Pengalaman terbaik adalah pengalaman yang diceritakan secara jujur.
Itu menjadi guru terbaik bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.
Kita tentu sering mendengar ungkapan, “Pengalaman adalah guru terbaik.” Ungkapan itu benar, karena banyak orang belajar dari pengalaman, sehingga dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik. Tetapi, sayang, pengalaman juga guru yang sangat mahal, dan—dalam beberapa hal—sangat berbahaya.
Teman saya, Dewi, mendapat pengalaman yang memberi pelajaran, yang pasti tidak akan ia lupa seumur hidup. Tetapi, untuk mendapat pelajaran itu, Dewi harus menginap di rumah sakit sampai berhari-hari.
Ceritanya, Dewi berboncengan motor dengan adiknya, Evi, pergi ke suatu tempat. Evi duduk di belakang Dewi. Mereka sudah biasa melakukan aktivitas itu—berboncengan motor—dan mereka tidak pernah menyadari sesuatu yang sangat berbahaya.
Evi biasa mengenakan gaun panjang, dan dia membonceng di jok motor dengan duduk menyamping. Tanpa setahu Dewi maupun Evi, gaun panjang yang dikenakan Evi rupanya menutupi lampu belakang motor. Kenyataan itu pasti telah sering mereka alami, tapi keduanya tidak pernah menyadari.
Lalu tiba hari petaka. Suatu siang, saat keduanya melaju berboncengan seperti biasa, Dewi bermaksud membawa motor ke kanan. Untuk tujuan itu, dia pun menyalakan lampu sein kanan. Lampu sein berkedip normal. Tetapi, karena lampu belakang tertutup pakaian yang dikenakan Evi, lampu sein yang berkedip itu tidak terlihat. Atau, setidaknya, tidak dapat terlihat jelas.
Kebetulan, dari arah belakang, ada sepeda motor lain yang sedang melaju kencang. Si pengendara, seorang lelaki, tampaknya tidak melihat lampu sein yang menyala di depannya. Akibatnya, ketika Dewi membawa motornya ke kanan, lelaki itu terkejut. Lanjutannya bisa ditebak. Lelaki itu, mungkin karena kesulitan mengerem laju motor, menabrak motor Dewi.
Dewi dan Evi jatuh menghantam aspal, begitu pula si penabrak. Karena kecelakaan itu pula, Dewi mengalami luka parah, hingga harus menginap di rumah sakit. Evi, adiknya, hanya mengalami luka ringan. Begitu pula lelaki yang menabrak mereka, juga hanya mengalami luka ringan.
Dalam hal itu, si penabrak mengaku, sama sekali tidak melihat lampu sein motor Dewi yang menyala, karena lampu itu tertutup pakaian yang dikenakan Evi. Karenanya, dia sangat terkejut, hingga tak dapat mengerem laju motor, ketika tiba-tiba melihat motor Dewi memotong jalan ke arah kanan.
Sejak peristiwa itu, setiap kali mengendarai motor, Dewi akan memastikan Evi—atau siapa pun yang memboncengnya—merapikan pakaian yang dikenakan, agar tidak sampai menutupi lampu belakang motor. Dewi tidak akan menjalankan sepeda motor, sampai dia yakin hal itu. Bagaimana pun, keselamatan mereka yang menjadi taruhan.
Peristiwa yang dialami Dewi tentu pengalaman yang memberi pelajaran sangat baik dan berharga. Sebegitu baik dan berharga, sampai Dewi bisa dipastikan akan mengingat seumur hidup. Tetapi, itu juga pengalaman yang sangat mahal, sekaligus berbahaya. Mahal, karena harus mengalami kecelakaan terlebih dulu untuk memahami pelajaran tersebut. Juga berbahaya, karena... bagaimana kalau yang menabrak bukan sepeda motor, tapi mobil atau bus yang melaju kencang?
Tetangga saya mengalami peristiwa serupa, yang lebih berbahaya. Kali ini sepasang suami istri. Kasusnya mirip yang dialami Dewi dan Evi, yaitu pakaian panjang yang dikenakan si istri. Ketika sedang melaju di atas sepeda motor, kain panjang si istri masuk ke rantai motor, dan sepeda motor mereka terbanting ke aspal.
Meski tidak ada kendaraan lain yang menabrak mereka, efek kecelakaan itu tidak seringan yang mungkin kita kira. Gara-gara kecelakaan itu, tulang kaki si suami patah. Bahkan, sampai saya menulis catatan ini, masalah yang diderita si suami akibat patah tulang kaki belum bisa dibilang sembuh. Sementara si istri, yang membonceng, mengalami luka-luka.
Sama seperti Dewi dan Evi, tetangga saya yang mengalami kecelakaan juga selalu mengingat peristiwa tersebut sebagai pelajaran penting. Dia bahkan mengingatkan orang-orang lain agar waspada saat berkendara, khususnya jika mengenakan pakaian panjang, “Pastikan pakaianmu tidak menyentuh rantai motor, karena akibatnya bisa berbahaya.”
Dewi maupun tetangga saya mendapatkan pelajaran penting dari guru terbaik, yaitu pengalaman. Sayang, dalam kasus mereka, pengalaman yang menjadi guru terbaik itu membutuhkan harga mahal, bahkan harus mempertaruhkan keselamatan jiwa. Karena itu, saya pun ikut menjadikan pengalaman mereka sebagai guru, agar juga berhati-hati saat berkendara. Meski saya tidak mengalami pengalaman mereka, setidaknya saya bisa ikut memetik pelajaran. Bagaimana pun, pengalaman adalah guru terbaik, meski dialami orang lain.
Mengapa saya terpengaruh untuk ikut memetik pelajaran dari pengalaman yang dialami Dewi atau tetangga saya? Karena saya melihat langsung dampak yang terjadi. Saya melihat Dewi terkapar di rumah sakit akibat luka yang parah, sebagaimana saya menyaksikan tetangga saya tidak bisa berjalan normal sampai sangat lama, akibat kecelaaan yang dialami. Karena melihat langsung akibat yang terjadi, saya ikut belajar. Meski saya tidak mengalami.
Sayang, dalam hal ini, saya kadang naif, sebagaimana mungkin orang-orang lain. Ada kalanya, orang memberitahukan atau menceritakan pengalaman yang mereka alami, dengan harapan agar kita ikut belajar dari pengalaman mereka. Tetapi, karena tidak melihat dampak langsung dari pengalaman mereka, kita tidak memperhatikan, dan tidak belajar.
Pada waktu SMA, saya punya guru sejarah yang bijaksana. Bertahun-tahun lalu, di depan kelas, dia berkata pada kami, murid-muridnya, “Saat ini, usia saya 40 tahun. Jika saya bisa dilahirkan kembali, hal pertama yang akan saya ingat adalah menghargai waktu. Dulu, saat masih remaja seusia kalian, saya membuang-buang waktu untuk hal-hal tak berguna, dan sekarang saya sangat menyesal. Tapi penyesalan yang saya alami tentu tak berguna, karena semua telah terjadi, dan masa muda saya sudah hilang.”
Setelah terdiam sejenak, dia menatap kami, dan melanjutkan, “Karena itu, mumpung kalian masih muda, ingat-ingatlah untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Karena, jika kalian membuang-buang waktu tanpa guna seperti yang saya lakukan, kalian akan sangat menyesal, kelak saat kalian mulai tua. Ketika penyesalan itu datang, kalian akan mengingat yang saya katakan hari ini.”
Yang dikatakan guru saya tentu benar, karena berdasarkan pengalaman. Tetapi, ironisnya, kami—setidaknya saya—tidak belajar dari pengalamannya. Pada waktu SMA, bahkan hingga masa-masa kuliah, saya masih suka membuang-buang waktu untuk hal-hal tak berguna. Nongkrong semalaman, jalan-jalan tanpa tujuan, dan semacamnya. Selama waktu-waktu itu, saya bahkan lupa pada yang dikatakan guru saya di SMA.
Kini, ketika benar-benar telah dewasa, sejujurnya saya sangat... sangat menyesal. Menyesal, karena tidak mengingat yang dikatakan guru saya, menyesal karena telah membuang banyak waktu untuk hal-hal tak berguna, menyesal karena waktu tak bisa diundur kembali, dan menyesal karena menyadari betapa banyak waktu yang telah saya buang sia-sia. Dan ketika penyesalan itu datang, saya baru ingat yang dikatakan guru di SMA bertahun-tahun lalu—tepat seperti yang dikatakannya.
“Ketika penyesalan itu datang, kalian akan mengingat yang saya katakan hari ini.”
Mengapa dulu saya tidak mengingat dan belajar dari pengalaman yang diceritakan guru di SMA? Mungkin, karena saya tidak melihat dampak atau akibat langsung dari yang ia ceritakan. Ketika menceritakan pengalamannya, guru saya tampak sehat, waras, dan terlihat baik-baik saja. Akibatnya, mungkin, dampaknya “kurang dramatis”—setidaknya bagi saya—sehingga kami tidak tertarik untuk langsung belajar dari pengalamannya.
Padahal, dampak yang dialami guru saya memang tidak terlihat, karena tersimpan dalam hati dan pikiran, juga dalam penyesalan. Seperti yang saya alami sekarang. Saat ini, meski wujud luar saya tampak baik-baik saja, tapi ada dampak tertentu yang tergurat dalam pikiran saya, berupa penyesalan yang amat dalam. Penyesalan akibat dulu membuang-buang waktu seenaknya, padahal waktu tak bisa dibeli, dan tak bisa diulang lagi.
Sekarang, umpama saya menjadi guru, dan berkata di depan kelas pada murid-murid, tentang penyesalan yang saya alami akibat membuang-buang waktu, apakah murid-murid saya akan percaya? Lebih lagi, apakah murid-murid saya akan mengingat yang saya katakan, sehingga mereka akan sangat menghargai waktu yang dimiliki? Kemungkinannya sama, tidak! Kenapa? Karena mereka tidak melihat dampak langsung yang saya alami!
Jika orang mengalami kecelakaan di jalan, lalu terluka parah, atau patah tulang, dan dia berkata, “Hati-hatilah berkendara di jalan raya,” kemungkinan besar kita akan mengingat ucapannya, dan belajar dari pengalamannya. Kita melihat dampak langsung yang mengerikan akibat kecelakaan di jalan. Luka parah sampai patah tulang. Kita tidak ingin mengalami peristiwa serupa, sehingga ingat untuk hati-hati saat berkendara. Kita percaya, dan kita ingat, karena melihat dampaknya.
Tetapi, ketika seseorang mengatakan, “Hargailah waktumu, karena kelak kau akan menyesal jika membuang-buang waktu tanpa guna,” kemungkinan besar kita akan lupa ucapannya, dan tidak belajar dari pengalamannya. Kita tidak melihat dampak langsung yang mengerikan akibat pengalaman itu. Karena tidak ada dampak yang terlihat, kita pun mengabaikan.
Padahal, semua pengalaman memiliki dampak, terlihat maupun tak terlihat. Apa pun dampaknya, semua pengalaman adalah pelajaran terbaik, juga sangat mahal. Pengalaman kecelakaan di jalan raya sering menunjukkan dampak yang jelas, berupa luka kasatmata, yang dapat dilihat orang lain. Sementara, pengalaman membuang waktu di masa muda kerap tidak menimbulkan dampak fisik serupa, karena dampaknya hanya terasa oleh si pelaku. Terlihat atau tak terlihat, dampak akibat pengalaman sama-sama mahal, dan menjadi pelajaran yang baik.
Sayangnya, dalam hal ini, kita lebih mudah belajar dari pengalaman orang lain yang dampaknya jelas terlihat, daripada belajar dari pengalaman yang tidak memiliki dampak jelas. Bahkan, sering kali kita mengabaikan pengalaman orang lain, karena kita tidak melihat dampak langsung. Alih-alih memperhatikan untuk mengingat, kita sering kali justru mengulangi pengalaman serupa.
Salah satu teman saya bernama Arif. Waktu kuliah, dia berpacaran dengan teman sekampus, lalu mereka menikah tidak lama setelah wisuda. Kini, Arif telah memiliki satu anak, dan dia maupun istrinya memutuskan untuk menunda punya anak lagi. Alasannya mungkin klise, yaitu tanggung jawab menghidupi anak yang dirasa berat.
Berbeda dengan kebanyakan orang lain yang lebih suka menutupi kondisi rumah tangganya, Arif justru menjadikan pengalamannya berumah tangga agar menjadi pelajaran bagi teman-teman yang belum menikah.
Kepada kami, yang belum menikah, Arif berkata blak-blakan, “Kalau bisa, sebaiknya jangan buru-buru menikah. Bangunlah dulu hidupmu, bekerja yang rajin, persiapkan segalanya dengan matang, baru setelah itu menikah. Karena, jika kalian buru-buru menikah seperti yang kulakukan, bisa jadi kalian akan menyesal. Ketika penyesalan itu datang, kalian tidak bisa melakukan apa pun, karena sudah terikat perkawinan.
“Saat itu terjadi, kalian akan sadar harus berbenah—membenahi diri dan berusaha hidup lebih baik—tapi kalian telah punya beban berat berupa pasangan dan anak. Sejujurnya, itu sangat berat, dan aku tahu pasti karena telah mengalami. Jadi, belajarlah dari pengalamanku. Jangan buru-buru menikah, jika belum benar-benar siap. Jauh lebih baik menunda keinginan, daripada menyesal.”
Nasihat yang disampaikan Arif tentu sangat baik, karena didasarkan pengalamannya langsung dalam hal menikah dan berumah tangga. Tapi apakah teman-teman kami mengingat untuk lebih berhati-hati? Lebih banyak yang tidak! Kenapa? Mungkin karena mereka tidak melihat dampak langsung yang dapat disaksikan. Bagaimana pun, saat menceritakan pengalamannya, Arif tampak sehat dan baik-baik saja.
Jadi, meski telah diberitahu dengan jelas seperti itu pun, banyak teman kami yang cepat-cepat menikah—tentu dengan berbagai alasan—padahal mungkin belum benar-benar siap. Biasanya, setelah waktu-waktu berlalu, khususnya saat mereka mulai punya anak, mereka mengatakan baru ingat ucapan Arif sebelumnya. Penyesalan selalu datang di belakang.
Dalam hal itu, mungkin saya patut bersyukur. Karena, setidaknya, saya belajar untuk tidak menambah deret penyesalan.