang diperoleh para perempuan tersebut jauh melebihi hasil kaum laki-laki.

Sejak itu, perempuan-perempuan Pulau Cheju pun alih profesi menjadi penyelam, sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Sementara laki-laki tinggal di rumah, mengambil alih pekerjaan wanita, mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, dan ngemong anak. Itu jauh lebih baik, daripada bekerja keras tapi hasilnya cuma cukup untuk bayar pajak.

Dari situlah, tradisi menyelam para perempuan di Pulau Cheju menggeser nilai lama, dan patriarki perlahan-lahan mati.

Memasuki abad ke-19, kebiasaan perempuan-perempuan laut itu pun diwariskan dari generasi ke generasi. Dan kini, perempuan-perempuan Cheju mendapat tempat terhormat sebagai “kepala keluarga”.

Sejak era ‘70-an, hasil tangkapan para perempuan di Pulau Cheju mendapat pasar tetap, terutama untuk ekspor ke Jepang. Harga makanan laut itu semakin melejit naik. Uang pun mengalir ke kantong perempuan-perempuan perkasa di Cheju. Memungkinkan mereka untuk meningkatkan taraf hidup, membangun rumah baru, menyekolahkan anak-anak, bahkan menabung untuk masa depan.

Berbeda dengan jutaan perempuan lain di dunia yang harus bekerja 8 jam setiap hari, perempuan-perempuan di Pulau Cheju hanya bekerja 3-4 jam dalam sehari, dan rata-rata mereka hanya bekerja 7 hari dalam sebulan. Tapi mereka mendapat penghasilan sangat besar, hingga mampu membangun bisnis, dari usaha penginapan sampai restoran.

Kini, Pulau Cheju menjadi tempat paling makmur sekaligus paling aman di Korea Selatan. Hal itu, ditunjang dengan keindahan alamnya yang luar biasa, menjadikan Pulau Cheju sebagai destinasi para wisatawan. Para turis yang datang ke sana selalu takjub menyaksikan perempuan-perempuan yang menyelam dengan lincah dan indah, seolah sedang berlomba di Olimpiade.

Sekadar saran, jika ingin ke sana, datanglah saat musim semi (Maret-Mei) atau saat musim gugur (September-November). Di saat-saat itu, keragaman flora di Pulau Cheju sangat memukau, hingga siapa pun tak ingin pulang.

 
;