PLN (dan pemerintah, tentu saja) benar-benar lucu dan anakronis.
Mereka koar-koar agar masyarakat hemat listrik, hemat energi.
Sekarang, mereka berencana memaksa masyarakat untuk menaikkan
daya listrik, agar "bisa menggunakan listrik secara bebas dan leluasa."
Jadi, piye karepe?
—@noffret
—@noffret
Saya pernah menginap di rumah seorang teman hingga tiga hari, dan saya diberi kamar tersendiri. Di rumahnya, semua kamar dilengkapi AC atau pendingin udara, termasuk kamar yang saya tempati. Saya menyalakan AC saat akan tidur, dan mematikannya setelah saya bangun.
Suatu siang, teman saya—yang punya rumah—mengajak saya keluar. Waktu itu saya sedang membaca buku di dalam kamar. Karena cuaca yang panas, saya menyalakan AC. Ketika teman saya mengajak keluar, saya pun menyudahi aktivitas saya, dan segera bersiap. Lalu saya keluar kamar.
Sesampai di garasi, teman saya sudah siap di mobil. Namun, saya baru ingat, AC di kamar saya masih menyala. Tadi, karena buru-buru, saya lupa mematikannya. Jadi, saya pun bilang kepadanya, “Sori, aku mau mematikan AC dulu.”
Teman saya melarang, “Biarkan saja.” Dia sepertinya tersinggung, seolah saya sedang meremehkan kemampuannya dalam membayar listrik.
Saya tersenyum, “Aku bukan ingin menghemat uangmu, aku hanya melakukan kebiasaanku.”
Saya pun meninggalkannya sebentar, dan balik ke kamar untuk mematikan AC. Setelah itu, saya kembali ke mobil, dan kami pun pergi.
Di perjalanan, kami mengobrolkan hal itu, dan dia bertanya kenapa saya sampai segitunya—bela-belain balik ke kamar hanya untuk mematikan AC. “Toh paling hanya beberapa jam ditinggal,” ujarnya.
Saya menjawab, “Seperti yang kubilang tadi, aku hanya melakukan kebiasaanku menghemat energi. Kita mungkin bisa membayar listrik sebesar apa pun, sebesar yang kita gunakan. Tapi buat apa membuang-buang energi listrik jika tidak digunakan? Selain menghambur-hamburkan uang, yang kita lakukan juga menghambur-hamburkan energi. Kalau boleh kukatakan, itu tidak baik untuk kesehatan kantong kita, juga tidak baik untuk kesehatan bumi.”
Teman saya tersenyum. “Kamu membuatnya terdengar sangat dramatis.”
“Mungkin, ya,” saya menjawab. “Tapi begitu kita mengubah kebiasaan sepele itu—hanya menggunakan energi listrik jika memang dibutuhkan—kita akan melihat sesuatu yang benar-benar dramatis.”
Lalu saya menceritakan pengalaman yang benar-benar saya alami.
Di rumah, saya menggunakan sumur bor untuk kebutuhan air sehari-hari. Untuk penampungannya, ada sebuah tangki besar, dan dari tangki itulah semua kebutuhan air tersuplai—termasuk untuk mandi, kebutuhan dapur, dan lain-lain. Agar suplai air di rumah selalu lancar, saya harus memastikan untuk mengisi tangki air secara penuh, dan untuk itu dibutuhkan energi listrik.
Tangki air tersebut dilengkapi alat yang secara otomatis akan memutus energi listrik, begitu air telah penuh, sehingga air tidak sampai luber. Sebaliknya, ketika air di dalam tangki sudah agak berkurang, alat itu akan secara otomatis menyalakan listrik, sehingga air kembali mengisi tangki sampai penuh. Dengan alat otomatis itu, saya tidak perlu repot menyalakan atau mematikan saklar listrik untuk keperluan pengisian air.
Suatu hari, saya iseng dan mencoba melakukan “eksperimen”. Berdasarkan penelitian yang saya lakukan, alat otomatis pada tangki air akan menyala otomatis, saat air di dalam tangki berkurang 1 centimeter. Artinya, setiap kali air berkurang sedikit—misal digunakan untuk mencuci 3 buah gelas—alat otomatis itu akan menyala, dan mengisi air dalam tangki. Karena itu pula, setiap hari alat itu akan menyala dan mati otomatis sampai berkali-kali.
Lalu saya mencoba mematikan alat otomatis itu melalui saklarnya. Setelah saklar tidak tersambung ke listrik, alat otomatis itu tidak bisa lagi menyala-dan-mati seenaknya. Meski air di dalam tangki sudah jauh berkurang, alat itu tetap tidak bisa menyalakan listrik untuk mengalirkan air. Hasilnya, dalam beberapa hari, listrik untuk air tidak pernah menyala sama sekali, meski simpanan air di dalam tangki terus menyusut.
Setelah air di dalam tangki benar-benar akan habis, saya baru kembali menyalakan saklar untuk air, dan otomatis air kembali mengisi tangki sampai penuh. Setelah penuh, alat otomatis di tangki memutus aliran air. Lalu saya mencabut saklarnya kembali, dan mengulang langkah-langkah itu hingga di waktu-waktu selanjutnya.
Apa yang saya dapat dari “eksperimen” itu? Jawabannya; penghematan yang tak terduga!
Boleh percaya boleh tidak. Meski yang saya lakukan mungkin terkesan remeh, namun dampaknya sangat besar—setidaknya, itulah yang saya rasakan. Setiap bulan, saya harus membayar tagihan listrik, termasuk keperluan listrik untuk air. Ketika eksperimen tadi saya lakukan sebulan penuh, total tagihan listrik rumah saya berkurang hampir setengah! Dan yang “setengah” itu nilainya sangat besar.
Padahal, yang saya lakukan sangat sepele. Hanya mengisi air setelah air di tangki benar-benar hampir habis. Sudah, cuma itu. Dan hanya karena itu, saya bisa menghemat banyak uang setiap bulan. Selain itu, saya juga lebih nyaman, karena setiap hari tidak terus menerus mendengar suara pompa air yang menyala dan mati sewaktu-waktu. Meski sepele, suara pompa air yang bolak-balik menyala dan mati bisa mengganggu ketenangan saya.
Di atas semua itu, setidaknya saya telah berusaha berkontribusi terhadap penghematan sumber energi listrik. Kalau-kalau belum tahu, listrik yang kita nikmati untuk berbagai keperluan itu tidak didapatkan dengan sim salabim, tapi menggunakan sumber daya bumi, dan sebagian adalah sumber daya yang terbatas. Dengan kata lain, semakin banyak energi listrik yang kita gunakan, semakin banyak pula sumber daya bumi yang diambil.
Saya tentu tidak bisa bengok-bengok menyuruh orang-orang lain melakukan yang saya lakukan. Tetapi, setidaknya, saya bisa memulai hal baik itu—menghemat energi listrik—dari diri saya sendiri. Setelah saya terbiasa melakukannya di rumah sendiri, saya mulai menerapkan hal sama di tempat lain. Misal saat menginap di hotel.
Meski hotel membebaskan saya untuk menggunakan energi listrik yang tersedia di kamar—khususnya AC dan televisi—tapi saya berusaha untuk tidak memubazirkannya dengan dalih “toh sudah bayar”. Saat sedang tidur, misalnya, saya matikan televisi, karena memang tidak ditonton.
Karenanya, ketika menginap di rumah teman, saya pun memastikan diri untuk melakukan hal yang sama. Karenanya pula, waktu itu, saya mengatakan kepadanya, “Aku sudah terbiasa melakukannya, jadi akan merasa bersalah jika tidak melakukan.”
Ada banyak hal baik tapi tampak sepele, sehingga banyak orang mengabaikan atau menganggapnya tidak penting. Seperti menghemat listrik.
Mematikan saklar listrik, mematikan televisi, mematikan AC, dan semacamnya, adalah aktivitas yang sangat mudah, remeh, dan bisa dilakukan sambil merem. Tapi mungkin karena dianggap terlalu mudah, kita pun meremehkannya. Padahal, kalau mau membiasakan diri melakukannya, kita akan terkejut dengan hasilnya.
Kebanyakan orang mungkin bosan mendengar istilah “hemat listrik”, karena dianggap tidak jelas manfaatnya. Sekarang saya ingin memberitahu, aktivitas itu punya manfaat besar, yang bahkan bisa dibuktikan.
Jika rumahmu menggunakan peralatan listrik yang membutuhkan energi besar—misal AC—cobalah lakukan penghematan dengan hanya menyalakan AC saat digunakan. Jika AC sedang tidak digunakan, matikan. Cukup lakukan itu saja secara rutin dalam sebulan, dan lihat hasilnya. Tagihan listrikmu akan berkurang!
Dan kalau kita mau menghemat pemakaian listrik, kita tidak hanya menghemat pengeluaran bulanan, tapi juga membantu menghemat sumber daya bumi. Kita berutang pada anak cucu kita kelak, karena mereka juga punya hak untuk menikmati sumber daya bumi—termasuk energi listrik—seperti yang sekarang kita nikmati.