Alasan mengapa aku sangat jarang menyebut-nyebut agama
dalam tulisan, karena aku tidak ingin orang mudah percaya
pada tulisan atau ocehanku.
—@noffret
dalam tulisan, karena aku tidak ingin orang mudah percaya
pada tulisan atau ocehanku.
—@noffret
Yang mengkhawatirkan dari agama, ia rentan digunakan orang-orang tak bertanggung jawab untuk memanipulasi orang-orang bodoh, demi keuntungan pribadi atau demi tujuan tertentu. Agama adalah satu hal, cara orang beragama adalah hal lain. Dan pandangan orang terkait agama, adalah hal lain lagi.
Dalam perspektif saya, ada empat macam orang terkait agama.
Pertama; orang beragama, dan benar-benar tahu ajaran agamanya. Mereka biasanya orang-orang yang kita sebut salih—pribadi yang menjalani kehidupan dengan baik, beribadah sesuai tuntunan agama yang dianut, memiliki hubungan baik dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia, dan kesibukan hidupnya adalah berupaya mempelajari agamanya, bukan sibuk menyalah-nyalahkan agama lain. Mereka jenis orang yang biasanya memiliki wajah teduh, lisan dan perbuatan yang terjaga, sosok yang ingin kita cium tangannya dengan penuh hormat.
Kedua; orang beragama, tahu ajaran agamanya, tapi belum mampu sempurna menjalankan perintah agama. Mereka jenis orang yang fasih membaca kitab suci, tapi bisa jadi jarang membacanya. Mereka tahu betul soal ibadah, tapi sering tidak melakukan. Mereka bisa membicarakan agama dengan begitu mendalam, tapi ibadah ogah-ogahan. Jenis kedua ini biasanya bocah-bocah mbeler tapi rajin belajar. Mereka tahu dan memahami agama, tapi mbeler. Beberapa dari mereka bahkan ada yang hafal banyak hadist, hingga bisa ngoceh sefasih ustad. Rajin shalat? Kagak!
Ketiga; orang beragama, tapi tidak tahu ajaran agamanya, juga tidak terlalu rajin menjalankan ritual ibadah agama yang dianut. Mereka juga tidak memiliki ketertarikan khusus pada agama, semisal ingin belajar atau memperdalam agamanya, dan bisa dibilang memiliki agama hanya “agar tidak bingung jika ditanya apa agamanya”. Kalau pun beribadah, mereka biasanya hanya menjalankan ibadah-ibadah yang bersifat wajib. Biasanya juga bermotivasi “agar tampak seperti umumnya orang beragama”. Pokoknya, dalam urusan agama, mereka benar-benar asoy. Bagi mereka, agama adalah urusan pribadi—dalam arti harfiah.
Keempat; orang beragama, dan rajin menjalankan ritual ibadah agama yang dianut, tapi tidak tahu dan tidak memahami ajaran agama sepenuhnya. Mereka rajin beribadah, senang hal-hal terkait agama, percaya penuh pada agamanya, tapi hanya sebatas itu. Merekalah yang lazim disebut “orang awam”, khususnya terkait agama. Awam, dalam arti sebatas mengetahui ritual ibadah agama, tapi tidak memiliki pengetahuan mendalam terkait ajaran agama yang dianut. Banyak sekali orang jenis ini. Mereka orang-orang baik, jenis orang yang akan mendengarkan ucapan siapa pun yang mereka anggap alim, dan—tidak jarang—mempercayai mentah-mentah.
Di luar empat jenis yang telah saya sebut, tentu ada jenis-jenis lain. Tetapi, bisa dibilang empat jenis itulah yang paling banyak di sekitar kita, atau yang mungkin banyak kita kenal. Di antara empat jenis tersebut, jenis keempat yang paling rentan menjadi korban manipulasi bertopeng agama.
Jenis pertama—orang beragama yang alim—sulit dimanipulasi, karena mereka tahu betul ajaran agama, dan pengetahuan mereka terkait agama sudah mantap. Jenis kedua juga sulit dimanipulasi, karena—meski mungkin bukan orang salih—mereka juga tahu ajaran agama. Berusaha memanipulasi mereka akan sia-sia. Begitu pula jenis ketiga—orang yang beragama sebatas KTP. Bagi orang-orang tersebut, mengurusi kesibukan dan urusan keluarga sehari-hari jauh lebih penting daripada mengurusi agama.
Memang, selalu ada kemungkinan empat jenis orang di atas bisa dimanipulasi. Tetapi, jenis keempatlah yang paling rentan dimanipulasi, karena mereka beragama sebatas menjalankan ritual ibadah, dan kurang tahu atau kurang memahami ajaran agama yang sesungguhnya mereka anut. Di sisi lain, mereka juga memiliki semangat tinggi dalam menjalankan agamanya.
Seperti yang disebut di atas, jenis keempat adalah orang-orang baik, yang taat beragama, meyakini sungguh-sungguh agamanya, tapi sayang hanya sebatas itu. Mungkin karena menyadari kekurangan diri mereka yang kurang ilmu agama, mereka pun rajin belajar pada orang-orang alim, atau yang mengerti agama. Dalam hal itu, beruntunglah mereka jika menemukan orang yang tepat. Dan sungguh apes jika yang mereka temukan sebaliknya. Karena orang-orang jenis keempat biasanya mudah percaya. Asal orang tampak ustad atau tampak alim, mereka akan percaya, lalu mengikuti ocehan yang mereka dengar mentah-mentah.
Dalam hal itulah, muncul orang-orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan ketidaktahuan mereka, lalu memanipulasi mereka dengan cara menyuguhkan sesuatu yang diselubungi embel-embel agama.
Bagaimana bisa ada orang rela meledakkan diri sendiri dan orang-orang lain dengan bom, dan beralasan itu perjuangan demi agama? Karena manipulasi! Orang-orang malang itu sebenarnya orang-orang baik, tapi mereka tidak memahami ajaran agamanya dengan baik, sehingga rentan dimanipulasi. Cukup kompori dengan provokasi toghut serta iming-iming bidadari surga, dan mereka pun kalap.
Itu contoh yang ekstrem. Contoh lain, yang lebih “ringan”—meski sebenarnya juga memprihatinkan—adalah manipulasi dalam bentuk kebohongan dan kedangkalan yang dibalut agama, lalu menyodorkannya kepada orang-orang awam. Dan, sim salabim, mereka akan menerima mentah-mentah.
Agar catatan ini tidak terlalu frontal, saya akan menggunakan contoh catatan saya sendiri untuk menunjukkan bagaimana kita bisa memanipulasi banyak orang dengan selubung agama.
Dua tahun yang lalu, saya menulis catatan berjudul Teori Evolusi dan Soal Akhirat. Dalam tulisan itu, saya “mengacaukan” pikiran banyak orang dengan mencampurkan “teori evolusi” dan ajaran agama (dalam hal ini soal akhirat.) Ketika menulis catatan itu, secara sadar saya membuatnya salah kaprah, sehingga siapa pun yang cukup paham akan tahu bahwa tulisan itu sebenarnya salah. Tetapi, saya juga sengaja menutupi kesalahan itu dengan menyebut-nyebut akhirat.
Sebelum menerbitkannya ke blog ini, saya mencetak tulisan itu ke kertas, dan menunjukkannya kepada beberapa teman yang saya anggap pintar. Saya minta mereka membaca tulisan tersebut, dan mengatakan, “Tolong katakan kepadaku, jika ada sesuatu yang menurutmu salah.”
Setidaknya ada selusin orang yang semuanya saya anggap pintar, yang membaca tulisan tersebut. Dan tidak ada satu pun yang menyadari kesalahan di dalamnya!
Setiap kali satu orang dari mereka selesai membaca, saya selalu berkata, “Bagaimana menurutmu? Ada yang salah?”
Rata-rata mereka menjawab, “Tulisan ini baik-baik saja. Tidak ada yang salah. Khas tulisanmu, kan? Mengalir lancar, dan enak dibaca.”
Oh, well, mengalir lancar dan enak dibaca!
Padahal saya menyisipkan kesalahan yang luar biasa besar di dalamnya!
Dan tidak satu pun dari mereka yang menyadari!
Saya benar-benar “ngeri” mendapati kenyataan itu. Jika orang-orang yang saya anggap pintar bisa terkecoh—hingga tidak menyadari kesalahan fatal yang saya lakukan dalam tulisan itu—apalagi orang-orang awam?
Ketika menulis Teori Evolusi dan Soal Akhirat, saya sengaja “memanipulasi” pembaca dengan cara mencampurkan kesalahan teoritis dengan ajaran agama. Manipulasi itu sengaja saya lakukan dengan tersamar, hingga rata-rata pembaca (khususnya yang awam) akan manggut-manggut, tanpa menyadari bahwa tulisan yang mereka baca sebenarnya salah!
Oh, saya tidak akan menyebutkan di mana kesalahan isi tulisan itu. Yang jelas, tulisan itu salah, bahkan salah kaprah! Jika penasaran ingin tahu di mana kesalahannya, tidak ada cara lain. Belajar! Siapa pun yang cukup belajar akan dapat menemukan kesalahan yang telah saya buat dalam tulisan tersebut.
Well, itu ilustrasi mudah, bagaimana orang bisa dimanipulasi dengan kata-kata yang tampak baik dan tertata, padahal salah. Mengapa mereka percaya? Karena saya menyuguhkan sesuatu yang sesuai kepercayaan mereka!
Ingat selalu fakta ini: Orang tidak percaya pada realitas, mereka hanya percaya pada yang ingin mereka percaya!
Teknik itulah yang dulu dilakukan Harun Yahya, ketika dia ngoceh berbusa-busa dalam banyak buku, dan menyihir jutaan orang yang mempercayai mentah-mentah. Yang dilakukan Harun Yahya sebenarnya sederhana. Dia hanya mencampurkan kekacauan pengetahuannya, yang ia balut dengan sentuhan agama. Setelah itu, ia suguhkan “pengetahuan” yang sesuai harapan dan kepercayaan jutaan orang yang memang ingin percaya—tepat seperti yang dinyatakan Harun Yahya.
Dan Harun Yahya hanya contoh kasus. Selalu ada orang-orang seperti dirinya, yang sengaja membangun pengetahuan di atas kekacauan, yang mencampur kebenaran dan kebohongan, lalu menyuguhkannya di atas nampan indah dengan selubung agama. Orang-orang awamlah yang kemudian menjadi korban. Mereka mengira suguhan itu benar-benar agama, padahal hanya selubung yang sengaja digunakan untuk memanipulasi mereka.
Lalu lahirlah kedangkalan. Kedangkalan demi kedangkalan.
“Kalau kau ingin menguasai orang-orang bodoh,” kata Ibnu Rusyd, “bungkuslah sesuatu yang bathil dengan agama.”
Tepat seperti itulah yang dilakukan orang-orang licik, para penjual agama yang membangun pengaruh dan kejayaannya di atas keringat, darah, dan air mata orang-orang awam tak berdosa. Mereka menyeru orang-orang agar tidak menggadaikan agama, tapi mereka justru melacurkannya. Mereka meminta orang-orang agar meninggikan agama, tapi mereka justru menistakannya. Mereka ngoceh tentang akhirat dan surga, tapi diam-diam menyembah dunia sebagai berhala.
Oh, well, merekalah dajjal sesungguhnya. Yang tampak membawakan surga, tapi tipuan belaka.