Kamis, 10 Oktober 2019

Midsommar Dalam Pikiran Saya

Beberapa film tampaknya memang bisa membuat penonton
keluar dari bioskop sambil merasa depresi.
@noffret


Selera tampaknya sulit diajak kompromi, termasuk selera dalam urusan menonton film. Bagi saya, film adalah hiburan, dan menonton film adalah upaya menghibur diri. Orang mau meluangkan waktu dan membayar sejumlah biaya untuk masuk bioskop, semata-mata karena ingin terhibur, bukan untuk bertambah pusing atau untuk mendapat beban pikiran baru.

Karena itu, bagi saya, tak peduli seartistik apa pun atau bahkan sehebat apa pun, film harus menghibur! Jika tidak menghibur, namanya bukan film, tapi tugas—atau PR, atau beban hidup, atau apa pun sebutanmu. Film kok bikin pusing! Itu film atau masalah hidup?

Sebelum ocehan ini makin melantur, mungkin saya perlu menegaskan terlebih dulu, bahwa cara orang terhibur memang berbeda. Meski sama-sama nonton film, selera orang per orang akan sangat berpengaruh. Satu film yang dianggap menghibur bagi satu orang, belum tentu akan sama menghibur bagi orang lain.

Banyak orang, misalnya, suka nonton horor, karena mereka merasa terhibur. Sebaliknya, saya malas nonton horor, karena—alih-alih terhibur—saya justru sering tertekan. Saya sering mengalami kesulitan dalam melupakan sesuatu, entah hal-hal yang saya lihat, dengar, atau rasakan. Karenanya, menonton horor, bagi saya, sama saja memasukkan informasi (tayangan film) yang buruk ke dalam memori saya. Dan itu jelas sangat tidak menghibur, sekaligus tidak sehat!

Orang lain nonton horor hari ini, dan lusa mungkin sudah lupa semua kengerian yang ia saksikan dalam film. Saya nonton horor hari ini, dan tahun depan masih ingat! Itu bukan menghibur diri sendiri, tapi meneror diri sendiri.

Karena latar belakang semacam itu, saya memilih untuk tidak menonton horor, dengan maksud agar memori saya tidak menyimpan hal-hal mengerikan yang saya saksikan.

Bagaimana dengan drama? Sebenarnya, film-film drama menyuguhkan pemandangan dan adegan yang tidak masalah untuk diingat. Susahnya, saya sering tidak sabar menonton drama, khususnya kalau ceritanya terlalu lambat dan bertele-tele. Biasanya, saya menonton drama kalau yang memerankan kebetulan aktor/aktris favorit saya. Setidaknya, saya senang bisa melihat mereka.

Kalau horor tidak doyan, dan drama terasa membosankan, lalu film apa yang saya sukai? Hanya film action atau petualangan! Sering kali, saya benar-benar terhibur kalau nonton film action, khususnya yang memang bagus, setidaknya menurut penilaian pribadi. Film-film superhero Marvel itu kan termasuk film action, dan saya senang menontonnya!

Yang jadi masalah, sering ada film-film horor yang jadi perbincangan banyak orang—khususnya di media sosial—dan membuat saya penasaran. Dari Hereditary, Us, sampai Midsommar. Di antara yang lain, tiga film horor itu dipuji-puji setinggi langit, bahkan sebagian orang sampai merasa perlu menerangkan “rahasia-rahasia” di dalamnya dengan penuh antusiasme. Karena penasaran, saya pun menonton. Dan respons saya, setelah menonton tiga film itu, hanyalah, “Wuoppppooooo.”

Us itu film apa, demi Tuhan! Saya tidak paham di mana letak menghiburnya nonton film semacam itu. Begitu pula Hereditary yang konon katanya “film paling mengerikan tahun ini”—mengerikan dari mananya, saya tidak paham! Lalu Midsommar—yang podo wae. Bukannya terhibur, saya nyaris mati bosan menonton film-film itu.

Midsommar punya durasi dua jam lebih. Dan apa yang saya dapat selama dua jam itu? Saya merasa hanya menyaksikan sekumpulan orang yang kurang kerjaan dan tidak punya kesibukan, lalu mengisi hidup dengan hal-hal tidak jelas. Dan tidak ilmiah. Dan tidak akademis.

Terlepas dari interpretasi ndakik-ndakik para kritikus yang menyebut Midsommar sebagai masterpiece, saya punya interpretasi yang lebih sederhana. Midsommar, bagi saya, adalah film yang menunjukkan betapa berbahaya ketika manusia tidak punya kesibukan! Dan itulah horor sesungguhnya.

Sering kali, yang menyelamatkan manusia dari melakukan hal-hal buruk dan penuh mudarat adalah kesibukan. Ketika manusia punya kesibukan (yang positif, semisal sibuk belajar atau bekerja), ia terhindar dari kemungkinan melakukan hal-hal buruk atau yang penuh mudarat, atau yang tidak bermanfaat dan sia-sia. Sebaliknya, ketika manusia tidak punya kesibukan, segala bentuk mudarat, kesia-siaan, bahkan kejahatan, akan menghampiri.

Dan ketika orang-orang yang tidak punya kesibukan semacam itu dikumpulkan, sebagaimana yang terlihat dalam Midsommar, maka lahirlah petaka. Dan itu, sekali lagi, horor yang sesungguhnya.

Siapakah yang paling sering melakukan perbuatan sia-sia di muka bumi? Bukan orang yang sibuk, tapi orang yang tidak punya kesibukan.

Siapakah yang paling sering kumpul dengan sesama, lalu menggunjing orang lain dan membicarakan keburukan tetangga? Sama saja, bukan orang yang sibuk, tapi orang yang tidak punya kesibukan!

Midsommar menunjukkan sekumpulan orang yang tidak punya kesibukan, dalam taraf yang paling berbahaya. Mereka—orang-orang yang tidak punya kesibukan itu—tidak hanya menggunjing orang lain, tapi sudah sampai pada taraf mencelakai orang lain, melakukan kejahatan terhadap orang lain... bahkan di tempat terang benderang. Apa yang lebih horor dari itu?

Dan, sebagai film, apakah Midsommar menghibur? Bagi saya, sama sekali tidak! Apa yang menghibur dari sekumpulan orang yang tidak punya kesibukan, lalu melakukan hal-hal tak masuk akal dan tidak akademis? Alih-alih terhibur, saya nyaris mati bosan! Tidak ada yang lebih membosankan selain menonton sekumpulan orang kurang kerjaan!

Kembali lagi, selera tampaknya memang sulit dinegosiasi, sulit diajak kompromi, termasuk dalam selera menonton film. Kita tak bisa yakin film yang kita anggap bagus—atau bahkan masterpiece—juga pasti akan dianggap serupa oleh orang lain. Yang kita anggap hebat bisa jadi buruk bagi orang lain, yang kita anggap buruk bisa jadi bagus bagi orang lain. Meski, dalam kadar tertentu, “bagus” dan “buruk” itu juga bisa sangat jelas.

Kenyataannya memang ada film bagus, dan ada film buruk. Terlepas dari hal itu, selera memegang peran. Midsommar, bagi kritikus film, bisa jadi film bagus, dan orang awam—seperti saya—tidak berani membantah. Tapi sebagai awam pula, saya punya selera pribadi. Dan Midsommar jelas bukan selera saya, tak peduli Ari Aster—sutradara Midsommar—disanjung-sanjung seolah dia nabi.

Sebaliknya, sebagian kritikus menganggap Angel Has Fallen sebagai film buruk, meski penilaian mereka terkesan maksa. Tapi Angel Has Fallen adalah jenis film yang memenuhi selera saya, dan persetan dengan kritikus!

Para kritikus mungkin bisa ngemeng, “Kamu menganggap Midsommar buruk, karena kamu tidak paham di mana hebatnya.”

Saya juga bisa bilang pada kritikus, “Kamu menganggap Angel Has Fallen buruk, karena kamu tidak paham di mana hebatnya.”

Ini seperti sebagian orang menganggap rebahan di kasur seharian sebagai aktivitas menyenangkan, dan di sisi lain ada orang yang menganggap sibuk bekerja seharian sebagai aktivitas menyenangkan.

Jika kelak ada film ala Hereditary, Us, atau Midsommar kembali ramai dibicarakan, kemungkinan besar saya tidak akan menonton, tak peduli umat manusia memuji-muji seolah film itu baru turun dari langit. Mending nonton JAV!

 
;