Jumat, 25 Oktober 2019

Petaka di Surga

Kutipan favoritku, dari Ellen Key, "Cinta adalah
kegiatan moral tanpa disertai pernikahan,
tapi menikah adalah kegiatan moral tanpa cinta."
@noffret


Ini kisah mengerikan terkait perkawinan yang pernah saya temui; kisah nyata seorang laki-laki yang mengira memasuki surga, tapi ternyata menyongsong petaka. Kisah ini telah memberi pelajaran yang sangat keras untuk diri saya, dan semoga juga menjadi pelajaran bagi siapa pun.

Kisah ini cukup panjang, karena saya harus mengisahkannya dari awal secara runtut—yang dimulai bertahun-tahun lalu—lengkap dengan banyak detail yang memang tidak bisa dipisahkan dari inti cerita. So, agar benar-benar memahami kisah ini seutuhnya, juga agar tidak terjadi kesalahpahaman, bacalah dari awal sampai akhir.

Nama yang ada dalam kisah ini disamarkan menjadi “Sony”, tapi peristiwanya saya tulis sesuai yang terjadi. (Sony telah membaca catatan ini, sebelum saya terbitkan di blog).

....
....

Kisah ini dimulai bertahun-tahun lalu, ketika saya masih kecil, tepatnya saat kelas lima SD. Seperti yang sudah saya ceritakan di catatan-catatan terdahulu, saya memulai “karier” di jalanan—menjadi tukang parkir liar—saat kelas lima SD, demi bisa mendapat uang jajan.

Daerah operasi saya waktu itu sekitar alun-alun—di sana banyak penjual makanan, dan banyak orang berdatangan ke sana untuk makan. Di masa itu, sepeda motor masih barang mewah, jadi belum banyak orang naik motor. Artinya, penghasilan saya dari sana sangat kecil. Tapi karena tujuannya untuk “mendapat uang jajan”, yang kecil itu pun sudah saya syukuri.

Saya juga bersyukur, beberapa orang di sana begitu pemurah. Mereka memberikan receh untuk saya, semudah memberikan kerikil. Salah satu orang pemurah itu adalah seorang laki-laki bernama Sony. Orang inilah yang kelak memperkenalkan saya pada hal-hal menakjubkan... dan mengerikan.

Perkenalan saya dengan Sony dimulai di sana, di jalanan tempat saya mencari uang. Dia sering terlihat memasuki warung lontong opor ayam, sendirian, naik sepeda motor, dengan penampilan meyakinkan.

Waktu itu saya kelas lima SD, sementara Sony mungkin berusia sekitar 25. Jadi, dalam pikiran saya waktu itu, Sony mungkin anak orang kaya. (Oh, saya harus mengatakan, di masa itu sangat langka anak muda naik motor, apalagi kerap makan sendirian di warung lontong opor yang identik dengan orang-orang berduit!)

Dugaan saya bahwa Sony anak orang kaya makin menguat, karena dia termasuk orang pemurah. Setiap kali dia keluar dari warung lontong opor, dan saya mendekati motornya, dia menyerahkan beberapa keping receh kepada saya dengan ringan, seolah receh-receh itu hanya kerikil baginya. Lalu dia menaiki motornya dengan gagah, dan melaju pergi seolah dunia ini tempat bermain yang menyenangkan.

“Aku cinta orang ini!” batin saya waktu itu, sambil membayangkan kelak—saat sudah besar—saya juga ingin seperti dia.

Suatu malam, Sony masuk warung lontong opor seperti biasa, dan saya pun membayangkan akan dapat tambahan receh darinya. Karenanya, ketika dia kemudian keluar dari warung usai makan, saya pun mendekati motornya. Tapi Sony berkata, “Titip motor dulu, ya. Aku perlu ke tukang tambal ban di sana.”

Tidak jauh dari tempat itu memang ada tukang tambal ban (di masa itu, tukang tambal ban juga belum sebanyak sekarang). Sony melangkah ke sana, dan tak lama kemudian kembali dengan membawa banyak ban dalam bekas sepeda motor. Dia menaruh ban-ban bekas itu di motornya.

Waktu itu, saya duduk di trotoar, tidak yakin apakah harus mendekati Sony atau membiarkannya. Karena, bisa jadi, dia masih akan pergi lagi.

Usai membereskan ban-ban itu di motornya, Sony mendekati tempat saya duduk, bermaksud memberikan receh seperti biasa. Karena usia kami yang terpaut jauh, saya biasa memanggilnya “Bang”. (Waktu itu saya belum tahu nama dia).

Saat Sony mendekat, saya bertanya, “Ban segitu banyak, buat apa, Bang?”

Sony menjawab, “Tempat kerjaku membutuhkan banyak ban dalam sepeda motor, untuk tali pengikat. Kamu tahu tukang tambal ban mana, yang sekiranya punya banyak ban bekas?”

Saya menjawab tidak tahu. Seperti yang disebut tadi, di masa itu tukang tambal ban sepeda motor masih langka, belum sebanyak sekarang.

Sony lalu berkata, “Ini barusan beli ban-ban dalam di tukang tambal sana, seharga 800 (rupiah) per biji. Kalau kamu bisa mendapatkan ban-ban dalam seperti itu, nanti saya kasih untung 200 (rupiah) per biji.”

Tawaran yang menggiurkan, pikir saya. Maka saya pun berjanji untuk mengabari dia, kalau sewaktu-waktu saya mendapatkan ban dalam sepeda motor, seperti yang dia cari.

Sejak itu, sepulang sekolah, saya berjalan ke sana kemari, mencari tukang tambal ban sepeda motor, dan bertanya apakah mereka punya ban dalam bekas. Sebagian tukang tambal ban punya, meski hanya satu atau dua, dan saya membelinya dari mereka seharga Rp800. Malam harinya, saya bawa ban-ban dalam bekas itu, dan saya serahkan pada Sony. Seperti janjinya, dia memberi untung Rp200 untuk setiap ban yang saya dapatkan.

Urusan ban bekas itulah yang kelak mendekatkan kami, hingga bersahabat sampai bertahun-tahun kemudian.

Suatu hari, saya pergi ke pantai bersama Panda, seorang teman, dan kami jalan kaki bolak-balik. Dalam perjalanan pulang, saya mendapati tukang tambal ban, dan di sana terdapat banyak ban dalam bekas. Jumlahnya mencapai seratus lebih. Saya merasa menemukan harta karun, waktu itu. Tapi saya tidak punya uang untuk membeli ban bekas sebanyak itu.

Malam harinya, saat bertemu Sony seperti biasa, saya bilang kepadanya, “Bang, ada tukang tambal yang punya banyak ban dalam bekas, tapi aku tidak punya uang untuk membelinya.”

“Di mana tempatnya?” tanya Sony.

Saya pun menyebutkan lokasi tempat tambal ban itu.

Sony berkata, “Kalau begitu, biar nanti kita datangi bareng. Besok siang, bisa?”

“Besok siang aku sekolah.”

Sony tersenyum. “Tentu saja sepulang kamu sekolah.”

Sony lalu meminta alamat rumah saya, dan berjanji akan menjemput sepulang saya sekolah. “Namamu siapa, biar nanti mudah mencari rumahmu.”

Saya menyebutkan nama, dan dia juga menyebutkan namanya. Waktu itulah, saya pertama kali tahu dia bernama Sony.

Besok siangnya, saya mendapati Sony menepati janji. Dia datang ke rumah saya, lalu kami pergi ke tukang tambal ban yang saya maksud. Di tempat tukang tambal ban tersebut, Sony mendapat banyak ban dalam bekas, dan dia tampak gembira. Bersama-sama, kami mengangkuti ban-ban dalam bekas itu ke motornya.

Semula, saya tidak terlalu berharap dapat untung dari hal itu—saya sudah senang bisa membantu Sony, sosok yang saya kenal pemurah. Tapi Sony memiliki hati mulia. Meski dia sendiri yang membeli ban-ban bekas itu, dia tetap memberi untung ke saya Rp200 per ban, seperti janjinya semula. Hari itu, saya merasa kaya-raya!

Hari itu juga, Sony membawa ban-ban bekas tadi ke tempat kerjanya. Saya diajak serta. Pada waktu itu pula, saya pun akhirnya tahu, Sony bekerja di perusahaan yang berurusan dengan peti kemas, dan ban-ban bekas tadi diubah menjadi tali untuk mengikat paket-paket barang yang dikemas untuk dikirim lewat kapal.

Setelah menyerahkan ban-ban bekas tadi, dan setelah urusan di tempat kerjanya selesai, Sony mengajak saya pulang. Namun, sebelum mengembalikan saya ke rumah, kami mampir ke rumah makan untuk makan siang. Itu menjadi peristiwa penting bagi saya, karena di hari itulah pertama kali saya menikmati makan di rumah makan. Tentu saja Sony yang membayar.

Kisah terkait ban dalam bekas itu menjadi awal pertemanan dan kedekatan saya dengan Sony—sebentuk persahabatan yang unik, karena usia kami terpaut sangat jauh, dan persahabatan kami berlangsung bertahun-tahun, dari saya masih anak-anak sampai saya dewasa, hingga dia menua sekarang.

Sejak itu, kami sering pergi bersama, mendatangi tukang tambal ban yang saya temukan, dan dia membeli semuanya, serta memberikan komisi untuk saya. Lama-lama, hubungan kami tidak sekadar urusan ban bekas. Sewaktu-waktu, siang hari—sepulang saya sekolah—dia datang ke rumah saya, dan mengajak pergi ke suatu tempat, untuk suatu urusan.

Biasanya, dia mengajak saya karena butuh seseorang untuk membantunya. Entah membantu membawa/mengangkat sesuatu, atau semacamnya. Dan saya selalu senang membantunya.

Seiring kebersamaan dan kedekatan itu pula, saya pun tahu latar belakang Sony seutuhnya. Kadang-kadang, Sony mengajak saya ke rumah orang tuanya. Dia bukan anak orang kaya seperti yang saya sangka sebelumnya. Dia berasal dari keluarga biasa, namun bekerja di perusahaan yang memberinya gaji besar. Karenanya, meski masih muda, dia menjalani kehidupan mewah untuk ukuran zaman itu.

Sony juga telah memiliki rumah sendiri, yang waktu itu masih kosong, karena ia masih tinggal bersama orang tuanya. Saya juga pernah diajak ke rumahnya yang kosong itu, di sebuah kompleks perumahan yang waktu itu baru dibangun. Untuk ukuran zaman itu, Sony—yang berusia 25 tahun—adalah lajang kaya-raya.

Saat kami mengobrol di rumahnya yang kosong, Sony menceritakan bahwa rumah itu akan ditinggalinya bersama istrinya kelak. Waktu itu, Sony sudah punya pacar, dan tidak lama lagi akan menikah. Karena kedekatan kami pula, Sony pernah mengajak saya ke rumah pacarnya, seorang perempuan yang cantik dan ramah.

Selama menatap dan mengetahui semua itu, saya benar-benar mengagumi Sony. Dia memiliki semua hal yang ingin dimiliki jutaan anak muda di dunia—uang banyak, kendaraan, rumah, dan pacar yang menawan! Sekali lagi, itu di zaman ketika sepeda motor masih dianggap barang mewah! Karenanya, saya membayangkan, menjalani kehidupan Sony adalah menjalani kehidupan di surga—hanya saja tanpa Hawa.

Dan surga itu akhirnya benar-benar sempurna.

Suatu hari, Sony menikah dengan perempuan yang telah dipacarinya. Saya ikut membantu-bantu dalam perkawinan mereka, dan ikut senang dengan kebahagiaan Sony.

Setelah menikah, Sony jarang muncul di tempat lontong opor langganannya. Tentu sekarang dia makan di rumah, menikmati masakan istrinya. Setidaknya, itulah yang saya bayangkan. Karenanya, saya pun hampir tidak pernah lagi mendapati Sony di warung lontong opor seperti dulu.

Meski begitu, kami tetap berhubungan. Sewaktu-waktu, siang hari, dia datang ke rumah saya, lalu mengajak pergi untuk suatu urusan, dan saya senang hati menemaninya.

Selama waktu-waktu itu, semuanya tampak biasa. Sony masih seperti biasa, dan kami menjalani kebersamaan seperti biasa. Saya pun berpikir waktu itu Sony menjalani kehidupan yang lebih bahagia. Sebagai lajang saja, dia sudah menjalani hidup menyenangkan. Apalagi kini sudah punya istri. Menikah akan membuatmu bahagia, itulah yang saya yakini sejak kecil, yang juga diyakini jutaan orang lain.

Tapi ternyata, diam-diam, neraka sedang memantik nyala.

Waktu-waktu berlalu, tahun berganti, dan saya terus tumbuh besar. Setelah lulus SD, saya masuk SMP, kemudian SMA. Lulus SMA, saya sudah tidak lagi hidup di jalanan, dan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Belakangan, saya bahkan bisa mengontrak rumah sendiri, dan mendaftar kuliah di sebuah kampus. Di masa itu, kehidupan saya telah jauh lebih baik dibanding masa kecil dulu.

Sementara itu, perkawinan Sony telah menghasilkan anak-anak. Seiring waktu, kami mulai jarang ketemu, hingga sampai lama tidak pernah ketemu. Saya sibuk dengan urusan saya sendiri, dan Sony mungkin juga sibuk dengan urusannya sendiri. Omong-omong, di masa itu ponsel belum populer, jadi kami tidak bisa saling menyapa dengan mudah lewat ponsel.

Suatu hari, Sony datang ke rumah kontrakan saya. Waktu itu dia berkata, “Aku mendatangi rumahmu. Tapi kata orang tuamu, sekarang kamu mengontrak rumah sendiri. Jadi mereka memberikan alamatmu.”

Saya menyambut kedatangannya dengan senang, seperti sahabat yang lama tak bertemu. Kami lalu mengobrol panjang, dan saya mendapati Sony telah jauh berubah. Dia yang dulu begitu muda dan gagah, kini tampak menua, dengan rambut-rambut yang mulai memutih.

“Aku senang melihatmu sekarang,” ujar Sony, seperti ayah kepada anaknya. Bagaimana pun, dia telah melihat saya sejak kecil, ketika saya masih hidup di jalanan demi mendapat uang jajan.

Pertemuan itu pun kembali mendekatkan hubungan kami. Sejak itu pula, Sony sewaktu-waktu datang ke rumah saya, dan kami mengobrol seperti sepasang sahabat.

Ketika tahu saya aktif menulis di blog, dia pun mengaku rutin membaca tulisan-tulisan saya. Mungkin karena dia menganggap saya sudah dewasa—dan tahu saya sering menulis topik perkawinan di blog—dia pun mulai terbuka membicarakan perkawinan dan rumah tangga.

Topik perkawinan dalam percakapan kami dimulai saat saya mengatakan ingin dolan ke rumahnya. Saya bertanya, apakah dia bersama istri dan anak-anaknya sekarang tinggal di rumahnya yang dulu kosong? Sony menjawab, rumah itu sudah dijual. Lalu, dengan ragu, Sony mengatakan, “Tampaknya, itu kesalahan terbesar yang kulakukan.”

Lalu ceritanya mulai mengalir.

Kita harus flashback untuk melihat kisah Sony seutuhnya, yang dimulai dari perkawinannya bertahun-tahun lalu.

Seperti yang sudah saya ceritakan, Sony adalah lajang kaya ketika menikah. Dia memiliki penghasilan besar yang memungkinkannya punya rumah dan menjalani kehidupan nyaman. Karenanya, ketika menikah, siapa pun pasti membayangkan kehidupan Sony akan baik-baik saja, karena... memangnya apa yang kurang?

Jadi, ketika Sony menikah, saya pun membayangkan dia akan memboyong istrinya ke rumahnya sendiri, lalu mereka membangun keluarga bahagia bersama anak-anak mereka yang akan lahir. Dan mereka pun akan hidup bahagia selama-lamanya. Tapi apakah benar begitu? Ternyata tidak!

Sony punya satu adik laki-laki. Ketika orang tua meninggal, rumah orang tua mereka pun menjadi hak waris Sony dan adiknya. Karena Sony sudah punya rumah sendiri, mereka pun bersepakat si adik membayar hak waris Sony dalam bentuk uang, sehingga rumah warisan orang tua mereka menjadi hak milik adik Sony. Urusan itu beres tanpa masalah. Sejak itu, rumah warisan orang tua menjadi hak milik adik Sony, sementara Sony tinggal di rumah istrinya.

Istri Sony tidak mau diajak pindah ke rumah Sony, dengan alasan harus merawat orang tua. Menuruti permintaan istri, Sony pun tinggal di rumah mertua.

Ketika akhirnya mertua Sony meninggal dunia, Sony dan istrinya tetap tinggal di rumah itu. Istrinya beralasan tidak ingin pindah dari sana, dan ingin tetap menempati rumah tinggalan orang tuanya. Sony pun menurut, karena berpikir apa salahnya. Toh di rumah itu atau di rumahnya sendiri, yang tinggal hanya dia dan istrinya, beserta anak-anak mereka. Maka Sony pun melanjutkan hidup di rumah istrinya.

Karena rumah milik Sony telah kosong bertahun-tahun—tak pernah ditempati sejak menikah—istri Sony meminta agar rumah itu dijual saja, daripada dibiarkan kosong terus menerus. Ide penjualan rumah itu terkait dengan PHK yang dialami Sony. Perusahaan tempat kerjanya bangkrut, dan semua karyawan di-PHK, termasuk Sony. Karena tidak lagi mendapat penghasilan, ekonomi keluarga mulai goyang.

Karenanya, ketika istrinya menyarankan agar menjual rumahnya, Sony tidak melihat ada yang salah. Maka dia pun menuruti saran istrinya, dan menjual rumahnya yang kosong. Seperti yang ia sebut tadi, “itu kesalahan terbesar yang kulakukan.”

Seiring waktu, selama bertahun-tahun, rumah tangga Sony mengalami berbagai gejolak, seperti umumnya rumah tangga lain. Selama waktu-waktu itu pula, gejolak yang muncul selalu bisa diredam. Gejolak mulai sulit diredam, sejak Sony kehilangan pekerjaan, hingga ekonomi keluarga mulai bermasalah. Sony memang berhasil mendapat pekerjaan lain, tapi penghasilannya lebih kecil.

Sony menceritakan, istrinya mulai kehilangan respek kepadanya. Lama-lama, hubungan mereka makin parah—dari ketiadaan respek jadi menyepelekan. Istri Sony mungkin berpikir bahwa Sony “numpang tinggal” di rumahnya, jadi dia merasa bisa berlaku seenaknya. Sejak itu pula, Sony mendapati perkawinannya seperti neraka.

Tapi nyala, yang terjadi waktu itu, ternyata baru percikan kecil.

Neraka perkawinan benar-benar menyala dan berkobar, ketika Sony mengetahui istrinya selingkuh. (Saya membuktikan langsung ke lapangan untuk mengonfirmasi pengakuan Sony, dan kenyataan yang saya dapati memang mendukung pengakuannya—perselingkuhan adalah isu yang sulit diredam, dan hampir bisa dipastikan akan diketahui tetangga kiri-kanan.)

Sejak itulah, Sony menatap kehidupannya dengan hampa, marah, dan terluka. Perselingkuhan adalah satu hal, tapi dia juga menghadapi aneka hal lain yang sama-sama menghimpitnya.

Dia mungkin bisa memperkarakan perselingkuhan istrinya, bahkan mungkin menceraikannya. Tapi dia terbentur pada dua masalah lain. Pertama, nasib anak-anaknya. Kedua, dia tidak punya tempat tinggal.

Sony tinggal di rumah istrinya. Dia tidak bisa pulang ke rumah orang tuanya, karena rumah itu telah menjadi milik adiknya, yang kini ditempati bersama keluarganya. Dia juga tidak bisa pulang ke rumahnya sendiri, karena rumahnya telah dijual. Jika dia menceraikan istrinya, artinya dia yang harus pergi... dan dia tidak tahu ke mana harus pergi.

Dengan marah dan terluka namun merasa tak berdaya, Sony akhirnya memilih mendiamkan masalah perselingkuhan istrinya, meski orang-orang di tempat tinggal mereka menjadikan itu sebagai gosip di antara tetangga. Sony bukan hanya kehilangan ketenteraman dalam rumah tangga, dia bahkan merasa “kehilangan harga diri”. Meski istrinya yang selingkuh, tatapan tetangga juga ditujukan kepadanya.

“Kini, aku menjalani hidup seperti orang mati,” ujar Sony, “tanpa semangat, tanpa gairah, tanpa pengharapan. Saat masih muda dan lajang, mungkin kamu mengharapkan pasangan dan menikah. Setelah menikah, mungkin kamu mengharapkan anak-anak sebagai keturunan. Aku telah memiliki semua itu, dan ternyata semua itu justru menghancurkanku.”

Saya terdiam usai mendengar penuturannya. Bagaimana pun, saya masih ingat betul saat-saat perkawinannya dulu, dan saya masih bisa mengingat bagaimana ekspresinya yang begitu bahagia. Dia mengajak saya ke tempat penyewaan kursi, pelaminan, dan lain-lain, untuk resepsi perkawinannya. Kami bercanda di rumahnya, saat saya membantu mempersiapkan banyak hal untuk pesta itu.

Meski peristiwanya telah terjadi bertahun-tahun lalu, semua gambarnya tersimpan di memori saya sejelas peristiwa kemarin. Saya masih ingat tawanya saat ia masih muda dulu, keriangannya saat menyambut hari pernikahannya... seperti jutaan orang lain yang tertawa riang menyambut surga.

Andai saya bisa kembali ke masa lalu, mungkin saya akan menghentikannya, dan berbisik kepadanya, “Sebaiknya hentikan ini, karena hanya akan membawamu pada petaka.”

Tapi saya tidak bisa kembali ke masa lalu, tentu saja, meski memori saya begitu jelas mengingat peristiwa lalu. Kini, sosok yang duduk di depan saya adalah lelaki tua berwajah muram, jauh beda dengan anak muda gagah dan riang, yang pernah saya saksikan bertahun-tahun lalu. Andai saya bisa menghentikan waktu....

Sony berkata perlahan, “Aku menceritakan semua ini, bukan semata karena percaya kepadamu. Tapi juga karena kupikir kamu telah tahu. Aku telah membaca tulisan-tulisanmu di blog, dan kamu membicarakan perkawinan secara blak-blakan. Aku telah menikah bertahun-tahun, dan aku menyadari yang kamu tulis memang benar. Perkawinan tidak seindah yang dikatakan atau dikhayalkan banyak orang.”

“Akhirnya,” ujar Sony kemudian, “kalau kamu memang akan menuliskan kisahku, aku berharap yang kualami bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang lain. Ada banyak orang menjanjikan macam-macam keindahan perkawinan, dan itu membuat banyak orang lain tertipu. Mereka harus diberi tahu kenyataan sesungguhnya. Bahwa perkawinan tidak hanya menjanjikan surga, tapi juga petaka yang tak pernah terbayangkan.”

 
;