Sabtu, 01 Juli 2017

Manusia di Titik Nadir

Setiap kali melihat orang menyuruh atau
memprovokasi orang lain cepat kawin, aku tidak
melihat manusia. Yang kulihat adalah sosok primata.
@noffret


Salah satu momok yang dihadapi para lajang adalah pertanyaan soal kapan akan menikah. Pertanyaan keparat itu makin sering datang ketika lebaran tiba. Saat bertemu para famili, selalu ada beberapa di antara mereka yang bertanya—sebagian bahkan sampai nyinyir—soal kapan akan menikah. Seolah-olah lebaran adalah moment yang ditujukan untuk pertanyaan itu.

Kenyataan tersebut juga saya alami. Salah satu orang yang hobi menanyakan hal tersebut, layak saya ceritakan. Pertama, karena saya sudah sangat jengkel. Kedua, karena saya sangat miris. Dan ketiga, karena dia—orang yang terus nyinyir bertanya “kapan kawin” pada saya—bisa dijadikan pelajaran terkait manusia.

Karena saya tidak mungkin menyebut nama asli, mari kita sebut dia Seha. (Kalau pun dia—entah bagaimana caranya—ikut membaca catatan ini, ya biar saja. Biar ikut belajar.)

Seha adalah laki-laki berusia 35-an, sudah punya istri dan tiga anak yang masih kecil. Bagi saya, menatap Seha adalah menatap titik nadir manusia—realitas yang amat memprihatinkan, nasib orang-orang yang ditikam doktrin dusta perkawinan.

Sebenarnya, Seha adalah tipe laki-laki umum yang bisa kita temukan di mana-mana. Setelah lulus sekolah atau kuliah, berusaha mencari kerja, lalu menikah dan beranak-pinak. Seha juga begitu, bahkan kini telah punya tiga anak.

Mungkin karena pekerjaan Seha tidak memungkinkan untuk menghidupi keluarga, istri Seha mendaftar jadi TKI, yang berangkat kerja ke luar negeri. Jadi, Seha kemudian tinggal bersama tiga anaknya yang masih kecil, sementara istrinya bekerja mencari nafkah. Seha juga tidak bekerja, karena seharian menjadi “bapak rumah tangga” yang mengurusi anak-anaknya. Dan karena belum punya rumah sendiri, Seha numpang hidup bersama ibunya.

So, kehidupan sehari-hari Seha adalah mengurusi anak-anaknya yang masih kecil, memandikan dan menyiapkan makan untuk mereka, menemani bermain, dan kadang-kadang marah kalau anak-anaknya bikin masalah. Sebulan sekali atau beberapa bulan sekali, istri Seha mengirimkan uang dari luar negeri, untuk kehidupan Seha dan anak-anak mereka. Setiap hari, kegiatan Seha hanya itu—bangun tidur, mengurusi anak-anak, sampai tidur lagi.

Nah, orang ini—Si Seha—hobi bertanya “kapan kawin” kepada saya, dan saya ingin tertawa sambil menangis, setiap kali mendengar dia mengajukan pertanyaan itu.

Ingin tertawa, karena rasanya pertanyaan “kapan kawin” yang diajukan Seha kepada saya terdengar amat satir. Dalam bayangan saya, itu seperti adegan slapstik—ketika si pelawak tersandung dan jatuh sampai kepalanya benjol—hingga membuat saya ingin cekikikan, tapi merasa tidak tega. Dan saya juga ingin menangis, karena tahu bahwa Seha tidak menyadari betapa ironis sekaligus getir pertanyaan yang ia ajukan kepada saya.

Melihat Seha, bagi saya, adalah menyaksikan titik nadir manusia. Ketika kesadaran hilang, akal sehat lenyap, dan seumur hidup terjebak dalam doktrin dusta yang tak bertanggung jawab. Yang paling ironis dari hal itu adalah... Seha tidak menyadari kenyataan yang ia alami, bahkan berusaha menyeret saya agar sama seperti dirinya, dengan hobi memprovokasi saya agar cepat kawin.

Kadang, saya tergoda untuk menjawab kasar ketika dia mengajukan pertanyaan terkutuk itu. Rasanya, ingin sekali saya berkata, “Kamu nyinyir soal kawin kepadaku, karena berharap aku juga menjalani kehidupan menyedihkan sepertimu?”

Tapi saya tidak mungkin mengatakan kalimat semacam itu, meski sangat ingin. Karena saya menyadari, kalimat itu—jika benar saya keluarkan—bisa membuat dia sakit hati. Sayangnya, dalam hal ini, Seha tidak memikirkan apakah pertanyaan dan kenyinyirannya membuat saya sakit hati.

Jadi, sekali lagi, melihat Seha adalah menyaksikan titik nadir manusia. Sebagai manusia, Seha mungkin berpikir bahwa tujuan hidup memang sekadar kawin, beranak pinak, meski untuk itu dia harus menjalani hidup yang menyedihkan. Karenanya, ketika Seha telah melakukan itu—kawin dan beranak pinak—dia pun merasa hidupnya sempurna. Karena itu pula, meski menjalani kehidupan memprihatinkan, Seha tidak malu bertanya kepada saya, “Kapan kawin?”

Bagi Seha, mungkin, dirinya lebih hebat dan lebih mulia dari saya, karena dia telah menikah dan punya anak-anak, sementara saya menikah saja belum. Jangankan menikah, punya pacar saja tidak! Bagi Seha, mungkin, saya orang yang patut dikasihani.

Padahal, jika saya diminta menempati posisi Seha—tinggal di rumah orang tua, mengurusi tiga anak yang masih kecil, sementara istri pergi jauh menjadi TKI—terus terang saya tidak sudi. Bahkan umpama dibayar sekali pun, saya tetap tidak sudi! Saya bahkan mungkin sudah bunuh diri jika harus menjalani kehidupan semacam itu. Mungkin Seha menatap saya dengan kasihan, padahal saya menatapnya dengan kasihan yang sama.

Nah, suatu waktu, saya pernah menanyakan kepada Seha, apakah dia bersedia jika menempati posisi saya? Seha menjawab, “Tentu saja aku mau!”

Lalu saya bertanya, “Umpama kamu menempati posisiku sekarang, apa yang akan kamu lakukan?”

Jawaban Seha tepat seperti yang saya bayangkan. Dia menjawab, “Aku akan segera menikah!”

You see that...?

Itulah manusia—oh, well, titik nadir manusia.

Jadi, tujuan besar manusia memang kawin! Tepat seperti yang diocehkan Sigmund Freud puluhan tahun lalu, ketika dia mengatakan bahwa segala yang dilakukan homo sapiens memang berorientasi libido. Statemen Freud tidak dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjustifikasi kecenderungan manusia terhadap aktivitas kawin, melainkan sebagai sindiran. Bahwa meski telah mengalami perubahan yang revolusioner sekali pun, manusia tetap menunjukkan diri sebagai produk evolusi.

Sebenarnya, tujuan kawin bukan masalah, karena bisa dibilang kecenderungan itu sudah built-up dengan diri manusia. Artinya, kehendak untuk memiliki pasangan adalah sesuatu yang bersifat kodrati, meski kadang ada deviasi. Dengan kata lain, kalau kita memang berharap punya pasangan, agar bisa kawin dan beranak pinak, tidak masalah. Toh manusia juga punya hak untuk memilih hal itu.

Tetapi, agar kita berbeda dengan binatang—karena kenyataannya manusia memang bukan binatang—mestinya kita memikirkan terlebih dulu sebelum melakukan apa pun yang ingin kita lakukan, termasuk keinginan untuk kawin dan beranak pinak. Karena kehidupan manusia tidak sesederhana kehidupan binatang. 

Dalam urusan kawin, sebenarnya, manusia dan binatang tidak ada bedanya. Manusia memiliki nafsu besar dalam urusan seks, sama seperti binatang. Bahkan dalam mencari pasangan, pedekate, sampai “menyatakan cinta”—untuk kemudian kawin dan beranak pinak—bisa dibilang manusia dan hewan tidak ada bedanya. Sama-sama menjalani proses serupa, dan sama-sama menginginkan hal serupa.

Yang membedakan, kehidupan manusia sangat kompleks, sementara kehidupan binatang relatif sederhana. Dalam kehidupan binatang, misal, menghidupi anak memang tanggung jawab sang induk. Tapi jika sang induk merasa tidak mampu menghidupi anaknya, dia bisa meninggalkan si anak begitu saja, dan urusan selesai.

Terkait hal itu, contoh paling mudah adalah panda. Umpama panda memiliki dua anak, dan merasa keberatan menghidupi keduanya, induk panda hanya akan memberi makan satu anak, sementara satu anak yang lain akan ditinggalkan. Selesai.

Meski panda—atau hewan lain—meninggalkan anaknya begitu saja, di dunia hewan tidak ada lembaga yang mengurusi nasib anak-anak. Buktinya, sampai saat ini kita tidak pernah mendengar ada panda yang dituntut karena menelantarkan anaknya.

Kemudian, di dunia binatang tidak ada TK, PAUD, sekolah, dan tetek bengek semacamnya. Juga tidak ada ponsel, internet, media sosial, dan hal-hal lain yang menjadi bagian gaya hidup manusia. Bahkan, di dunia binatang tidak ada uang, dan mereka bisa tinggal di mana saja. Intinya, kehidupan binatang jauh lebih sederhana dibanding kehidupan manusia. Berdasarkan kenyataan itu, umpama binatang kawin setiap hari dan punya anak setiap hari, bisa dibilang tidak masalah. Namanya juga binatang.

Tapi apakah kita mau merendahkan kehidupan kita—sebagai manusia—hingga serendah binatang?

Ada perbedaan esensial antara manusia dan binatang, yang secara tegas membedakan keduanya. Yaitu akal budi. Keberadaan akal budi itulah yang menempatkan posisi manusia jauh lebih tinggi dibanding binatang, sekaligus membedakan manusia dengan binatang.

Tanpa akal budi, manusia sama saja dengan binatang. Dalam perspektif biologi, akal budi (yang kini dimiliki manusia) adalah revolusi dalam evolusi. Pada akhirnya, akal budi itu pula yang memampukan manusia untuk “melawan” tuntutan evolusi.

....
....

Banyak orang menolak teori evolusi, menganggap teori itu sesat karena menyamakan manusia dengan binatang. Padahal, tanpa mereka sadari, tingkah laku manusia justru menunjukkan kalau mereka memang tak jauh beda dengan binatang.

Apa sih inti teori evolusi? Saya bisa saja ngoceh panjang lebar hingga catatan ini sepanjang tesis atau disertasi, untuk membahas apa itu teori evolusi. Tetapi, tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, saya bisa mengatakan bahwa inti paling inti teori evolusi adalah kawin!

Kawin—itulah inti paling dasar teori evolusi!

Darwin, Dawkins, dan evolusionis lain, bisa menjelaskan bagaimana evolusi terjadi, karena adanya perkawinan demi perkawinan demi perkawinan demi perkawinan demi perkawinan... dan begitu seterusnya. Tanpa adanya proses kawin, evolusi tidak akan terjadi. Karena, sekuat apa pun, kemampuan makhluk hidup (spesies) dalam beradaptasi dan mengembangkan diri tetap memiliki batas. Kawin adalah cara untuk melewati batas itu, karena memungkinkan spesies untuk berketurunan (berkembang biak) dan melanjutkan kehidupan.

Tanpa ada perkawinan, makhluk hidup akan punah, dan itu bukan tujuan evolusi. Tujuan evolusi adalah mempertahankan eksistensi makhluk hidup (spesies), bagaimana pun caranya—agar terus bertahan serta berkembang—dan kawin adalah cara yang paling mudah digunakan. Karenanya, jangankan manusia, bahkan tengu yang ada di selangkanganmu pun mikir kawin! Karena itu memang tujuan dan tuntutan evolusi! Bedanya, tengu bisa kawin seenaknya tanpa mikir, tapi kita bukan tengu.

Kecoak dan kutu-kutu bangsat juga bisa kawin seenaknya—tanpa mikir, tanpa persiapan—tapi kita bukan kecoak, juga bukan kutu bangsat!

Dan itulah titik nadir manusia. Mati-matian menolak teori evolusi, tapi justru menunjukkan kalau mereka memang produk evolusi. Tidak mau disamakan dengan binatang, tapi kelakuan mereka tak jauh beda dengan binatang. Merasa makhluk mulia, tapi ke mana-mana bertanya “kapan kawin?”. Menolak disebut primata, tapi urusan hidupnya cuma kawin, persis seperti yang dilakukan monyet, bonobo, dan kera.

Kalau kau memang manusia—dan bukan primata—mestinya yang kaugunakan lebih dulu adalah pikiranmu... dan bukan selangkanganmu.

Kapan mikir...?

 
;