Minggu, 26 Mei 2019

Semalam Bersama Ateis

Kepedulian dan kemampuan mendengarkan itu mudah dikatakan, 
tapi sulit ditemukan—khususnya oleh orang yang benar-benar 
membutuhkannya. Itulah kenapa, sejujurnya, aku tidak heran dengan orang 
bunuh diri, karena aku benar-benar memahami yang dirasakannya.


Ajakan pertemuan bisa menyenangkan bagi saya, asal pertemuan itu memenuhi “selera” saya. Seperti ajakan Husni, suatu siang, ketika dia menelepon. Husni adalah teman yang bekerja di sebuah institusi.

Saya sedang membaca buku di rumah, ketika ponsel bergetar, dan mendapati nama Husni. Lalu kami bercakap lewat telepon. Dia menyampaikan undangan, agar saya datang ke sebuah pertemuan.

“Acara apa?” tanya saya.

“Brainstorming,” jawab Husni.

“Brainstorming?”

Lalu Husni menjelaskan garis besar acara. “Acaranya cuma dua hari,” ujarnya. “Tapi kalau kamu sekalian ingin liburan, kamu bisa di sini tiga hari atau sampai kapan pun.”

Saya memastikan, “Apakah ada publisitas?”

“Ini acara internal,” jawab Husni. “Tidak ada publisitas apa pun.”

“Foto-foto?”

“Tidak ada.”

“Ngemeng-ngemeng di video?”

Husni tertawa. “Tidak ada.” Lalu dia menegaskan, “Tidak ada hal-hal yang akan membuatmu risih atau tidak nyaman. Aku juga berani mengundangmu, karena aku tahu acara ini pasti cocok denganmu. Orang-orang lain yang diundang juga sama sepertimu—mereka tidak menyukai publisitas, dan lebih senang bekerja di balik layar.”

“Siapa saja yang diundang?”

“Ada sekitar sepuluh orang.” Lalu Husni menyebut beberapa nama mereka, yang kebetulan saya kenal.

Saya pun berkata, “Sepertinya menyenangkan. Sebutkan tempatnya.”

Husni mendiktekan alamat secara lengkap.

Setelah percakapan selesai, saya menghubungi biro travel, dan lima hari kemudian berangkat ke tempat pertemuan yang diberikan Husni.

....
....

Husni menyambut saya dengan semringah. Dengan semringah pula dia menggiring saya masuk, untuk diperkenalkan dengan orang-orang lain yang sudah ada di sana. Waktu itu ada enam orang, semuanya laki-laki, dan dua di antaranya sudah saya kenal.

Saya bersalaman dengan mereka. Salah satu orang di sana bernama Nino, yang belum saya kenal. Saat menyalami saya, Nino tersenyum dan berkata, “Husni sering bercerita tentangmu.”

Saya membalas senyumnya. “Semoga belum semuanya.”

“Aku juga suka membaca blogmu,” lanjut Nino.

“Kedengarannya seperti kebiasaan buruk.”

Senyum Nino makin lebar.

....
....

Seperti yang dibilang Husni sebelumnya, acara pertemuan itu memang brainstorming. Namanya brainstorming, kami saling menyampaikan pendapat secara panjang lebar terkait topik yang dibicarakan, dan saling mendengarkan.

Acaranya santai, membahas hal-hal serius diiringi obrolan ringan, dan canda tawa menyenangkan. Tentu saja sambil menyeruput minuman dan udud. Tidak ada publisitas di media sosial, tidak ada foto-foto, tidak ada rekaman video, tidak ada selfie-selfie. Saya senang selama menjalaninya.

Malam hari, usai acara di hari pertama, Nino berkata kepada saya, “Tadi, waktu mendengarkanmu berbicara, aku seperti sedang membaca blogmu dalam versi live.”

Saya tertawa.

....
....

Acara dua hari itu sangat menyenangkan. Sudah lama saya tidak menikmati acara semacam itu. Sebenarnya, saya bahkan “prihatin” setiap kali menerima tawaran atau undangan pertemuan dari pihak mana pun, karena acara pertemuan di zaman sekarang hampir bisa dipastikan akan “disiarkan” secara live di linimasa media sosial, akan ada foto-foto, ada rekaman video, dan tetek bengek semacamnya.

Karenanya, ketika menerima undangan Husni, dan pertemuan itu benar-benar “steril” tanpa publisitas, saya pun sangat menikmati. Senang rasanya bisa kembali berbicara dengan nyaman, dan berdiskusi dengan banyak orang seperti dulu.

Malam kedua, setelah acara benar-benar usai, kami semua mengobrol sambil merokok. Semakin larut, satu per satu mulai masuk kamar, untuk tidur. Saya duduk di sofa dengan Nino. Sepertinya kami saling cocok. Selain usia yang sama, obrolan kami juga nyambung, jadi kami segera akrab. Lebih dari itu, Nino memiliki pembawaan menyenangkan, sehingga mudah akrab dengan siapa pun.

Setelah mengobrol cukup lama, Nino berkata dengan serius, “Kalau aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang ateis, bagaimana menurutmu?”

“Menurutku,” saya menjawab dengan sama serius, “kamu sudah dewasa, berakal waras, dan tentunya bisa bertanggung jawab atas apa pun pilihanmu.”

Nino tersenyum. “Aku benar-benar senang mendengarmu bicara. Rasanya seperti membaca blogmu dalam versi live.”

Mau tidak mau saya tertawa.

Nino bangkit dari duduk, dan berkata, “Aku mau ambil minum. Kamu mau?”

Saya mengangguk.

Sesaat kemudian, dia membawa dua teh botol.

Setelah menyedot minuman dan menyulut rokok, saya berkata, “Kalau aku bertanya mengapa jadi ateis, kamu mau menjelaskan?”

Nino menjelaskan, dan kalimat awalnya terdengar seperti pembukaan cerita yang mengejutkan. “Orang tuaku sangat religius,” ujarnya. “Tapi yang mereka hasilkan adalah anak yang menjadi ateis.”

Setelah itu, Nino menyatakan, “Berdasarkan pembacaanku atas tulisan-tulisanmu di blog, mungkin kita punya latar belakang serupa. Kemiskinan, masa kecil yang suram, perlakuan buruk orang tua, masalah demi masalah, luka, trauma, sebut lainnya. Kalau kamu meragukan yang barusan kukatakan, kamu bisa menanyakan pada Husni. Dia sangat tahu siapa aku, beserta latar belakangku seutuhnya.”

Pembukaan itu cukup mengejutkan, bagi saya. Melihat sosok Nino yang tampak ceria, saya seperti melihat orang yang mungkin tidak pernah menghadapi masalah.

Saya berkata, “Jadi, bagaimana kamu menjadi ateis?”

“Ceritanya panjang,” jawab Nino.

“Aku mendengarkan.”

....
....

Nino memiliki latar belakang tak jauh beda dengan saya. Dia anak kedua, dan memiliki dua adik. Kakaknya, perempuan, sudah menikah, dan hidup di tempat jauh. Sementara dua adiknya masih lajang. Nino juga masih lajang, dan belum punya rencana untuk menikah.

Ihwal ateisme yang kemudian dipeluk Nino adalah hasil perjalanan panjang kehidupan yang dijalaninya, bersama pengalaman penuh luka.

Keluarga Nino sangat miskin. Semenjak kecil, Nino—dan tentu kakak serta adik-adiknya—sering prihatin saat harus membayar biaya keperluan sekolah. Sementara kehidupan sehari-hari juga penuh keprihatinan. Dari semua anak, hanya Nino dan kakak perempuannya yang kuliah. Sementara adik-adiknya hanya lulus SMA.

Nino dan kakaknya bisa kuliah, semata karena upaya sendiri. Begitu lulus, kakak perempuan Nino menikah, dan meninggalkan keluarga untuk hidup bersama suaminya. Sejak itu, Nino merasa semua beban dan tanggung jawab ada di pundaknya. Sejak itu pula, hantaman keras kehidupan seperti mengguncang pikirannya.

“Masyarakat menghormati ayahku sebagai orang baik yang religius,” ujar Nino. “Tetapi, sebagai anak, aku mengenalnya sebagai ayah yang buruk dan tidak bertanggung jawab pada keluarga.”

Sedari kecil sampai remaja, Nino telah terbiasa dengan kekerasan dan perlakuan buruk orang tua. Tetapi, selama waktu-waktu itu, dia tidak pernah berpikir macam-macam, karena bagaimana pun “anak wajib berbakti pada orang tua”, karena “orang tua telah melahirkan serta membesarkan anak”, dan semacamnya. Selama waktu-waktu itu pula, Nino belum menyadari bahwa akar kekerasan dalam keluarga yang ia hadapi berawal dari kemiskinan mereka.

“Ayahku bisa tampak sabar dan bijaksana saat di hadapan masyarakat,” ujar Nino. “Tapi kesabaran dan kebijaksanaannya hilang di hadapan keluarganya.”

Belakangan, saat dewasa, Nino menyadari bahwa yang mendorong orang tuanya melakukan kekerasan serta memperlakukan anak-anaknya dengan sangat buruk, karena kemiskinan yang mereka hadapi. Orang tuanya frustrasi menghadapi hidup yang terus menekan, dan anak-anak mereka yang kemudian menjadi korban. Karenanya, begitu kakak perempuannya segera menikah usai lulus kuliah, Nino pun menyadari; itu upaya sang kakak untuk menjauhkan diri dari keluarga mereka yang “rusak”.

Tidak lama setelah sang kakak menikah, ayah mereka meninggal dunia.

Nino tidak bisa secuek kakaknya. Bagaimana pun, dia tidak tega jika harus meninggalkan keluarga begitu saja. Karenanya, alih-alih segera menikah untuk membangun keluarga sendiri, Nino memilih bekerja keras untuk menghidupi keluarga yang ditinggalkan ayahnya. Tetapi, rupanya, itu pun pilihan buruk yang kemudian memerangkap hidupnya hingga sangat terluka.

(Sampai di sini, Nino menjelaskan masalah keluarganya yang sangat parah. Namun, karena alasan tertentu, dia meminta agar saya tidak menuliskannya secara gamblang. Intinya, kisah Nino adalah “kisah klise” anak yang menjadi korban keluarga yang dihasilkan orang tua tanpa tanggung jawab.)

“Jadi,” ujar Nino, “aku bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya aku dilahirkan? Semenjak kecil sampai dewasa, aku dihadapkan pada masalah demi masalah, penderitaan demi penderitaan. Seiring usiaku makin besar, masalah yang kuhadapi makin besar. Aku seperti wujud hidup novel lama—tak putus dirundung malang.”

Selama bertahun-tahun, setiap kali terpuruk akibat menanggung beban masalah yang ditimpakan keluarganya, sang ibu biasanya berkata, “Ini cobaan Tuhan, jadi serahkan segalanya pada Tuhan. Selalu ada kebahagiaan setelah cobaan.”

“Tetapi,” lanjut Nino, “setiap kali aku akan bahagia, orang tuaku lagi-lagi menimpakan beban dan masalah, dan begitu seterusnya. Kenyataan itu terus kuhadapi dari kecil sampai dewasa. Lama-lama aku menyadari, semua masalah dan penderitaan itu bukan cobaan Tuhan, melainkan hasil kemiskinan dan kebodohan, yang bercampur dengan iman tanpa kesadaran. Orang tuaku mengatakan agar menyerahkan semua masalah kepada Tuhan. Kenyataannya, mereka menyerahkan dan menimpakan semua masalah kepadaku!”

Setelah terdiam beberapa lama, Nino berkata perlahan-lahan, “Aku merasa... seperti marah pada Tuhan. Aku dilahirkan orang tuaku tanpa pernah meminta, tapi dipaksa percaya bahwa akulah yang meminta dilahirkan. Setelah itu, aku tumbuh besar dengan segala susah dan derita, sambil dipaksa percaya bahwa itu cobaan Tuhan, dan aku harus kuat menanggungnya.

“Aku menghadapi orang tua yang begitu buruk dan kejam, tapi dipaksa untuk berbakti pada mereka, dan harus percaya bahwa orang tua ingin anak-anaknya bahagia. Yang jadi masalah, bagaimana orang tua bisa membahagiakan anak-anaknya, kalau diri mereka sendiri tidak bahagia? Kenyataannya, kita didoktrin untuk membahagiakan orang tua.

“Jadi, selama ini orang tua kita tidak bahagia, hingga melahirkan anak-anak untuk didoktrin agar membahagiakan mereka. Ini seperti lingkatan setan. Orang tua tidak bahagia melahirkan anak-anak dengan dalih ingin melihat anak-anaknya bahagia. Tetapi, sebenarnya, mereka tidak bahagia, sehingga mereka mendoktrin anak-anak untuk membahagiakan mereka. Lalu anak-anak mereka mengulangi hal serupa, dan menghasilkan anak-anak lain yang menjadi korban selanjutnya.”

Nino menyedot teh dalam botol yang tinggal setengah, kemudian melanjutkan, “Di tengah kekacauan semacam itulah, aku merasa marah kepada Tuhan. Ayahku membaktikan hidupnya untuk Tuhan, tapi yang ia hasilkan adalah kemiskinan dan penderitaan keluarga.

“Ibuku sangat taat beragama, tapi hidup tertekan dalam kemiskinan, hingga memperlakukan anak-anaknya dengan sangat buruk. Dan sambil melakukan semua itu, mereka mengatakan itu cobaan Tuhan, menyemburkan doktrin yang membuatku sangat tertekan, dan menimpakan semua masalah mereka kepadaku hingga membuatku merasa hidup dalam kutukan.”

“Aku benar-benar sangat tertekan,” lanjut Nino perlahan-lahan. “Dan perasaan tertekan itu berlangsung bertahun-tahun. Di satu sisi, aku terus beribadah dan berdoa kepada Tuhan, sambil terus berupaya menghormati orang tua sesuai doktrin agama. Tetapi, bersamaan dengan itu, aku ditikam masalah demi masalah, derita demi derita, yang tak juga usai. Hingga akhirnya, di satu titik, saat semua kesabaran dan keteguhanku seperti terkuras, aku merasa lelah... sangat lelah.”

Nino terdiam cukup lama, dan saya berkata, “Sejujurnya, sejak bertemu denganmu, aku tidak pernah menyangka kamu menjalani semua ini—semua masalah hidup yang kamu ceritakan. Kamu tampak ceria, seperti tak punya masalah berat.”

“Aku menjalani terapi,” jawab Nino lirih. Kemudian, dengan ragu-ragu, dia melanjutkan, “Aku mencoba bunuh diri, tapi selamat. Setelah itu, aku menjalani terapi pemulihan. Usai terapi, Husni memberiku uang dan memintaku agar berlibur, menjauh dari keluargaku, dan menenangkan diri. Kamu bisa menanyakan kebenaran yang kukatakan ini pada Husni. Bahkan, gara-gara itu pula, Husni menceritakan tentangmu. Bahwa aku tidak sendirian, bahwa ada orang lain di luar sana, yang sama mengalami masalah sepertiku.”

“Jadi, setelah itu, kamu berlibur—menenangkan diri?”

Nino mengangguk. “Aku pergi ke Bali. Bukan untuk wisata, tentu saja, tapi semata untuk menjauh sejenak dari berbagai masalah keluargaku, agar aku bisa menenangkan diri, menata pikiran dan hati.”

Selama di Bali, Nino benar-benar sendirian, dan kondisi itu ia manfaatkan untuk melakukan refleksi atas diri dan kehidupannya. Sampai dua minggu dia di Bali, sendirian, menikmati hidup tanpa masalah atau gangguan apa pun, hingga dapat berpikir tenang, dan selama waktu-waktu itu Nino merasa—sesuai istilahnya—“dilahirkan kembali”. Saat akhirnya pulang, Nino telah menjadi ateis.

“Sejak itu, aku tidak lagi beribadah, dan sama sekali tak peduli dengan agama maupun doktrin-doktrinnya,” ujar Nino. “Sebenarnya, aku bahkan tak peduli lagi Tuhan benar-benar ada atau tidak. Aku tidak peduli akhirat benar-benar ada atau tidak, sebagaimana aku tak peduli lagi pada surga dan neraka.”

Setelah terdiam sesaat, Nino melanjutkan, “Percaya atau tidak, justru setelah memutuskan menjadi ateis, aku merasa lebih ringan menjalani hidup. Pikiranku tidak lagi seberat semula. Kini, aku hanya tahu satu hal—berupaya membereskan masalah-masalah keluargaku, dan menjalani hidup dengan baik. Aku tidak mau lagi dibelenggu doktrin-doktrin mengerikan tentang akhirat dan segala macam isinya. Jadi, inilah aku sekarang. Kamu mengatakan aku seperti orang tak punya masalah, dan aku senang mendengarnya.”

Kami terdiam cukup lama, dan saya tahu cerita Nino telah berakhir.

Saya kemudian berkata, “Aku boleh menanyakan sesuatu?”

Dia mengangguk.

“Umpama,” saya berkata, “umpama kelak setelah mati ternyata ada akhirat, dan kamu harus menghadap Tuhan yang ternyata benar-benar ada, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?”

Nino tersenyum. “Kita sama-sama percaya Tuhan bukan hanya Mahatahu, tapi juga Mahabijaksana. Jadi, itulah yang akan kukatakan kepada-Nya. Jika Tuhan benar-benar ada, Dia pasti tahu seperti apa perjalananku selama di dunia, bagaimana kehidupan ini—khususnya orang tuaku—memperlakukanku hingga akhirnya aku menjadi ateis. Tidak ada akibat tanpa sebab, kan?

“Jadi, kalau Tuhan memutuskan aku bersalah, aku akan menyeret orang tuaku agar menghadapi kesalahan yang sama, karena merekalah sumber masalahku. Orang tuaku menjalani kehidupan religius, mendoktrinku agar percaya kepada Tuhan, tapi hasilnya justru menjadikanku ateis. Jika aku dinyatakan bersalah, mereka menanggung kesalahan yang sama.”

Saya merasa kehilangan kata-kata.

 
;